Hening.
Hanya suara napas Kavin yang terdengar, berat dan tak beraturan. Jam digital di dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Ia terbangun dengan napas tersengal, dadanya naik turun seperti habis berlari. Keringat dingin mengalir di tengkuknya, sementara matanya menatap kosong ke langit-langit, masih terperangkap dalam sisa mimpi buruk yang tak ingin ia ingat.
Mimpi itu datang lagi.
Ia bangkit perlahan, lalu beranjak ke tepi tempat tidur. Dengan gemetar, tangannya terulur mencoba meraih segelas air di nakas. Namun getaran di jari-jarinya membuat air beriak, tumpah membasahi telapak tangannya yang dingin.
Kavin mengusap wajahnya dengan kasar. Dadanya masih terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menekan dari dalam. Kakinya menapak lantai yang terasa dingin saat ia berjalan ke arah jendela. Dari lantai sepuluh, lampu-lampu kota Jakarta masih berpendar di kejauhan, kelap-kelip bagai bintang yang jatuh ke bumi. Namun, semua itu terasa jauh. Terlalu jauh untuk dijangkau.
Ia membuka sedikit jendela, membiarkan angin malam menyusup masuk. Seketika, angin malam yang lembut berubah menjadi angin yang jauh lebih kencang—angin yang membawa bau besi dan debu di perlintasan kereta.
Telinganya kembali menangkap suara itu.
Lonceng peringatan.
Deru roda besi yang menggilas rel.
Suara klakson kereta yang menggema di udara.
Dan sebelum ia bisa melawan, pikirannya telah membawanya kembali ke masa itu.
Ke momen yang mengubah segalanya.
Ke malam ketika dunianya berhenti bergerak.
***
Lima belas tahun yang lalu
Kavin adalah anak yang ceria. Dunia masih terasa hangat dan penuh warna baginya, meskipun hidupnya hanya diisi oleh satu sosok—ibunya. Sejak Kavin lahir, hanya ada ibunya, sedangkan ayahnya tak pernah ada yang tahu siapa atau di mana. Ibunya jarang membicarakan sosok itu, seolah keberadaannya hanyalah bayangan yang tak pernah nyata.
Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Ibunya bekerja serabutan, untuk memenuhi kebutuhan mereka ia membuka jasa jahit di rumah, namun terkadang juga membantu menjaga toko. Meskipun hidup pas-pasan, Kavin tidak pernah mengeluh dan selalu merasa cukup. Baginya, ibunya adalah segalanya—pelindung, sahabat, dan rumah.
Namun, semakin Kavin tumbuh, semakin ia menyadari bahwa ibunya tidak selalu tersenyum seperti dulu. Tatapan itu semakin kosong, pundaknya semakin merunduk, dan suaranya terdengar lebih sering bergetar saat berbicara. Ia sering mendengar bisik-bisik orang-orang ketika mereka berjalan melewati gang sempit di sekitar rumah.
“Perempuan itu pasti nyembunyiin sesuatu. Nggak mungkin dia nggak tau siapa ayah anaknya sendiri?”
“Malu-maluin aja. Kasian banget anaknya ntar, nggak punya bapak.”
Kavin kecil tak memahami semua itu, tapi ia tahu satu hal—setiap kali ibunya mendengar bisikan-bisikan itu, matanya berkaca-kaca, dan malamnya ia menangis dalam diam.
Malam itu, ibunya keluar rumah tanpa sepatah kata pun.
Kavin merasa ada yang aneh, seakan-akan udara di sekelilingnya lebih berat dari biasanya. Dengan rasa penasaran bercampur cemas, ia mengikuti ibunya dari belakang, berusaha menjaga jarak agar tidak ketahuan.
Langkah ibunya membawanya ke rel kereta. Angin malam berembus pelan, mengibarkan ujung gaunnya. Ia berdiri di sana, diam, seolah sedang berhadapan dengan sesuatu yang tak kasat mata.
Kavin berhenti beberapa meter di belakangnya, tubuhnya menegang. Ada sesuatu dalam diri ibunya yang terasa berbeda hari ini, sesuatu yang membuat dadanya sesak. Ia menggenggam ujung kaosnya erat, jari-jarinya gemetar.
“Ibu...!”
Suara kecilnya pecah di udara malam yang senyap.
Ibunya menoleh perlahan. Tatapan mereka bertemu. Mata itu... begitu lelah, begitu kosong, seakan beban dunia telah menguras semua cahaya yang pernah ada di dalamnya.
Lalu, tanpa mengucap apapun, ibunya melangkah mendekat dan merengkuh Kavin ke dalam pelukannya. Erat. Seolah ingin mengukir kehangatan ini dalam ingatan mereka berdua untuk selamanya.
“Ibu sayang… sekali sama Kavin,”
bisiknya. Suaranya gemetar, nyaris tak terdengar.
“Maafin Ibu ya nak!”