HELP

Kismin
Chapter #6

Chapter 6

“Ren, aku udah di kota tua ya. Aku tunggu deket tempat sewa ontel ya.”, tulis Joko mengirim pesan, yang telah tiba di kota tua sesuai jam yang telah ditentukan Irene.

 

Joko duduk bersabar di sebelah tempat penyewaan sepeda ontel. Sepuluh menit menunggu, masih belum ada kabar dari Irene. Batang hidungnya pun belum kelihatan. Joko berjalan menghampiri pinggir jalan, tempat dimana biasa penumpang turun. Namun tidak terlihat Irene. ‘Irene tidak mungkin nyasar karena diantarkan oleh sepupunya’ , pikir Joko. Mungkin hanya telat biasa karena kemacetan. Joko berjalan keliling melihat-lihat apa saja yang ada di area kota tua. Joko sudah lama sekali tidak pernah datang ke kota tua. Setelah berkeliling sekitar lima belas menit, tidak ada yang berubah. Masih sama sesuai dengan saat pertama kali dia datang ke kota tua. Dan selalu menyenangkan bagi Joko jika mengingat saat pertama kali dia menjejakkan kaki di area kota tua. Beebrapa saat kemudian, ponsel Joko berdering. Joko tersenyum melihat nama Irene yang terpampang di ponselnya, menandakan Irene yang menelepon Joko saat ini.

 

“Halo Mas Joko.”, ujar Irene menyapa Joko di telepon.

“Halo Ren.”, jawab Joko.

“Mas Joko ada di mana? Aku baru sampai nih Mas. Aku di deket pinggir yang banyak mobil turunin penumpang.”, ujar Irene menjelaskan posisinya berada sekarang.

“Kalau gitu aku kesana ya. Tunggu sebentar ya.”, jawab Joko yang mengetahui tempat yang dimaksud oleh Irene.

“Oke Mas.”, jawab Irene lalu mematikan telepon.

 

Joko tersenyum tersipu sendiri karena Irene telah tiba. Joko bergegas menuju ke tempat Irene sedang nenunggu saat ini. Joko mempercepat langkahnya saat melihat Irene yang masih berdiri menunggu Joko sambil memakai tas selempang.

 

“Butuh tour guide Bu?”, tanya Joko tersenyum berdiri di sebelah Irene.

“Hai Mas Joko.”, jawab Irene tersenyum.

“Sorry ya. Udah lama nunggunya?”, tanya Joko tersenyum.

“Enggak kok Mas. Justru Irene yang sorry karena telat.”, jawab Irene tersenyum.

“Santai saja Ren. Yang penting enggak telat dua jam.”, ujar Joko tertawa.

“Kalau dua jam, berarti tandanya Irene nolak secara halus untuk datang ke kota tua loh.”, jawab Irene tersenyum manis.

“Yuk jalan. Disini kayak mau nunggu taksi.”, ujar joko tersenyum.

Irene mengangguk setuju dan berjalan bersama Joko menuju ke area kota tua. Joko menghentikan langkahnya secara tiba-tiba yang membuat Irene bingung.

 

“Kenapa Mas?”, tanya Irene bingung.

“Kaki aku tiba-tiba enggak bisa jalan nih Ren.”, jawab Joko dengan mimik wajah serius.

“Loh kenapa Mas?”, tanya Irene terlihat panik.

“Enggak tau Ren. Tiba-tiba kaku begini. Aku juga bingung.”, jawab Joko.

“Ini kerasa enggak Mas?”, tanya Irene sambil menepuk kaki kanan Joko.

“Kerasa Ren. Tapi masih enggak bisa gerak.”, jawab Joko yang semakin panik dengan keadaannya.

“Aduh gimana ini Mas? Aku telepon ambulans aja ya.”, ujar Irene dengan wajah panik dan mengeluarkan ponselnya untuk segera menelepon ambulans.

“Enggak usah Ren. Sepertinya aku tau penyebabnya.”, jawab Joko.

“Apa Mas? Kasih tau Irene harus ngapain sekarang?”, tanya Irene.

“Sepertinya kamu harus panggil aku Joko deh. Tanpa Mas.”, jawab Joko.

“Hah? maksudnya Mas?”, tanya Irene masih terlihat panik.

“Iya. Panggil aku Joko.”, jawab Joko.

“Joko?”, tanya Irene.

“Tuh kan Ren. Kakiku udah bisa gerak normal lagi.”, jawab Joko tertawa.

 

Irene menatap tajam ke arah Joko. Joko merasa tidak nyaman dengan tatapan Irene dan sangat khawatir Irene akan marah karena sudah mengerjainya.

 

“Aku hanya bercanda Ren.”, ujar Joko tersenyum kecil.

“Kamu bikin aku panik Mas.”, jawab Irene sambil mencubit kencang tangan kanan Joko.

“Awwww. Sakit Ren.”, ujar Joko setengah teriak.

“Biarin.”, jawab Irene tersenyum.

“Peace ya.”, jawab Joko tersenyum memberikan tanda dengan jarinya.

“Jangan bercanda kayak gitu lagi ah Mas. Pamali tau. Nanti beneran tiba-tiba kaku, terus kena stroke loh.”, ujar Irene.

“Amit-amit Ren. Serem amat.”, jawab Joko tersenyum.

“Kan mas Joko yang tadi mau gitu.”, jawab Irene tersenyum.

“Iya janji enggak gitu lagi. Tapi kamu juga janji, panggil aku Joko aja ya. Biar kelihatan muda.”, ujar Joko tersenyum.

“Iya. JOKO?”, jawab Irene mengeraskan suara sambil tersenyum.

“Ini better. Yuk kita keliling.”, jawab Joko tersenyum.

 

Joko merasa lega karena Irene tidak marah padanya. Joko berjalan santai bersama Irene, berkeliling bersama di area kota tua.

 

“Kalau tadi beneran kaku gimana Ren?”, tanya Joko sambil berjalan bersama Irene.

“Irene tinggalin. Irene naik ontel aja jalan-jalan keliling kota tua.”, jawab Irene tersenyum.

“Sadis amat ditinggalin.”, jawab Joko tersenyum.

“Kan banyak orang disini. Pasti ada yang tolong nanti.”, jawab Irene tertawa.

“Kamu baru pertama kali kesini Ren?”, tanya Joko.

“Iya Joko. Rapi juga ya disini.”, jawab Irene.

“Kamu sering ke sini?”, tanya Irene.

“Empat tahun lalu sama teman-teman kuliah aku kesininya. Udah sekali itu saja. Selalu nyaman sih main di sini.”, jawab Joko.

“Gimana menurut kamu? Enggak kalah kan sama alun-alun Jogja kita?, tanya Joko sambil berjalan bersama Irene.

“Bagus kok. Rapi. Enggak seperti yang temen-temen Irene bilang.”, jawab Irene.

“Emang mereka bilang apa soal kota tua?”, tanya Joko tersenyum.

“Kata mereka kota tua itu panas, rame, kotor, jorok, banyak copetnya.”, jawab Irene.

“Sekarang apa yang kamu rasain?”, tanya Joko.

“Ya enggak seperti yang mereka bilang. Irene malah excited mau kelilingin kota tua.”, jawab Irene tersenyum manis.

“Aku setuju sama kamu.”, jawab Joko tersenyum.

 

“Panas, kalau siang-siang datangnya. Ke alun-alun Jogja siang-siang, juga panas. Rame, artinya tempatnya bagus untuk di datangin. Kotor, ya semua tempat umum kalau lagi rame banget pasti kotor juga. Soalnya kita kan enggak bisa mengontrol pengunjung yang buang sampah sembarangan. Harus kesadaran diri mereka masing-masing. Kalau copet, menurut aku hampir semua tempat pasti ada. Tinggal bagaimana kita jaga barang bawaan kita. Sekarang sih udah aman. Banyak satpamnya. Tuh kamu lihat, ada di mana-mana kan satpamnya.”, sambung joko menjelaskan panjang lebar.

“Cie cie, udah jadi orang Jakarta ya sekarang. Jadi belain banget.”, jawab Irene tersenyum menggoda Joko.

“Enggak kok. Cuma memperjelas aja. Soalnya aku juga nyaman main disini.”, jawab Joko tertawa.

“Irene juga nyaman disini. Temenin Irene sampe puas ya.”, ujar Irene tersenyum, yang membuat Joko merasa sangat senang.

“Siap. Asal kamu kuat aja.”, jawab Joko tersenyum.

“Salau enggak kuat, nanti Irene naik ontel aja. Kamu yang dorongin Irene.”, jawab Irene tertawa kecil.

“Enak aja.”, jawab Joko tersenyum.

 

Ingin sekali rasanya Joko menggandeng tangan Irene saat ini, tapi Joko tidak berani dan takut Irene marah. Mereka berjalan mengelilingi area kota tua ditemani langit sore yang cerah. Joko menemani Irene kemanapun dia berjalan dan berhenti untuk melihat-lihat sejenak. Tawa dan canda menemani hari mereka. Beberapa kali mereka berhenti untuk membeli cemilan yang dijajakan oleh para pedagang di area kota tua. Kebahagiaan yang telah ditunggu-tunggu oleh Joko. Beberapa tempat dijadikan spot foto oleh mereka. Jembatan merah, museum bahari, toko lama, patung Meriam, dijadikan spot foto oleh mereka berdua. Tidak terasa sudah lebih dari satu jam mereka berkeliling di area kota tua.

 

“Kamu capek enggak Ren?”, tanya Joko.

“Irene masih kuat dong. Kamu udah capek ya?”, jawab Irene tersenyum.

“Selama ada kamu, aku enggak akan capek.”, jawab Joko tersenyum.

“Maksudnya?”, tanya Irene bingung.

“Ah enggak. Maksudku aku enggak capek. Aku masih kuat.”, jawab Joko tersenyum malu.

“Kirain Irene, udah enggak kuat.”, jawab Irene tertawa.

“Kamu mau coba naik sepeda ontel?”, tanya Joko mengalihkan pembicaraan.

 

Irene tersenyum mengangguk. Mereka berjalan menuju tempat penyewaan ontel yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari tempat mereka saat ini.

 

“Kamu mau yang warna apa Ren?”, tanya Joko berdiri di depan penyewaan sepeda ontel yang terparkir berjajar dan menarik untuk dilihat.

“Yang pink aja.”, jawab Irene.

“Pak, yang pink ya.”, ujar joko kepada seorang bapak yang menjaga tempat penyewaan sepeda ontel.

 

Bapak tersebut memindahkan sepeda yang sudah dipilih Irene dan memberikan kepada Irene, lengkap dengan dua topi lebar berwarna putih untuk Joko dan warna Pink untuk Irene.

 

“Berapa harga sewanya?”, tanya Irene sambil mengeluarkan dompet untuk membayar.

“Eggak usah. Kamu tamu aku, jadi aku yang bayar.”, jawab Joko tersenyum.

“Jangan ah. Aku bayar sendiri aja. Kamu kan belum kerja.”, jawab Irene merasa tidak enak dan mengeluarkan uang serratus ribu rupiah.

“Kamu doain aku cepet dapet kerja kalau gitu.”, jawab Joko tersenyum sambil memperlihatkan uang seratus ribu yang sudah dikeluarkan dari dompet Joko.

“Pasti aku doain. Makasih ya.”, jawab Irene tersenyum.

“Berapa Pak?”, tanya Joko kepada bapak penjaga sepeda ontel.

“Mau sewa berapa lama mas?”, jawab bapak tersebut.

“Satu jam aja pak. Udah sore soalnya.”, jawab Joko.

“Empat puluh ribu mas.”, jawab Bapak tersebut.

“Ini uangnya Pak.”, jawab Joko sambil memberikan uang seratus ribu.

“Makasih ya pak.”, jawab Joko sambil menerima uang kembalian dari Bapak tersebut.

 

“Udah siap Noni?”, tanya Joko tersenyum kepada Irene yang sudah memakai topi pink hingga mirip Noni Belanda.

“Siang berangkat Pak.”, jawab Irene tersenyum sambil mulai naik untuk mengendarai sepeda ontelnya dan memakaikan topi putih ke atas kepala Joko.

“Tinggi ya ternyata.”, ujar Irene tertawa dan tampak kesulitan menaiki sepeda ontel yang cukup tinggi.

“Aku pegangin dulu.”, ujar Joko tersenyum.

“Enggak usah Joko. Irene coba sendiri dulu. Udah lama enggak naik sepeda. Adaptasi dulu sebentar.”, jawab Irene sambil tetap mencoba menaiki sepeda ontel.

“Bisa?”, tanya Joko tersenyum.

“Lihat Irene ya.”, jawab Irene tersenyum karena berhasil naik dan mengendarai sepeda ontelnya.

“Hati-hati.”, jawab Joko tersenyum senang melihat Irene yang tertawa begitu lepas setelah berhasil mengendarai sepeda ontel.

 

Joko berjalan pelan sambil memperhatikan Irene. Membiarkan Irene yang berkeliling lapangan kota tua dengan sepeda ontel. Joko mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen Irene mengendarai sepeda.

 

“Kamu cantik sekali Ren.”, ujar Joko pelan.

“Irene.”, teriak Joko sambil melambaikan tangan untuk memfotonya.

 

Irene merespon dengan bersepeda ke arah Joko dan melambai sambil tertawa riang kepada Joko. Joko mulai memfoto dan merekam Irene dengan ponselnya.

 

“Seru?”, tanya Joko saat Irene melintas di depan Joko.

“Seru banget.”, jawab Irene setengah berteriak sambil tetap bersepeda.

“Kamu mau coba?”, tanya Irene menghampiri Joko.

“Kamu aja. Enggak apa-apa.”, jawab Joko tersenyum.

“Ayo kamu juga coba.”, jawab Irene tersenyum sambil tetap menawarkan.

“Ya udah oke deh.”, jawab Joko tersenyum.

“Aku pegangin.”, jawab Joko sambil membantu Irene turun dari sepeda.

“Kamu bisa naik sepeda kan?”, tanya Irene tertawa menggoda Joko.

“Aku dulu juara lomba sepeda roda tiga lho.”, jawab Joko tertawa.

“Becak donk.”, jawab Irene tertawa.

 

Joko lalu mengendarai sepeda ontel tersebut. Ternyata sangat menyenangkan berkeliling kota tua dengan sepeda ontel. Joko tersenyum sendiri saat mengendarai sepeda ontel tersebut dan mengelilingi lapangan. Joko bersepeda menuju ke arah Irene yang sudah mengeluarkan ponselnya untuk memfoto Joko. Joko melepas kedua tangannya sambil tersenyum menggowes pelan menuju arah Irene. Irene memberikan tanda jempol sambil memfoto Joko.

 

“Noni mau dibonceng?”, tanya Joko tersenyum menawarkan kepada Irene.

“Dengan senang hati.”, jawab Irene tersenyum manis.

“Pegangan ya. Saya mau ngebut.”, ujar Joko tersenyum setengah teriak.

“Siap Pak Joko.”, jawab Irene tersenyum sambil memegang jok sepeda yang diduduki Joko.

“Kencengan dikit Pak.”, ujar Irene tersenyum.

“Enggak sanggup Noni, ternyata berat.”, jawab Joko tertawa dengan pura-pura kesulitan menggowes sepeda.

“Enak aja kamu. Udah enteng ini aku.”, jawab Irene tertawa sambil mencubit pelan pinggang Joko.

“Aww.”, teriak Joko tertawa kecil.

“Seru enggak Ren?”, tanya Joko tertawa sambil menggowes sepedanya.

“Seru Jok. Gowes terus.”, jawab Irene tertawa.

 

Mereka mengelilingi lapangan kota tua dengan tidak bosannya. Sesaat, dunia menjadi milik mereka berdua. Beberapa kali Irene berpegangan pada pinggang Joko, yang membuat Joko berdebar kegirangan dalam hati.

 

“Udah satu jam nih Ren. Kamu mau lanjut sewa sepeda atau cukup?”, tanya Joko sambil menggowes sepeda dengan pelan.

“Enggak usah Jok. Cukup. Enggak terasa ya.”, jawab Irene tersenyum di belakang punggung Joko.

“Iya nih. Tapi capek juga ya gowesnya.”, jawab Joko tertawa sambil menggowes menuju ke tempat penyewaan sepeda ontel.

“Sampe.”, ujar Joko tersenyum yang memberhentikan sepeda tepat di depan bapak penjaga sepeda.

“Ini topinya Pak.”, ujar Irene tersenyum sambil menyerahkan topi pinknya kepada Bapak tersebut.

“Enggak mau tambah lagi?”, tanya Bapak itu tersenyum.

“Capek Pak.”, jawab Joko tertawa sambil memberikan sepeda ontel kepada Bapak tersebut.

“Iya Pak. Driver saya kecapean. Kurang olah raga.”, sahut Irene tersenyum setengah berbisik kepada Bapak itu.

“Bukan karena kurang olah raga Pak, Si Noni ini. Hmmm….Bapak tebak sendiri aja deh.”, ujar Joko tertawa.

“Berat maksudnya?”, jawab Irene tersenyum sinis sambil mencubit Joko.

“Kamu yang jawab sendiri loh.”, jawab Joko tertawa.

“Pacarnya suka bercanda ya Neng?”, tanya Bapak itu tersenyum kepada Irene.

 

Irene dan Joko saling memandang. Wajah Joko menjadi agak merah karena malu mendengar perkataan bapak tersebut. Walaupun di dalam hati sangat senang mendengarnya.

 

“Kita enggak pacaran kok Pak. Kita hanya temenan aja.”, jawab Irene tersenyum.

“Oh kirain Bapak pacaran. Mudah-mudahan kalian pacaran. Bapak doain ya.”, jawab bapak itu tersenyum.

 

Irene hanya tersenyum mendengar perkataan Bapak tersebut, sedangkan Joko hanya berdiam menahan diri agar tidak salah tingkah. Meskipun wajahnya masih memerah mendengar perkataan Bapak tersebut, Joko mencoba tersenyum biasa. Irene tersenyum menyadari wajah Joko yang menjadi merah malu karena perkataan Bapak tersebut .

 

“Kalian udah foto berdua belum pake sepeda?”, tanya Bapak tersebut tersenyum ramah.

“Belum Pak.”, jawab Joko.

“Kalau gitu Bapak fotoin ya. Dipake dulu topinya sama sepedanya.”, jawab Bapak tersebut.

“Kamu mau foto bareng?”, tanya Joko menatap Irene.

“Yuk.”, jawab Irene tersenyum.

“Pakai hand phone saya ya Pak.”, ujar Joko memberikan ponselnya kepada Bapak tersebut, lalu menaiki sepeda dan Irene duduk di belakang Joko. Bersiap untuk difoto oleh Bapak tersebut.

“Saya hitung ya. Satu, dua, tiga.”, ujar Bapak tersebut memberikan aba-aba, lalu memfoto mereka dengan beberapa pose berbeda.

“Ini Mas.”, ujar Bapak tersebut sambil mengembalikan ponsel Joko.

 

Joko dan Irene melepas topi mereka masin-masing dan mengembalikan sepeda ontel kepada Bapak tersebut.

 

“Makasih banyak ya Pak.”, ujar Joko tersenyum.

“Sama-sama Mas.”, jawab Bapak tersebut.

“Bapak namanya siapa?”, tanya Irene tersenyum.

“Iya ya, dari tadi enggak nanya nama Bapak.”, ujar Joko tertawa.

“Udin non.”, jawab Bapak tersebut tersenyum ramah.

“Makasih ya pak Udin.”, ujar Irene tersenyum.

“Sama-sama Neng.”, jawab Pak Udin.

“Hati- hati ya.”, sambung pak Udin.

“Punten pak.”, ujar Joko berpamit bersama Irene meninggalkan Pak Udin.

 

Rembulan malam sudah muncul lebih awal di langit biru yang masih tampak cerah, meskipun waktu menunjukkan malam sudah hampir datang menggantikan siang hari yang begitu cerah.

 

“Udah laper belum Ren?”, tanya Joko.

“Sedikit sih. Tapi nanggung. Masih terang. Kita duduk dulu aja yuk di sana.”, jawab Irene sambil menunjuk bangku kosong yang ada di pinggir lapangan lalu berjalan menuju bangku yang dimaksud Irene.

“Kita santai disini dulu aja ya sebentar.”, ujar Irene tersenyum dan duduk bersama Joko.

“Sebentar.”, ujar Joko tersenyum lalu mengeluarkan ponselnya.

“Aku fotoin dulu ya sebentar. Mumpung sepi.”, ujar Joko melanjutkan.

 

Irene tersenyum menatap Joko. Joko memfoto Irene dengan beberapa pose. Wajah cantik Irene yang sedikit berkeringat karena kelelahan, sangat menarik Joko untuk mengabadikannya.

 

“Aku lagi keringetan nih.”, ujar Irene tersenyum.

“Justru itu natural.”, jawab Joko tersenyum.

“Udah cukup, enggak usah banyak-banyak. Nanti penuh.”, ujar Joko tertawa sambil memperlihatkan hasilnya kepada Irene.

 

Irene tersenyum melihat hasil foto yang diperlihatkan Joko kepadanya.

 

“Nanti aku send ke WA kamu ya.”, ujar Joko tersenyum.

“Oke.”, jawab Irene singkat.

 

Joko duduk di sebelah Irene sambil merentangkan tangannya di sandaran bangku namun tidak berdempetan, karena ukuran bangku yang cukup panjang. Sehingga ada jarak di tengah mereka. Lagipula, Joko juga tidak berani duduk tepat di sebelah Irene karena masih merasa malu. Keduanya diam sejenak dibaawah rembulan yang sudah muncul. Tersenyum melihat orang-orang yang masih beraktifitas di lapangan ditemani tiupan sepoi angin sore. Irene tersenyum sambil menutup mata sejenak dan menghirup udara sore yang menyentuh wajahnya.

 

“Kamu happy?”, tanya Joko tersenyum.

“Iya. Thank you udah ajak Irene ke sini.”, jawab Irene tersenyum.

“Are you?”, tanya Irene.

“Sama seperti kamu.”, jawab Joko tersenyum.

“Kamu udah tentuin kosan yang kamu mau?”, tanya Joko.

“Kalau aku udah sreg sama yang satu tadi aku bilang, dan kayaknya sepupuku juga sreg. Tapi nanti Irene mau pastiin dulu sama dia”, jawab Irene.

“Kalau jadi, kamu kapan akan pindah?”, tanya Joko.

“Mungkin satu atau dua minggu sebelum Irene mulai masuk kuliah.”, Jawab Irene.

“Atma kapan mulai kuliah Ren?”, tanya joko.

“Dua bulan lagi.”, jawab Irene.

“Masih lama ya. Tapi nanti juga eggak terasa sih.”, jawab Joko tertawa.

 

“Irene juga sebenernya enggak sabar mau cepet-cepet kuliah.”, ujar Irene tertawa.

“Sabar”, jawab Joko tersenyum.

Lihat selengkapnya