Tiba hari besar yang di tunggu-tunggu oleh kelima sahabat tersebut. Hari dimana mereka akan resmi menjadi seorang sarjana dan mengakhiri masa kuliah mereka. Mereka dan keluarga masing-masing, sudah mempersiapkan diri dari pagi agar tidak terlambat datang ke acara wisuda.
“Ciee…Calon sarjana udah pada datang nih.”, ujar Donny tertawa kecil melihat para sahabatnya yang sudah berkumpul di depan pintu ruang wisuda, lengkap dengan baju wisuda dan toga masing-masing.
“Keren nih si Jawa.”, sambung Donny tersenyum melihat wajah sumringah Joko.
“Kamu lihat si Kambing dong.”, ujar Joko tertawa ke arah Edwin yang terlihat sangat rapi hari ini.
“KLIMIS!!”, sambung Joko berteriak.
“Rambut lo kenapa Bing?”, tanya Andrew tertawa.
“Rapi dikit kalau acara kayak gini. Seumur hidup sekali, Bapak Emak gue ikut soalnya.”, jawab Edwin tersenyum malu.
“Pangling gue lihat lo. Bisa enggak dikenalin nanti sama anak-anak yang lain.”, ujar Donny tertawa.
“Tolong kembalikan Kambingku seperti dulu, Koh.”, ujar Joko mengejek Edwin sambil tertawa geli.
“Aduh aku enggak tahan nih, dari tadi ngakak lihat si Kambing.”, sambung Joko ditemani tawa dari para sahabatnya.
“Si Bimo mana nih? Belum nongol-nongol.”, tanya Andrew.
“Enggak tau aku juga. Belum muncul-muncul dari tadi.”, jawab Joko.
“Gue telepon dia dulu sebentar.”, ujar Andrew.
“Enggak diangkat-angkat nih.”, ujar Andrew beberapa saat kemudian.
“Mules kali dia. Grogi.”, ujar Edwin tersenyum.
“Coba teleponin Kay.”, ujar Andrew.
Donny langsung mencoba menghubungi Bimo. Donny menggelengkan kepala menandakan Bimo tidak mengangkat telepon.
“Ya udah nunggu di dalam aja, kita udah disuruh masuk.”, ujar Andrew mengajak para sahabatnya setelah melihat salah satu teman kuliah yang melambaikan tangan kepada Andrew untuk segera masuk.
Mereka segera masuk ke dalam ruang wisuda, karena acara sudah akan dimulai. Mereka duduk sebaris sesuai dengan tempat yang sudah disiapkan oleh panitia. Sudah sepuluh menit acara berlangsung, Bimo masih belum terlihat. Andrew mencoba menelepon Bimo kembali, tetapi tetap tidak di angkat oleh Bimo.
“Enggak di angkat juga?”, tanya Donny yang duduk di sebelah Andrew.
“Iya nih. Kenapa ya? Tumben-tumbenan enggak angkat telepon dari kita.”, jawab Andrew terlihat khawatir.
Para sahabatnya mulai terlihat khawatir dengan tidak adanya kabar sama sekali dari Bimo. Mereka mencoba tenang dan mengikuti acara wisuda yang sedang berlangsung. Beberapa saat kemudian, Andrew menerima pesan WA dari Bimo.
“Bokap gue meninggal tadi malam.”, Andrew membaca pesan yang dikirimkan Bimo.
Andrew terkejut dan sedih membaca pesan dari Bimo.
“Keep strong brother. Habis ini, gue ke rumah lo.”, balas Andrew.
Bimo tidak membalas pesan dari Andrew. Bimo pasti sedang sedih dan kalut, pikir Andrew.
“Bimo?”, tanya Donny.
Andrew mengangguk dan memberikan ponselnya kepada para sahabatnya agar dapat membaca pesan dari Bimo. Mereka terdiam membaca kabar duka cita dari Bimo. Mereka sedih karena artinya Bimo tidak dapat mengikuti momen acara wisuda ini bersama dengan mereka. Andrew lalu berjalan menuju meja panitia acara untuk memberitahukan mengenai kabar duka cita ini. Kemudian, tim panitia menginformasikan kabar duka cita ini di tengah-tengah acara dan mengajak seluruh peserta untuk berdoa sejenak untuk Bimo dan keluarga yang sedang berduka. Acara wisuda tetap berlangsung sampai akhir. Satu per satu, nama mahasiswa disebutkan untuk maju ke depan untuk prosesi wisuda. Senyum yang dipaksakan, keluar dari wajah ke empat sahabat ini. Raut wajah sedih tidak dapat ditutupi dengan sempurna oleh mereka. Setelah acara wisuda selesai, Andrew, Joko, Donny, dan Edwin, menyempatkan foto bersama keluarga masing-masing.
“Pa, Ma, Andrew sama temen-temen ngelayat dulu ya ke rumah Bimo.”, ujar Andrew berpamitan kepada Orang tuanya.
“Tolong sampaikan, Papa Mama ikut berduka cita ya. Jangan lupa pek paonya, kamu siapin ya.”, jawab Ayah Andrew.
Andrew mengangguk dengan wajah gelisah.
“Kamu pakai mobil Papa saja. Biar Papa sama Mama pulang naik taksi saja. Kamu hati-hati ya.”, ujar Ayahnya sambil menyerahkan kunci mobil kepada Andrew.
“Oke Pa. Andrew jalan dulu ya kalau gitu.”, jawab Andrew lalu menghampiri para sahabatnya yang sudah menunggu di depan pintu aula.
“Kita naik mobil Bokap gue aja.”, ujar Andrew sambil menunjukkan kunci mobil yang sudah di pegangnya, lalu mereka segera bergegas menuju ke rumah Bimo.
“Pelan-pelan aja Cek, setirnya.”, ujar Donny yang duduk di sebelah Andrew mengingatkan Andrew yang mengendarai mobil dengan sedikit ngebut dan terlihat gelisah.
“Iya Kay.”, jawab Andrew singkat dan tetap fokus menyetir.
“Bimo cerita gak kenapa Bokapnya meninggal tiba-tiba?”, tanya Edwin.
“Enggak Bing. Dia pasti juga lagi down banget, kita kan tau kalau dia deket banget sama Bokapnya.”, jawab Andrew.
“Gue cuma takut dia depresi nanti.”, sambung Andrew.
“Kamu jangan mikir sampe sejauh gitu Cek. Pamali! Sekarang tugas kita support si Bimo.”, sahut Joko mengingatkan.
“Iya Cek, lo jangan mikir kayak gitu. Kita ini keluarga Bimo. Kita akan support dia habis-habisan supaya dia bisa semangat lagi.”, sambung Donny sambil menepuk pundak Andrew dan mengangguk mengiyakan perkataan Donny.
Beberapa saat kemudian, mereka tiba di depan gang rumah Bimo yang sudah didirikan tenda dan beberapa bunga papan ucapan duka cita yang terpampang berjejer untuk keluarga Bimo. Andrew memarkir mobil dan bergegas menuju ke rumah Bimo bersama para sahabatnya. Tidak terlihat sama sekali Bimo dan keluarga dari depan rumah Bimo.
“Punten Pakde. Bimo nya ada di dalam?”, tanya Joko kepada seorang Bapak yang sedang duduk di teras rumah Bimo.
“Bimo sama keluarga lagi ngubur di TPU tanah kusir.”, jawab Bapak tersebut.
“Kalian teman-temannya Bimo?”, tanya Bapak itu.
“Iya Pak. Teman kampusnya.”, jawab Joko tersenyum.
“Tunggu aja ya. Sepertinya sebentar lagi akan sampai. Udah dari jam delapan pagi berangkatnya. Duduk dulu aja.”, jawab Bapak tersebut.
“Matur nuhun Pak.”, jawab Joko tersenyum.
“Masih di TPU.”, ujar Joko menghampiri para sahabatnya dan mengajak para sahabatnya untuk duduk menunggu Bimo.
“Nguburnya jam berapa?”, tanya Donny.
“Katanya sih tadi pagi, jam delapan. Mungkin sebentar lagi nyampe rumah.”, jawab Joko sambil melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul dua siang.
“Gue ke warung dulu sebentar.”, ujar Edwin.
“Tunggu Bing.”, ujar Andrew sambil mengeluarkan amplop putih dan memasukkan uang.
“Patungan buat Bimo.”, ujar Andrew sambil memberikan amplop kepada Edwin.
Edwin mengambil uang dan mengisi amplop tersebut dan memberikan bergilir kepada Joko dan Donny, lalu bergegas menuju warung di depang gang. Setelah semua sudah memberikan sumbangan masing-masing, amplop tersebut dipegang oleh Andrew untuk nanti diberikan kepada Bimo. Beberapa menit kemudian, Edwin datang kembali dengan membawa empat roti dan dibagikan kepada para sahabatnya.
“Thank you Bing.”, ujar Andrew.
“Ganjel pake ini dulu aja. “, ujar Edwin.
Mereka belum sempat makan siang dan sudah cukup lapar saat ini. Mereka menghabiskan roti yang diberikan oleh Edwin. Joko mengambil air mineral yang ada di depan meja dan membagikan kepada para sahabatnya. Setengah jam kemudian, rombongan keluarga Bimo tiba di rumah Bio. Keempat sahabat tersebut berdiri menghampiri rombongan keluarga Bimo.
“Kami turut berduka cita ya Tante.”, ujar Andrew sambil bersalaman dengan Ibu Bimo, diikuti dengan Donny, Joko, dan Edwin.
“Kak Siti, turut berduka cita ya.”, ujar Andrew menyalami Kak Siti yang ada di belakang Ibunya.
“Makasih ya Andrew, Joko, Edwin, Donny. Tolong bantu hibur Bimo ya.”, jawab Kak Siti dengan wajah tegar.
Mereka menghampiri Bimo yang berjalan pelan di belakang Kak Siti. Andrew melihat mata Bimo yang terlihat bengkak karena menangis cukup lama. Andrew tahu, bahwa sahabatnya ini benar-benar merasa sangat kehilangan.
“Bim.”, ujar Andrew sambil merangkul bahu Bimo.
“Turut berduka cita ya. Tabah ya Bim.”, ujar Andrew sambil mengelus pelan kepala Bimo.
Bimo menghapus air matanya sambil terus berjalan ditemani para sahabatnya. Melihat Bimo yang sangat bersedih, Joko, Donny, dan Edwin, menahan diri untuk mengucapkan bela sungkawa. Mereka semua duduk membentuk lingkaran pada kursi yang terletak di bagian sudut tenda yang sudah disiapkan. Bimo menghela nafas mencoba lebih tenang. Joko mengambilkan minum untuk Bimo.
“Turut berduka cita ya Bim.”, ujar Edwin sambil menyalami Bimo diikuti oleh Joko dan Donny.
“Bukannya Bokap sehat-sehat aja selama ini?”, tanya Andrew.
“Jantung Cek.”, jawab Bimo.
“Enggak ada tanda-tanda apapun. Pas mau sholat subuh, Bokap tiba-tiba ambruk. Nyokap langsung manggil gue.”, sambung Bimo dengan suara parau.
Joko merangkul Bimo untuk menenangkan.
“Gue langsung bawa ke rumah sakit. Tapi Bokap udah ‘lewat’, kata dokter IGD. Gue nyesel banget Cek. Gara-gara gue, Bokap enggak selamat.”, ujar Bimo menangis tersedu menyalahkan diri sendiri.
“Bukan salah lo Bim.”, ujar Donny mencoba menenangkan Bimo.
“Kalau gue tau penanganan pertama buat orang yang terkena serangan jantung, mungkin Bokap masih ada. Gue panik. Gue enggak bisa mikir saat itu.”jawab Bimo masih terisak.
“Bim, Bokap kamu sekarang udah tenang di surga. Umur, semua di tangan Tuhan. Enggak ada yang bisa tahu dan mencegah jika memang udah waktunya Tuhan.”, ujar joko menenangkan.
“Bener Bim. Lo harus kuat. Bokap udah tenang di surga. Lo harus bangkit. Nyokap butuh lo. Gantiin Bokap buat jagain Nyokap.”, ujar Andrew menimpali.
“Lo harus inget sama mimpi lo buat bahagiain keluarga lo.”, sambung Andrew.
“Bokap udah janji sama gue, mau ngajak gue berenang bareng habis wisuda nanti. Tapi sekarang udah mustahil. Ini yang bikin gue tambah sedih Cek.”, jawab Bimo sambil menghapus air matanya.