Setelah kepergian Ario, Kavin berusaha untuk bertahan. Ia kembali bersekolah, berharap bisa menjalani hari-hari normal seperti anak-anak lainnya. Namun, semuanya telah berubah. Sejak kejadian itu, ia tak lagi mampu bersuara. Ia bagaikan bayangan di kelas—tak dianggap, selalu dikucilkan dan dilupakan—atau lebih buruknya, menjadi sasaran empuk bagi mereka yang butuh pelampiasan. Tatapan aneh, bisikan di belakang punggungnya, dorongan kecil di lorong sekolah—semuanya perlahan menggerogoti sisa keberaniannya.
Setiap hari, saat harus berangkat ke sekolah, tubuhnya gemetar tak terkendali. Suara-suara di sekitarnya terasa seperti ancaman yang siap menghancurkannya kapanpun. Hingga akhirnya, ia menyerah. Dan lebih memilih homeschooling, untuk menutup diri sepenuhnya dari dunia luar.
***
Waktu berlalu dalam keheningan yang kian menyelimuti kehidupan Kavin. Sejak kepergian Ario, hari-harinya terasa semakin hampa. Om Fazwan masih ada, namun hanya seperti bayangan—sesekali muncul di rumah, lalu kembali menghilang, tenggelam dalam kesibukannya sendiri.
Tahun pertama tanpa Ario terasa paling sulit. Kavin masih harus beradaptasi dengan homeschooling, meski pada akhirnya ia menemukan ritme tersendiri dalam belajar. Ia terbiasa menghabiskan waktu di kamar, tenggelam dalam buku-buku pelajaran atau suara-suara yang berasal dari headphone-nya—bukan suara dunia luar, tapi suara yang ia pilih sendiri, yang tidak menyakitinya.
Lambat laun, waktu berjalan semakin cepat. Tahun demi tahun berlalu tanpa banyak perubahan. Kehidupan Kavin tetap terisolasi, berputar dalam lingkaran yang sama—belajar, makan, tidur, dan berusaha sebisa mungkin menghindari interaksi dengan dunia luar.
Tak ada teman, tak ada percakapan panjang, hanya keheningan yang menemani. Om Fazwan masih membiayainya, namun hubungan diantaranya terasa hambar. Tak ada pertengkaran, tapi juga tak ada kehangatan. Mereka seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di bawah atap yang sama.
Hingga akhirnya, di usia yang ke 18 tahun, Kavin dihadapkan pada kenyataan yang tak lagi bisa dihindari—masa kecilnya telah usai, dan ia tak bisa terus bersembunyi. siap atau tidak, dunia luar menantinya.
***
Malam itu, Kavin duduk di meja makan, menunduk sambil menatap piring kosong di depannya. Tangannya mengepal di atas pahanya, berusaha menahan kegelisahan yang merayap sejak pagi. Di hadapannya, Om Fazwan duduk dengan ekspresi datar, sambil memegang cangkir kopi yang sudah setengah dingin.
"Om udah cariin tempat buat kamu," suara Om Fazwan akhirnya memecah keheningan. Nadanya datar, seperti sedang membicarakan sesuatu yang sepele. "Apartemen kecil di pinggiran kota. Agak sempit, tapi cukup lah buat kamu tinggalin sendiri."
Jantung Kavin mendadak berderu. Ia mengangkat kepalanya sedikit, dan menatap wajah lelaki paruh baya itu.
Sendiri? Ucapnya dalam hati.
Kata itu terasa tabu, sekaligus menakutkan.
Om Fazwan menghela napas berat, lalu meletakkan cangkirnya dengan sedikit kasar.
"Sekarang kan kamu udah lulus SMA, selama ini Om udah banyak nanggung biaya kamu. Sekarang waktunya kamu idup mandiri," katanya, tanpa sedikit pun nada belas kasih.
Kavin menelan ludah. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin bertanya—apakah ini karena ia merepotkan? Atau karena Om Fazwan memang sengaja melepasnya, membiarkannya menghadapi dunia sendirian? Namun, seperti biasa, suaranya tersangkut di tenggorokan.
Melihat Kavin yang bergeming, Om Fazwan melanjutkan,
"Om udah bayarin uang sewanya buat beberapa bulan. Habis itu, kamu yang urus sendiri. Kamu bisa kerja dari rumah, kan? Om pikir, harusnya kamu udah cukup dewasa buat idup mandiri."