Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Keheningan yang datang setelah pertengkaran seakan menelan seluruh rumah. Tidak ada suara televisi, tidak ada suara langkah kaki, bahkan suara angin yang menerpa jendela pun terasa terlalu lirih dibandingkan dengan kebisuan yang menggantung di udara.
Ario masih terjaga. Matanya menatap langit-langit kamar yang gelap, pikirannya dipenuhi dengan segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi esok.
Di sampingnya, Kavin sudah terlelap, namun napasnya terdengar berat. Tidurnya tampak tidak nyenyak—sesekali tubuh kecilnya bergerak gelisah, seperti dihantui ketakutan yang masih melekat.
Ario menoleh ke arah pintu kamar, dadanya terasa sesak. Ia ingin keluar, ingin melihat apakah Ayahnya masih ada di rumah. Tapi kegelapan di luar sana terasa begitu pekat, seolah-olah ada sesuatu yang menunggu di baliknya—sesuatu yang tak siap ia hadapi.
Ia menutup matanya, menarik napas panjang, lalu menggenggam selimut lebih erat.
Besok, semuanya mungkin akan berbeda.
Namun untuk terakhir kalinya, malam ini ia ingin berpura-pura bahwa semuanya masih baik-baik saja, dan Kavin masih aman di sisi nya, meski hanya dengan merapatkan selimut di sekitar mereka.
Perlahan, di tengah kelelahan yang menyesakkan, Ario pun terlelap.
***
Cahaya pagi yang pucat merayap masuk melalui celah jendela, membentuk garis-garis samar di lantai kamar. Ario membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat setelah malam yang melelahkan. Untuk sesaat, ia hampir lupa dengan segala yang terjadi.
Namun, keheningan yang ganjil di luar kamar segera menariknya kembali ke realita.
Biasanya, terdengar suara piring beradu dari dapur, atau langkah kaki Ayahnya yang mondar-mandir mencari koran. Namun pagi ini—sunyi.
Senyap yang asing dan menyesakkan.
Di sebelahnya, Kavin masih meringkuk di bawah selimut. Napasnya pelan, namun kerutan di dahinya tak kunjung hilang, seolah bayangan mimpi buruk masih menghantuinya.
Ario menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari tempat tidur. Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar, seolah takut menemukan sesuatu yang lebih buruk di baliknya.
Ruang tamu porak-poranda. Pecahan gelas masih berserakan di lantai, sofa tergeser ke samping, dan beberapa lembar kertas tergeletak tak beraturan di atas meja. Sisa-sisa pertengkaran tadi malam masih tertinggal di setiap sudut ruangan, namun sosok yang bertengkar sudah tak lagi terlihat.
Ario melangkah ke dapur. Tidak ada sarapan di meja. Tidak ada sosok ibunya yang biasanya duduk di kursi sambil menyeruput teh.
Ia menelan ludah, lalu mengintip ke luar jendela. Mobil Ayahnya tidak ada di garasi.