Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #4

BAB 3 - Perpisahan yang Menyakitkan (Bagian I)

Malam itu, hujan deras mengguyur tanpa henti, namun gemuruhnya tak cukup untuk menelan suara pertengkaran yang membara di ruang tengah, tak jauh dari kamar Kavin. Bentakan penuh amarah memecah keheningan, diiringi denting kaca yang pecah berhamburan. Di antara semua itu, terselip isakan tertahan—sayup, nyaris tenggelam, ketegangan menguasai rumah, merayap di setiap sudut, mencengkeram udara hingga terasa sulit bernapas.

Ario berdiri mematung di ambang pintu kamar Kavin, tubuhnya menegang saat mendengar suara keras dari luar. Ia menoleh ke samping, melihat Kavin yang duduk meringkuk di sudut kamar, menutup telinganya dengan kedua tangan. Bocah itu menggigit bibirnya, matanya terpejam erat, seolah ingin menghilang dari dunia yang begitu bising dan mengerikan.

Di luar, suara Om Fazwan menggelegar, menggema di seluruh ruangan.

“Kamu pikir kerja kerasku selama ini nggak cukup, hah?!”

Bentakannya tajam, menusuk seperti pisau yang tak terlihat.

Tak lama, suara Nadira menyusul, bergetar di antara kemarahan dan kelelahan yang tak lagi bisa disembunyikannya.

“Kerja keras apa? Coba kamu pikir, setiap pulang selalu keadaan mabuk. Apa itu namanya kerja keras!? Aku capek, Mas! Aku muak hidup sama kamu!”

Sebuah benda jatuh dengan suara berdentum, mungkin gelas yang dilemparkan atau kursi yang terjungkal. Kavin semakin tertekan, bahunya bergetar.

Ario mengepalkan tangan. Ia ingin melakukan sesuatu, ingin menghentikan semua ini, tetapi apa yang bisa dilakukan? Ia hanyalah seorang bocah berusia  13 tahun, yang terjebak di antara dua orang dewasa yang tak henti-hentinya bertarung seperti musuh.

Dengan satu tarikan napas panjang, ia kemudian berlutut di samping Kavin, lalu menyentuh bahunya pelan.

“Kita ke kamar Mas Ario aja yuk, Vin,” bisiknya.

Kavin tidak menjawab, tetapi ia membiarkan Ario menggenggam tangannya dan menuntunnya menjauh dari keriuhan itu. Begitu pintu kamar tertutup, suara di luar masih terdengar, namun setidaknya di sini, mereka bisa bersembunyi sejenak.

Di dalam kamar yang remang, Ario duduk bersandar di dinding, matanya menatap langit-langit seolah mencari jawaban yang tak pernah ada. Kavin duduk di ujung ranjang, diam seperti biasa, tapi Ario tahu bocah itu mendengarkan.

“Kamu tahu nggak, Vin… di rumah ini, nggak ada hari tanpa pertengkaran,” ujar Ario pelan, suaranya terdengar lelah. “Dari kecil, Mas Ario udah biasa denger bentakan, piring pecah, atau suara Ibu yang nangis tengah malem.”

Kavin tetap diam, tapi tubuhnya sedikit menegang. Jemarinya mencengkeram ujung kausnya dengan erat, kebiasaannya setiap kali merasa cemas.

“Ayah… dia orangnya gampang marah. Kalau ada yang nggak sesuai sama kemauannya, dia pasti langsung meledak. Dan Ibu…” Ario menelan ludah, mencoba menahan emosi yang mendesak di dadanya. “Ibu nggak pernah ngelawan, soalnya takut sama ayah.”

Ario mengusap wajahnya, lalu menggeleng pelan. “Kadang, Mas Ario suka mikir, kalau Mas Ario jadi anak baik, penurut dan nggak pernah bikin masalah, mungkin Ayah bakalan berubah. Eh nggak taunya sama aja.”

Ario tertawa getir. “Sekeras apapun nyoba, Ayah tetep sama. Main tangan, nyakitin Ibu, dan bikin rumah ini jadi kayak neraka.”

Lihat selengkapnya