Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #3

BAB 2 - Luka yang Tak Terlihat (Bagian II)

Siang itu, suara hujan bergemuruh di atap seng rumah Ario, menciptakan ritme monoton yang mengisi keheningan di antara mereka. Ario menatap langit kelabu di luar jendela, lalu kembali mengalihkan perhatiannya ke Kavin yang tengah duduk di sudut ruangan sambil memeluk lututnya. 

“Kayaknya kita nggak jadi jalan-jalan pagi ini, Vin," katanya dengan raut wajah kecewa sambil berjalan mendekat.

Kavin bergeming, tidak bereaksi sedikit pun. Ario mulai terbiasa dengan keheningan itu, namun tetap saja ada sesuatu yang terasa mengganjal pikirannya, setiap kali melihat adik sepupunya itu begitu tertutup.

"Sambil nunggu ujan reda. Kita main kartu aja, yuk?" Ario mengeluarkan setumpuk kartu remi dari rak, lalu mulai mengocoknya dengan lincah. “Dulu Mas Ario jago banget lho main ini, jadi jangan harap kamu bisa menang dengan mudah, ya!"

Kavin melirik sejenak, lalu perlahan mengulurkan tangannya, menerima kartu yang diberikan Ario. Mereka mulai bermain, dan meskipun Kavin tetap diam, Ario bisa melihat bahwa bocah itu setidaknya mencoba menikmati permainan mereka.

Saat hendak mengambil kartu, pandangan Ario tertuju pada sesuatu yang janggal—Kavin menyumpal telinganya dengan kapas. Ario mengernyit, merasa heran. Ia tidak langsung bertanya, hanya memperhatikan beberapa saat sebelum akhirnya membuka suara.

“Vin… kamu pakai kapas?” tanyanya heran.

Kavin refleks menunduk, seperti ingin menyembunyikannya. Tangannya perlahan meraba telinganya, seolah memastikan kapas itu masih di sana

Ario menghela napas, menatapnya dengan lembut

“Kamu nggak suka suara ujan, ya?” tanyanya pelan.

Kavin tidak menjawab, hanya meremas kartu di tangannya sedikit lebih erat.

Ario coba memahami. Mungkin bukan hujan yang mengganggu Kavin—mungkin hanya suara itu, suara derasnya hujan yang bergemuruh di atap seng, memantul di dinding, dan menggema di dalam kepala Kavin seperti sesuatu yang menyakitkan.

Ario tidak mendesaknya lebih jauh. Ia kembali mengambil kartunya dan mencoba mencairkan suasana.

“Oke, kalau gitu Mas Ario bakalan bikin suara lain yang lebih seru buat kamu,”

katanya sambil mengocok kartu dengan dramatis, membuat beberapa lembar kartu melayang sebentar sebelum jatuh di tangannya.

Setelah beberapa saat bermain, Ario akhirnya membuka topik yang sebelumnya mengganjal di pikirannya.

“Vin… besok kamu udah mulai masuk sekolah lagi, ya?” tanyanya pelan.

Kavin menghentikan gerakannya. Tangannya yang tadi hendak mengambil kartu tiba-tiba diam di udara.

“Kamu udah dua minggu absen sejak, kejadian itu…” lanjut Ario dengan nada hati-hati. "Gimana? Kamu udah siap, buat balik lagi ke sekolah?"

Kavin menunduk, jemarinya mencengkeram erat kartu-kartunya. Matanya tidak menatap Ario, tapi bahasa tubuhnya jelas menunjukkan ketegangan.

Ario menghela napas, mencoba untuk tidak terlalu memaksanya. 

“Mas Ario tau ini nggak gampang. Apalagi dengan kondisi kamu yang sekarang…” Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi kalau ada yang gangguin kamu, bilang ke Mas, ya. Mas Ario emang nggak selalu bisa ada di sana buat lindungin kamu, tapi Mas Ario janji bakalan selalu ada buat dengerin kamu, Vin.”

Lihat selengkapnya