Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #7

BAB 4 - Awal Mula Kesendirian (Bagian II)

Tanpa disadari, beberapa stasiun telah terlewati. Suara dari speaker kereta yang mengumumkan stasiun berikutnya mendadak memecah lamunannya. Kavin mengerjapkan mata, berusaha menangkap kata-kata itu di tengah kepanikan yang masih mencengkeramnya.

Beberapa orang mulai bergerak menuju pintu, bersiap untuk turun. Suara langkah kaki bercampur dengan gesekan tas dan percakapan singkat. Kavin menelan ludah, lalu menatap layar kecil di atas pintu yang menampilkan nama stasiun berikutnya yang merupakan stasiun tujuannya.

Jantungnya berdegup semakin kencang. Jemarinya yang sejak tadi menggenggam erat tali ransel kini bergerak gelisah, seolah berusaha meredakan kegugupan yang terus menusuk.

Saat kereta mulai melambat, ia segera berpegangan pada pegangan pintu, mencoba menstabilkan diri di tengah guncangan halus. Napasnya memburu—ia ingin segera keluar dari sini.

Ketika pintu akhirnya terbuka, Kavin buru-buru mengangkat kopernya, lalu melangkah keluar sebelum kerumunan semakin padat. Begitu kakinya menyentuh peron, ia menghirup napas dalam-dalam, seolah merasa lega karena akhirnya bisa lolos dari sesuatu yang hampir menenggelamkannya.

Kereta kembali melaju, meninggalkannya di stasiun asing ini. Kakinya masih gemetar, tapi ia berhasil melakukannya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kavin naik kereta sendirian—menghadapi ketakutannya, melawan kegelisahan yang mengekang. Dan di tengah segala kepanikan yang melingkupinya, ia berhasil bertahan.

***

Setelah mengambil kunci kamar unitnya, Kavin segera masuk ke dalam lift yang bergerak lambat dengan bunyi berderit pelan. Begitu sampai di lantai sepuluh, ia melangkah keluar, matanya langsung tertuju pada pintu kayu dengan nomor 10DA yang tertera samar—catnya terlihat mulai mengelupas, menunjukkan usia bangungan yang sudah tua.

Ia memasukkan kunci ke lubangnya, memutarnya perlahan, lalu mendorong pintu hingga terbuka.

Ruangan itu kecil dan sederhana. Dindingnya berwarna putih kusam, lantainya dingin tanpa karpet, dan hanya ada satu jendela berukuran sedang di sisi ruangan, mengarah ke bangunan lain yang tampak sama tuanya. Di sudut, dapur kecil berdiri seadanya dengan kompor portable dan wastafel berkarat, menambah kesan usang pada tempat itu. Sesekali, suara langkah kaki terdengar dari unit sebelah, samar di balik dinding tipis apartemen, mengingatkan Kavin bahwa meski ia sendirian di ruangan ini, dunia di luar tetap bergerak tanpa henti.

Kavin melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Ia meletakkan tas di lantai lalu melepaskan headphone-nya sejenak, matanya menyapu ruangan yang sunyi. Apartemen ini terasa hampa, tanpa suara apa pun selain napasnya sendiri dan embusan angin tipis yang menyelinap melalui celah jendela.

Ia melangkah menuju jendela, lalu menyibak sedikit tirainya. Dari celah itu, lampu-lampu jalan mulai menyala, memancarkan cahaya redup di tengah senja yang perlahan memudar.

Tempat ini bukanlah rumah. Tapi, mungkin di sinilah ia harus memulai lembaran baru dalam hidupnya.

***

Kavin duduk di tepi tempat tidurnya, menatap koper kecil yang masih berantakan. Ia membuka koper itu, mengambil kamera polaroid usang milik ibunya, lalu meletakkannya di atas nakas di samping tempat tidur.

Apartemen kecil ini tetap terasa dingin dan asing, meskipun sudah beberapa hari ia tempati. Tak ada suara langkah Om Fazwan di lorong, tak ada denting piring dari dapur. Yang tersisa hanyalah keheningan, menyelimuti ruangan sempit ini seperti sesuatu yang tak ingin pergi.

Ia melirik ke meja kecil di sudut ruangan, di mana layar laptopnya menyala dengan deretan notifikasi pekerjaan yang menunggu. Menjadi freelancer memberinya kebebasan untuk tetap berada di dalam, tetapi juga berarti seluruh tanggung jawab ada di pundaknya—termasuk hal-hal yang selama ini jarang ia pikirkan.

Lihat selengkapnya