“Mentari yang mutusin kamu?”, tanya Ibunya lagi.
“Iya Bu.”, jawab Bimo dengan suara parau karena kembali menangis di depan Ibunya.
“Apa yang telah terjadi dan kamu rasakan saat ini, dekatkan diri pada Allah ya. Minta petunjuk dari Nya.”, ujar Ibunya sambil menghapus air mata putra kesayangannya.
“Iya Bu.”, jawab Bimo mencoba tersenyum.
“Kamu enggak apa-apa kan?”, tanya Ibunya merasa khawatir dengan perasaan Bimo saat ini.
“Bimo baik-baik aja Bu. Kesedihan kemarin, biarkan berlalu Bu. Bimo udah pasrah. Bimo rela, meskipun berat. Meskipun Bimo sayang banget sama Mentari. Bimo akan lebih sedih kalau lihat Mentari terpaksa mencintai Bimo.”, sambung Bimo tersenyum.
“Boleh Ibu telepon Mentari? Siapa tau dia berubah pikiran. Mungkin nasehat dari Ibu, mau didengerin.”, tanya Ibunya.
“Enggak usah Bu. Ibu enggak perlu telepon Mentari. Biarin aja Bu. Mentari udah mutusin. Jangan paksa dia.”, jawab Bimo mencegah Ibunya.
“Kamu enggak mau hubungan kamu diselamatkan?”, tanya Ibunya.
“Bimo udah lakukan kemarin Bu. Percuma. Mentari udah mutusin. Sorot matanya saat bicara sama Bimo, sangat tegas. Kita enggak akan bisa ngubah keputusannya.”, jawab Bimo.
“Ibu mau bantu aja. Siapa tau dia berubah pikiran setelah ngobrol sama Ibu.”, ujar Ibu Bimo.
“Enggak usah ya Bu. Biarin aja.”, jawab Bimo.
“Ya udah terserah kamu. Ibu ikutin apa kata kamu aja.”, jawab Ibu Bimo mencoba tersenyum memaklumi keputusan Bimo.
“Ibu jangan marah sama Mentari ya Bu.”, ujar Bimo tersenyum.
“Ibu enggak marah. Ibu hanya kecewa aja dengan keputusan yang diambil. Mengapa udah sejauh ini, udah mau nikah, malah kalian putus. Apa enggak dipikirkan matang-matang lagi?”, tanya Ibu Bimo.
“Mungkin Mentari udah memikirkan matang-matang Bu, dan ini mungkin yang terbaik menurut dia.”, jawab Bimo dengan tegar.
“Kalau emang ini yang terbaik, ya udah. Daripada terlambat.”, jawab Ibu Bimo terlihat kecewa.
“Maksudnya terlambat Bu?”, tanya Bimo.
“Lebih baik putus sekarang, daripada setelah nikah terus cerai. Semua ada hikmatnya. Kamu yang sabar ya. Yang kuat. Anak cowok harus kuat.”, jawab Ibu Bimo tersenyum sambil memeluk Bimo untuk menguatkan.
“Iya Bu. Bimo butuh waktu Bu. Doain Bimo ya supaya bisa lewatin ini semua dengan tegar.”, jawab Bimo tersenyum memeluk erat Ibunya.
“Kamu pasti bisa. Dekatkan diri sama Allah ya. Banyakin sholat. Minta kekuatan.”, jawab Ibunya tersenyum menasehati sambil menatap wajah Bimo.
“Iya Bu.”, jawab Bimo tersenyum.
“Bimo merasa bersalah Bu sama keluarga Pakde dan keluarga Kak Siti. Bimo enggak enak sama mereka, karena udah bantuin Bimo pas lamaran tapi sekarang malah batal.”, ujar Bimo tersenyum.
“Udah, enggak usah dipikirin. Nanti Ibu yang jelasin ke mereka. Yang penting kamu sekarang udah bisa nerima. Ibu juga enggak mau ngelihat kalian sering berantem kalau nanti nikah. Anggap aja ini jalannya Allah yang terbaik.”, jawab Ibunya tersenyum seolah memberikan kekuatan kepada Bimo.
“Iya nanti tolong jelasin ke meraka ya Bu. Bimo belum siap buat kasih tau mereka sekarang.”, ujar Bimo.
“Iya. Kamu tenang aja.”, jawab Ibunya tersenyum menguatkan Bimo kembali.
“Kamu tidur aja habis ini. Istirahat, biar bengkak di mata kamu kempes.”, ujar Ibunya menambahkan.
“Emang kelihatan banget ya Bu bengkak gara-gara nangis?”, tanya Bimo yang sudah dapat tersenyum lepas.
“Ketahuan lah. Nanti kamu bakal malu loh kalau kerja dengan mata kayak gitu.”, jawab Ibu Bimo tertawa kecil menghibur Bimo.
“Iya Bu. Harus dikempesin nih kalau gitu.”, jawab Bimo tersenyum.
“Ya udah, kamu istirahat kalau gitu.”, ujar Ibunya tersenyum.
“Nanti aja Bu, Bimo mau ke luar dulu sebentar.”, jawab Bimo tersenyum.
“Mau ke mana?”, tanya Ibunya merasa khawatir.
“Ke ancol Bu palingan. Mau jogging aja.”, jawab Bimo tersenyum.
“Mata kamu kan masih bengkak.”, jawab Ibunya.
“Dikit doang kok Bu. Bimo bisa pake kaca mata item.”, jawab Bimo tersenyum.
“Di rumah aja, enggak usah kemana-mana dulu.”, ujar Ibunya.
“Biar seger bu.”, jawab Bimo tersenyum.
“ Ibu ikut ya kalau gitu, kan Ibu udah lama enggak pernah ke ancol.”, ujar Ibu Bimo.
“Enggak usah Bu, Bimo lagi pengen sendiri.”, jawab Bimo tersenyum.
“Ya udah kalau gitu. Jangan lama-lama, langsung pulang. Banyakin istirahat dulu biar matanya kempes. Kan besok kamu kerja.”, jawa Ibunya menasehati.
“Iya Bu. Tenang aja. Kalau gitu Bimo ke atas dulu ya Bu. Mandi dulu.”, jawab Bimo.
“Iya .”, jawab Ibu Bimo tersenyum.
“Naik dulu ya Bu.”, ujar Bimo sambil berjalan meninggalkan Ibunya menuju kamarnya.
Bimo masuk ke dalam kamarnya. Duduk bersandar di atas ranjangnya. Bimo memejamkan kedua matanya.
“Bimo sedih Bu. Bimo sangat sedih sekarang. Bimo enggak bisa sendiri tanpa Mentari Bu. Bimo sayang Mentari Bu.”, ujar Bimo pelan sambil meneteskan air mata menahan kepedihannya yang masih terasa sampai sekarang.
Bimo menangis kembali teringat wajah Mentari yang melintas di benaknya. Bimo membohongi Ibunya tentang perasaannya. Bimo terpaksa terlihat tegar di depan Ibunya, agar Ibunya tidak banyak pikiran. Bimo takut ini akan mempengaruhi kesehatan Ibunya nantinya. Bimo tidak mau memperlihatkan kesedihannya kepada Ibunya. Bimo menutupi perasaannya yang sangat sakit. Bimo masih sangat terpukul. Bimo memendam semuanya saat ini. Tidak tahu sampai kapan Bimo dapat memendamnya, Bimo berharap dia mampu. Bimo menghapus air matanya lalu bangkit untuk mandi dan bergegas menuju ke Ancol. Berharap dengan mendatangi tempat kemarin, Bimo perlahan dapat melupakan Mentari.
“Bimo pergi dulu ya Bu.”, ujar Bimo tersenyum kepada Ibunya setelah selesai membersihkan diri.
“Hati-hati ya.”, jawab Ibunya.
“Iya Bu. Assalamualaikum.”, jawab Bimo salim kepada Ibunya.
“Waalaikumsalam.”, jawab Ibunya tersenyum.
Bimo lalu bergegas berangkat menuju Ancol mengendarai motornya. Beberapa saat setelah sampai di tujuan, Bimo mendatangi tempat yang sama saat Bimo pertama kali menyatakan cintanya kepada Mentari dan juga tempat di mana cintanya berakhir dengan kesedihan mendalam. Bimo berjalan di atas pasir putih yang menggelitik kaki. Tidak ada siapapun di sana selain Bimo seorang diri. Bimo duduk di atas pasir putih menatap langsung ke lautan luas yang Indah. Bimo memandang lautan luas yang Indah ditemani ombak-ombak kecil yang melintas. Suara burung-burung kecil bernyanyi melintasi Bimo. Meningatkan kepada Bimo kenangan Indah yang pernah dijalani bersama Mentari.
Bimo memejamkan mata, mengingat kembali kenangan Indah saat pertama kali Bimo menyatakan cintanya ke pada Mentari tepat di tempat di mana Bimo duduk sekarang ini. Bimo tersenyum mengingat setiap perkataan yang diucapkan olehnya, senyum sumringah Mentari saat menerima cinta Bimo.
“Aku suka sama kamu Tar.”, ujar Bimo pelan sambil tetap memejamkan mata.
“Thank you Bim. Aku juga cinta sama kamu.”, ujar Bimo menirukan ucapan Mentari yang masih diingatnya saat menerima cinta Bimo.
Semua diingat secara detail oleh Bimo sampai saat ini. Jelas sekali di benak Bimo. Bimo tidak ingin melupakan kenangan itu. Berharap hanya kenangan itu yang ada di benaknya saat ini. Bimo terkaget membelalakkan mata seperti baru bermimpi buruk, saat terlintas perkataan Mentari yang memutuskan Bimo. Bimo menarik nafas, terdiam memandang lautan yang tenang. Angin laut yang meniup mengelus wajah Bimo, tidak dapat membuat Bimo melupakan Mentari. Kenangan Indah yang selama ini terjalin bersama Mentari, tidak dapat dilupakan Bimo. Bimo meneteskan air mata mengingat senyum dan wajah Mentari yang sangat jelas ada di benak Bimo sat ini.
“Aku kangen kamu Yang. Aku sayang sekali sama kamu.”, ujar Bimo pelan sambil meneteskan air mata.
Bimo sangat merindukan Mentari saat ini. Bimo mengambil ponselnya. Bimo tidak berani menelepon Mentari, karena takut tidak di angkat oleh Mentari.
“Kamu lagi ngapain Yang? Kamu udah makan belum?”, ujar Bimo merekam suaranya lalu terdiam terisak menghapus air matanya yang turun tiba-tiba.
“Kamu jangan telat makan ya. Jangan sampai sakit ya. Aku sayang kamu.”, ujar Bimo dengan suara parau lalu mengirimkan kepada Mentari melalui pesan WA.
Bimo kembali menangis sambil menundukkan kepalanya. Entah berapa banyak air mata yang keluar karena kesedihannya yang sangat mendalam. Bimo tidak memperdulikan jika matanya bengkak kembali karena terlalu banyak menangis.
“Tolong Bimo Pak. Bimo butuh Bapak. Bimo sayang sekali sama Mentari Pak. Kenapa ini terjadi Pak.”, ujar Bimo sambil tetap terisak menundukkan kepala.
Beberapa menit kemudian, Bimo berhenti menangis. Bimo terdiam dan memandang kembali ke arah lautan yang sepi dengan mata yang masih basah setelah menangis, sepi seperti hatinya saat ini. Sepi sekali. Bimo berdiam diri cukup lama di sana. Terik matahari yang kian panas, seperti menyuruh Bimo agar pulang ke rumah untuk beristirahat menenangkan diri. Bimo melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan hampir jam dua belas siang. Bimo tidak tahu lagi harus ke mana untuk mencari tempat penghiburan bagi dirinya. Seluruh sahabatnya pun sedang sibuk bekerja. Bimo memutuskan untuk pulang ke rumah. Bimo bangkit berdiri dengan lesu dan berjalan menuju tempat parkir motor lalu pulang ke rumah.
Sesampainya Bimo di rumah, Bimo melihat sebuah mobil yang sangat dikenalnya sedang terparkir tepat di depan rumahnya. Mobil milik orang tua Mentari. Bimo bergegas masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum.”, ujar Bimo menyapa Ibu dan kedua orang Mentari yang sedang duduk bersama Ibunya di ruang tamu.
“Walaikumsalam.”, jawab Ibu Bimo tersenyum.
“Bu.”, ujar Bimo sambil salim kepada Ibunya.
“Om, tante.”, ujar Bimo memanggil kedua orang tua Mentari sambil salim kepada mereka.
Ayah Mentari memperhatikan mata Bimo yang terlihat bengkak. Ayah Mentari tahu, Bimo menangis terlalu lama yang menyebabkan matanya bengkak.
“Duduk sini Bim.”, ujar Ibu Bimo menyuruhnya untuk duduk di sebelah Ibunya.
“Kamu enggak kerja Bim?”, tanya Ayah Mentari tersenyum ramah.
“Enggak Om, Bimo lagi cuti.”jawab Bimo tersenyum.
“Udah lama Om?”, tanya Bimo lagi.
“Baru lima belas menit Om nyampe. Mohon maaf jika kedatangan kami mengganggu.”, jawab Ayah Mentari.
“Om jangan ngomong seperti itu. Bimo dan Ibu seneng kok kalau Om dan Tante mau main ke sini.”, jawab Bimo tersenyum.
“Terima kasih Bim.”, jawab Ayah Mentari.
“Ibu udah masak?”, tanya Bimo kepada Ibunya.
“Udah.”, jawab Ibunya.
“Kalau gitu makan dulu aja Om dan Tante, udah siang. Om dan Tante belum makan kan?”, ujar Bimo menawarkan.
“Makasih Bimo. Om dan Tante udah makan tadi sebelum ke sini. Maksud Om dan Tante datang ke sini, kami ingin minta maaf langsung kepada kamu dan keluarga kamu mengenai hubungan kamu dengan Mentari. Kami baru tau tadi pagi saat Mentari menjelaskan. Kami sangat kaget mendengar penjelasan Mentari. Om dan Tante sudah mencoba menasehati Mentari untuk membatalkan keputusannya dan memperbaiki hubungan kalian kembali. Jika ada masalah, dapat dibicarakan baik-baik. Tapi kami tau sifat Mentari yang sangat kuat mempertahankan keputusan yang sudah diambilnya. Sangat sulit mengubah pendiriannya. Tolong jangan benci sama Mentari. Om dan Tante ingin minta maaf langsung kepada Ibu kamu dan kamu, semoga Mbak mau memaafkan Mentari dan tentunya kami selaku orang tua Mentari, juga ikut bertanggung jawab.”, ujar Ayah Mentari menjelaskan dengan perasaan bersalah terhadap Bimo dan Ibunya.
“Iya Om, Bimo udah ngerelain semua meskipun sangat berat bagi Bimo. Bimo sangat mencintai Mentari, tulus dari hati Bimo. Bimo enggak akan pernah benci sama Mentari meskipun hal ini sangat menyakitkan bagi Bimo. Bimo terlalu sayang sama Mentari. Tapi Bimo juga enggak bisa maksa Mentari. Bimo mau lihat Mentari bahagia, meskipun Bimo yang merana ditinggal Mentari. Bimo mencoba ikhlasin semua. Om dan Tante enggak salah. Mentari juga enggak salah Om. Enggak ada yang salah Om. Mungkin emang ini yang terbaik bagi kami berdua. Bimo sangat bersyukur dapat mengenal dan pernah merasakan cinta dari Mentari.”, jawab Bimo mencoba tersenyum tegar menahan kesedihannya.
“Kami menerima ini semua, meskipun berat dan terpaksa. Kami sadar, enggak bisa maksain Mentari untuk kembali kepada Bimo. Saya udah menganggap Mentari seperti anak saya sendiri dan saya juga sayang pada Mentari. Yang udah terjadi, biarkan terjadi. Ikhlaskan semuanya meskipun berat. Allah yang akan kasih Bimo kekuatan. Meskipun begitu, saya harap tali silahturami kita tetap terjaga untuk selamanya.”, ujar Ibu Bimo dengan lembut menimpali.
“Terima kasih Mbak dan juga Bimo. Terima kasih sudah mau maafin Mentari, Om dan Tante.”, jawab Ayah Mentari tersenyum masih merasa tidak enak hati dengan Bimo.
“Mbak dan Bimo, terima kasih banyak sudah mau maafin Mentari. Jujur kami merasa bersalah dan gagal mendidik Mentari. Tapi saya tahu saya enggak bisa maksain perasaan Mentari dan kami sebagai orang tua pun juga ingin melihat anak kami bahagia. Sekali lagi kami minta maaf sedalam-dalamnya jika menyakiti perasaan Mbak dan Bimo.”, ujar Ibu Mentari menambahkan.
“Jangan ngomong seperti itu. Kalian enggak gagal sebagai orang tua. Ini semua pasti ada hikmahnya. Syukuri saja.”, jawab Ibu Bimo tersenyum.
“Iya Mbak, terima kasih banyak.”, jawab Ibu Mentari tersenyum.
“Om dan Tante tenang aja. Bimo ikhlasin semuanya. Meskipun Bimo udah enggak bisa jagain Mentari lagi, doa Bimo selalu menjaga Mentari.”, ujar Bimo tersenyum.
“Terima kasih Bimo.”, jawab Ayah Mentari.
“Ya udah, kalian jangan merasa bersalah lagi. Lebih baik kita makan siang sama-sama ya.”, ujar Ibu Bimo tersenyum ramah mencoba mencairkan suasana.
“Iya Om, Tante. Makan dulu ya.”, ujar Bimo tersenyum menimpali.
“Mohon maaf Mbak Siska, kami enggak ikut makan. Kami harus pergi, mau jenguk adik saya yang lagi di opname.”, jawab Ayah Mentari.
“Sakit apa Mas?”, tanya Ibu Bimo.
“Tipes.”, jawab Ayah Mentari tersenyum.
“Semoga lekas sembuh ya.”, jawab Ibu Bimo.
“Makasih Mbak. Sudah lebih baik kondisinya sekarang.”, jawab Ayah Mentari tersenyum.
“Jam segini masih bisa jenguk Om?”, tanya Bimo.
“kebetulan masuknya ruangan VIP, jadi jam besuknya bebas.”, jawab Ayah Mentari.
“Aman berarti Om.”, jawab Bimo tersenyum
“Iya. Jadi bisa kapan aja datengnya.”, jawab Ayah Mentari.
“Kami permisi dulu ya kalau begitu.”, ujar Ayah Mentari bangkit berdiri bersama istrinya.
“Iya Mas. Lain kali main lagi ya ke sini.”, jawab Ibu Bimo tersenyum sambil berdiri diikuti Bimo yang berdiri di sebelah Ibunya.
“Om pulang dulu ya Bim. Kapan-kapan main lagi ke rumah ya.”, ujar Ayah Mentari memeluk Bimo bagaikan anaknya sendiri.
“Iya Om.”, jawab Bimo.
“Maafin Mentari ya.”, ujar Ayah Mentari memandang Bimo sambil merangkul Bimo.
“Bimo engak pernah marah sama Mentari Om. Bimo ikhlas.”, jawab Bimo tersenyum dengan mata yang masih bengkak.
“Makasih ya.”, jawab Ayah Mentari tersenyum.
“Terima kasih ya Mbak.”, ujar Ibu Mentari memeluk Ibu Bimo.
“Sama-sama.”, jawab Ibu Bimo.
“Tante pulang dulu ya Bim.”, ujar Ibu Mentari berdiri di depan Bimo setelah berpelukan dengan Ibunya.
“Hati-hati ya Tante.”, jawab Bimo tersenyum.
“Kamu yang kuat ya. Kamu pasti bisa lewatin semua ini. Yang sabar ya.”, ujar Ibu Mentari tersenyum menguatkan Bimo sambil memegang kedua pundak Bimo.
“Terima kasih Tante. Insya Allah, Bimo kuat. Salam buat Mentari ya Tante.”, jawab Bimo tersenyum.
“Tante pasti sampaikan.”, jawab Ibu Mentari tersenyum.
Bimo dan Ibunya mengantarkan kedua orang tua Mentari berjalan menuju mobil mereka. Bimo dan Ibunya menunggui mereka sampai masuk ke dalam mobil.
“Kami pamit ya Mbak.”, ujar Ibu Mentari yang duduk di sebelah Ayah Mentari dengan kaca jendela yang diturunkan.
“Kami pulang dulu ya Mbak, Bimo.”, ujar Ayah Mentari tersenyum melambaikan tangan dari kursi pengemudi.
“Hati-hati.”. Jawab Ibu Bimo tersenyum bersama Bimo melihat kedua orang tua Mentari yang pergi dari rumah mereka.
“Kamu jadi ke Ancol tadi?”, tanya Ibu Bimo berjalan masuk bersama Bimo.
“Jadi Bu.”, jawab Bimo.
“Kamu makan dulu, terus istirahat. Biar besok bisa kerja lagi.”, ujar Ibunya menasehati.
“Iya Bu. Bimo udah laper dari tadi. Ibu udah makan?”, jawab Bimo berjalan menuju meja makan bersama Ibunya.
“Ibu masih kenyang, kamu aja yang makan. Ibu temenin kamu.”, jawab Ibunya tersenyum.
Ibu nya mengambilkan sepiring nasi untuk Bimo, lalu duduk berhadapan dengan Bimo. Bimo mengambil ikan goreng dan sambal merah saja, walaupun ada beberapa sayur yang tersesdia di meja makan.
“Kok cuma makan ikan doang?”, tanya Ibunya.
“Iya Bu. Lagi mau makan ikan aja.”, jawab Bimo tersenyum.