Kavin membuka matanya perlahan. Langit-langit kamar yang sama, aroma ruangan yang sama, dan keheningan yang sama. Udara pagi terasa dingin, namun sunyi. Ia berbaring diam selama beberapa saat, menikmati kesunyian yang ia ciptakan sendiri.
Seperti biasa, sebelum benar-benar bangun, tangannya meraba-raba sisi tempat tidur, mencari headphone yang selalu setia menemaninya. Setelah menemukannya, ia segera mengenakannya di telinga, lalu menekan tombol play pada ponselnya. Musik instrumen piano mulai mengalun lembut, mengusir suara-suara asing yang tak diinginkannya.
***
Kavin tinggal di sebuah apartemen kecil di pinggiran kota Jakarta. Apartemen itu lebih mirip seperti rumah susun dengan biaya sewa yang murah. Dindingnya tipis, sehingga suara dari unit lain mudah menembus masuk. Namun, Kavin sudah mengantisipasinya. Ia memasang peredam suara di dinding kamarnya—lapisan busa berwarna hitam yang menutupi hampir seluruh permukaan. Tidak sempurna, tapi cukup untuk meredam sebagian besar kebisingan dari luar.
Baginya, apartemen ini adalah satu-satunya tempat yang bisa melindunginya.
***
Kavin menarik napas dalam sebelum akhirnya duduk di tepi tempat tidur. Hidupnya selalu seperti ini—sunyi, tertutup, dan berjarak dari dunia luar.
Setelah Kavin lulus SMA, ia memutuskan untuk tinggal sendiri. hari-hari yang dilalui Kavin, selalu berjalan dalam pola yang sama. Bangun tidur, kerja, makan, lalu tidur lagi. Semuanya dilakukan dalam keheningan. Ia tidak perlu berbicara dengan siapa pun, tidak perlu mendengar suara yang mengganggunya. Tidak perlu menjelaskan tentang dirinya.
Dulu, sebelum ia mengenakan headphone setiap saat, suara-suara itu selalu menghantamnya tanpa ampun—suara kendaraan di jalanan, suara orang tertawa, suara piring bertabrakan di dapur, suara berisik televisi yang menyala tanpa henti. Semuanya mengganggu, semuanya menyakitkan.
Meski dengan rutinitas monoton yang membosankan, di apartemen ini Kavin merasa hidupnya sedikit lebih aman dan tenang.
***
Setelah memastikan headphone-nya terpasang sempurna, ia bangkit dan berjalan menuju dapur kecil di kamar apartemennya. Ia membuka lemari es, mengambil roti tawar dan selai cokelat. Sarapannya selalu sederhana, sesuatu yang bisa ia siapkan dengan cepat tanpa harus menyalakan peralatan dapur yang berisik.
Kavin selalu berusaha meminimalisir suara sekecil apa pun—suara yang bagi orang lain mungkin tak berarti, tapi bagi dirinya bisa menjadi siksaan. Ia sudah terbiasa dengan ini, sudah tahu bagaimana menghindari bunyi-bunyi kecil yang bisa mengganggu ketenangannya. Di dunia yang terlalu bising, ini adalah cara ia bertahan.
Setelah sarapan, ia duduk di depan laptop yang berada di atas meja dekat jendela balkon. Sebagai freelancer desain grafis, Kavin jarang berinteraksi langsung dengan orang lain. Semua komunikasi dilakukan lewat pesan singkat atau e-mail. Ia lebih nyaman seperti ini. Tidak perlu mendengar suara orang lain, tidak perlu menjawab panggilan telepon, dan tidak perlu berbicara langsung. Karena Kavin bukan hanya takut pada suara—ia juga hampir tidak pernah berbicara.
Trauma masa lalu membuatnya mengalami mutisme selektif, yang menyebabkan kesulitan berbicara di depan orang lain. Setiap kali mencoba bersuara, rasanya suaranya terperangkap di tenggorokan. Dalam pikirannya, ia mampu merangkai kalimat dengan jelas, tetapi saat hendak mengeluarkannya, tubuhnya justru membeku.
Itulah alasan lain mengapa ia lebih suka tinggal sendiri. Tidak ada tekanan untuk berbicara, tidak ada tatapan aneh dari orang-orang yang menunggunya membuka mulut dan mengeluarkan suara.
***
Di depan layar laptopnya, Kavin mulai mengerjakan desain untuk klien. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pekerjaan, dalam ketenangan yang ia ciptakan sendiri. Namun, dunia luar tidak pernah benar-benar diam.
Tiba-tiba suara ketukan keras terdengar dari dinding apartemen sebelah. Kavin mengepalkan tangannya, menekan pause pada musiknya, lalu memasang noise-cancelling di headphone-nya. Tapi suara itu tetap ada, membuat dadanya bergetar.
Ia menarik napas dalam, mencoba mengabaikannya. Namun, semakin ia berusaha mengabaikan, suara itu semakin terasa menusuk di kepalanya.