“Makasih ya Mbak.”, ujar Donny dan Bimo tersenyum kepada pramusaji tersebut.
“Sama-sama Mas.”, jawab pramusaji tersebut dengan ramah.
“Enak ya pada SMP (sehabis makan pulang).”, ujar Joko tersenyum lebar sembari berjalan bersama para sahabatnya keluar dari booth catering dan berjalan menuju tempat parkir motor.
“Lo kan emang parasit Wa.”, jawab Donny tertawa kecil.
“Enak aja kamu ya Kay. Kali ini semuanya mutualisme.”, jawab Joko tersenyum.
“Yang penting kenyang ya Bing.”, ujar Donny tertawa kecil.
“Yoi. Udah masuk gratis, makan juga gratis. Sering-sering aja dah kalau gini.”, jawab Edwin tertawa.
“Kayak orang susah kamu Bing.”, sahut Joko.
“Susahan muka lo Wa.”, jawab Edwin tertawa kecil.
“Fisik! Kasar kamu ya.”, sahut Joko.
“Maafkan aku wong deso. Aku khilaf.”, jawab Edwin tertawa kecil.
“Aku maafkan, karena kamu seekor binatang yang tidak berakal budi.”, jawab Joko.
“Sial lo.”, jawab Edwin tertawa kecil sambil memukul pelan lengan kiri Joko.
“Buset ya, ini perasaan gue doang apa emang orangnya nambah banyak ini yang ke sini?”, tanya Donny sembari menggelengkan kepala melihat kerumunan orang yang semakin ramai.
“Emang nambah rame Kay. Soalnya hari terakhir kan.”, jawab Bimo.
“Kayaknya sampe malem ini ya Bim?”, tanya Joko.
“Bisa jadi Wa.”, jawab Bimo.
“Pasti sampe malemlah, kan pada mau nungguin doorprize tar jam tujuh.”, ujar Edwin.
“Sotoy kamu Bing.”, jawab Joko.
“Makanya, kalau udah dikasih tiket, dibaca jing.”, sahut Edwin.
“Aku mana pernah baca tiket sih Bing? Langsung aku masukin ke kantong.”, jawab Joko tersenyum.
“Oh, emang ada keterangannya ya di tiket? Gue juga enggak baca dari tadi.”, ujar Donny.
“Lo tau Bim?”, sambung Donny bertanya kepada Bimo.
“Enggak.”, jawab Bimo tertawa kecil.
“Tiket lo jangan di buang Bim. Itu ada nomornya. Kalau nomor lo dipanggil dan lo transaksi di salah satu booth yang ada di sini, lo bisa dapet hadiah. Kalau lo enggak transaksi, ya lo enggak dapet.”, ujar Edwin menjelaskan.
“Yang punya keperluan ke sini si Bimo, si Kambing yang tau detilnya. Yang mau kawin siapa sih sebener?nya.”, tanya Donny tertawa kecil.
“Bimo holang kaya, enggak perlu hadiah.”, sahut Joko tersenyum.
“Elo mau nungguin enggak Bim?”, tanya Edwin.
“Enggaklah. Males. Gue holang kaya, enggak perlu hadiah.”, jawab Bimo tertawa.
“Si bastard. Tengil.”, jawab Edwin tersenyum.
“Gue males nungguinnya Bing. Masih lama, lagi. Lo lihat aja yang dateng berapa ribu ini? Peluangnya kecil banget. Apalagi kalau ikut undian, gue enggak pernah dapet. Males ah.”, jawab Bimo tersenyum.
“Iye sih, kalau enggak hoki sih susah.”, ujar Donny tersenyum menimpali.
“Kali aja malam ini, kamu yang hoki Bing.”, ujar Joko tersenyum memberi semangat.
“Males Wa.”, jawab Bimo tersenyum.
“Yakin nih? Kali aja lo dapet mobil. Lumayan nih.”, ujar Edwin tersenyum mencoba meyakinkan Bimo untuk mengikuti undian tersebut.
“Enggak Bing. Balik aja. Males.”, jawab Bimo.
“Udah, enggak usah dipaksa. Yang punya hajat enggak mau, jangan dipaksain.”, ujar Donny mengingatkan para sahabatnya.
“Ya, siapa tau aja si Bimo dapet boil. Lumayan Kay ada tebengan baru nanti.”, jawab Edwin tertawa kecil.
“Makanya Bimo enggak mau, soalnya lo bakal nebeng terus.”, jawab Donny tertawa kecil.
“Itu maksud gue Kay.”, jawab Bimo tertawa sambil menunjuk Donny.
“Sial.”, jawab Edwin tersenyum.
Mereka berempat segera bergegas berjalan keluar dari gedung pameran yang sudah semakin ramai. Bahkan untuk berjalan saja pun sangat sulit karena ramainya orang yang datang di hari terakhir ini.
“Buset, enggak kepanasan apa ya di dalem lama-lama gitu?”, tanya Donny kepada para sahabatnya sambil berjalan menuju tempat parkir motor setelah keluar dari gedung pameran.
“Tar AC nya digedein kali Kay. Kalau enggak, bisa pada pingsanlah.”, jawab Joko.
“Ngapain lo pada pusing, mereka udah professional. Enggak usah khawatir.”, ujar Edwin.
“Enggak penting ya Bing?”, tanya Bimo tersenyum.
“Emang. Kayak gitulah di bahas.”, jawab Edwin.
“Maafkan aku, Bapak.”, sahut Joko.
“Kagak! Kebiasaan.”, jawab Edwin.
“Sialan kamu Bing.”, sahut Joko tersenyum.
“Langsung pada balik ya jadinya?”, tanya Donny kepada para sahabatnya yang sedang berdiri di depan motor Bimo yang terparkir di sebelah pintu keluar motor.
“Mau kemana lagi?”, tanya Edwin.
“Kali aja ada perubahan rencana.”, jawab Donny tersenyum.
“Lo aja enggak bisa Jing, masih nanya rencana.”, jawab Edwin.
“Pelajaran bahasa Indonesia lo dulu paling tinggi nilainya ya Bing di kelas?”, tanya Donny tersenyum geli.
“Paling cerdas Kay, sampe Bahasa binatang aja bisa.”, sahut Joko tertawa kecil menimpali.
“Sorry, kebiasaan. Gue udah kurangin Bahasa hewan nih, cuma kadang kelepasan kalau ngomong sama lo pada. Sialan sih, suka mancing aja.”, jawab Edwin tertawa.
“Kok jadi kita yang di salahin? Otak lo tuh yang haru dikencengin bautnya.”, jawab Donny tertawa kecil.
“Sial.”, sahut Edwin tersenyum.
“Ya udahlah, cabut aja kalau gitu.”, ujar Donny.
“Nganterin dulu Bim?”, sambung Donny tersenyum. Bertanya kepada Bimo.
“Harus dikembalikan ke kandangnya, biar enggak berkeliaran di jalan Kay.”, jawab Bimo tersenyum.
“No option ya.”, ujar Donny tertawa.
“Tanggung jawab itu namanya.”, jawab Joko tersenyum.
“Ya udah, gue ke motor dulu deh. Enggak kelar-kelar nanti.”, ujar Donny.
“Lo yang ngomong mulu sial.”, sahut Edwin tertawa kecil.
“Makanya harus di akhiri Bing.”, jawan Donny tersenyum.
“Gue sama Jawa nunggu di depan ya.”, ujar Bimo kepada Donny dan Edwin yang berjalan menuju ke motor masing-masing.
“Oke.”, jawab Donny.
“Naik Wa.”, ujar Bimo setelah selesai memakai jaket dan helm masing-masing.
“Oke.”, jawab Joko sembari duduk di belakang Bimo lalu menuju pintu keluar motor yang ada di sebelah mereka.
“Nunggu sini aja dulu ya.”, ujar Bimo sambil menunggu bersama Joko tidak jauh dari pintu keluar motor.
“Tuh, udah lagi pada bayar.”, ujar Joko yang melihat Edwin dan Donny yang sudah berada di pintu keluar motor.
“Yuk.”, ujar Donny saat berhenti di sebelah Bimo diikuti Edwin yang ada di belakang Donny.
“Yuk.”, jawab Bimo lalu berkendara motor beriringan bersama Edwin dan Donny sampai keluar dari area senayan lalu berpisah di tengah jalan menuju tujuan masing-masing.
“Gue langsung balik ya Wa.”, ujar Bimo saat telah tiba mengantarkan Joko ke tempat kosnya.
“Kamu enggak mau masuk dulu Bim?”, tanya Joko sambil menenteng helm motor yang dipinjam dari teman kosnya.
“Enggak usah deh Wa. Gue langsung balik aja.”, jawab Bimo.
“Baru jam lima, masih pagi. Mie instan aku masih banyak loh. Enggak mau kamu habisin dulu?”, tanya Joko tersenyum.
“Sialan lo. Kagak.”, jawab Bimo tersenyum.
“Bener?”, tanya Joko lagi.
“Iye, kagak.”, ujar Bimo tersenyum.
“Baiklah kalau begitu. Lumayan stok mie aku jadi aman kalau gitu.”, jawab Joko tertawa kecil.
“Bangke.”, jawab Bimo tersenyum.
“Ya udah, gue jalan ya Wa. Thank you ya.”, sambung Bimo.
“Hatti-hati Bim.”, jawab Joko melambaikan tangan kepada Bimo yang kemudian berlalu meninggalkan Joko.
Bimo memacu motornya dengan santai menuju rumahnya. Dua puluh menit kemudian, Bimo sampai di rumahnya.
“Assalamualaikum Bu.”, ujar Bimo menyapa Ibunya yang sedang menonton televisi di ruang tamu.
“Waalaikumsalam.”, jawab Ibunya.
“Udah makan Bu?”, tanya Joko sambil salim kepada Ibunya dan duduk di sebelah Ibunya.
“Belum. Nanti aja habis sholat maghrib.”, jawab Ibunya.
“Kamu nanti makan malem di rumah atau keluar sama Tari?”, tanya Ibunya.
“Makan di rumah Bu. Tari lagi pergi sama temennya.”, jawab Bimo.
“Bukannya pergi sama kamu ke pameran hari ini?”, tanya Ibunya.
“Enggak Bu. Tari ada urusan mendadak. Jadi enggak bisa pergi. Tadi Bimo pergi sama temen-temen Bimo.”, jawab Bimo.
“Oh. Kenapa Mentari?”, tanya Ibu Bimo.
“Pergi sama temennya. Ada urusan mendadak.”, jawab Bimo.
“Kalian enggak lagi berantem kan?”, tanya Ibunya tersenyum menatap mata Bimo.
“Enggaklah Bu. Kita kan pasangan romantis. Enggak pernah berantem.”, jawab Bimo tersenyum menutupi cerita yang sebenarnya.
“Bagus kalau begitu. Enggak boleh berantem ya. Harus ada yang ngalah dan sama-sama pengertian biar awet.”, ujar Ibunya tersenyum menasehati.
“Iya Bu.”, jawab Bimo tersenyum.
“Jadi dapet?”, tanya Ibu Bimo.
“Jadi Bu. Bimo tadi udah depe juga. Bimo ambil yang paket Bu. Jadi gedung, catering, bridal, foto semua jadi satu. Lebih murah soalnya Bu.”, jawab Bimo.
“Nah iya, enakan seperti itu. Kamu jadi enggak pusing urus ini itunya.”, ujar Ibunya tersenyum lebar.
“Iya Bu. Tau beres aja. Tapi Ini cuma buat dua ratus lima puluh orang undangan ya Bu. Nanti jadi selektif undang orangnya.”, jawab Bimo tersenyum.
“Iya enggak apa-apa. Paling keluarga besar kita dan Mentari. Sisanya kamu sama Mentari atur aja.”, jawab Ibunya tersenyum.
“Iya Bu. Bimo kasih tau dulu dari sekarang.”, jawab Bimo tersenyum.
“Mentari udah kamu kasih tau juga kan kalau kamu udah ambil paket ini ?”, tanya Ibunya.
“Udahlah Bu. Masa calon pengantinnya enggak dikasih tau.”, jawab Bimo tersenyum membohongi Ibunya kembali dengan terpaksa.
“Ya Ibu tanya aja. Kalau soal beginian kan enggak boleh mutusin sepihak, harus sama-sama setuju.”, ujar Ibunya.
“Iya Bu. Tenang aja.”, jawab Bimo tersenyum.
“Berapa harganya Bim?”, tanya Ibunya.
“Sembilan puluh juta Bu. Bimo udah depein sepuluh persen.”, jawab Bimo.
“Mahal juga ya.”, jawab Ibunya.
“Doain Bimo ya Bu, biar bisa lunasin.”, jawab Bimo.
“Pasti Ibu doain. Kamu sama Mentari jangan boros-boros. Harus nabung.”, ujar Ibunya menasehati.
“Iya Bu. Pasti nabung. Bimo yakin bisa lunasin. Cuma Bimo tetep mau jaga-jaga takutnya ada pengeluaran enggak terduga.”, jawab Bimo.
“Iya, buat jaga-jaga. Nanti Ibu bantu kalau kurang. Kamu ngomong aja.”, jawab Ibunya.
“Doain aja Bu supaya Bimo bisa pakai uang Bimo semua. Bimo mau mandiri.”, jawab Bimo tersenyum.
“Iya. Tapi kalau kamu emang kurang, bilang Ibu ya. Uang Ibu ya uang kamu juga.”, jawab Ibunya tersenyum lembut.
“Makasih ya Bu.”, jawab Bimo tersenyum.
“Ya udah kamu mandi dulu, udah mau maghrib. Nanti habis sholat langsung ke bawah makan sama Ibu.”, ujar Ibu Bimo tersenyum mengelus kepala putra kesayangannya.
“Iya Bu. Bimo naik dulu ya kalau gitu.”, jawab Bimo tersenyum.
“Iya.”, jawab Ibu Bimo tersenyum melihat Bimo berjalan menuju kamarnya.
Saat makan malam bersama Ibu Bimo
“Kapan foto prewednya Bim?”, tanya Ibu Bimo yang sedang makan malam bersama Bimo.