Kavin mengerjapkan matanya perlahan. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa ia telah kembali ke realitas—di kamar apartemennya yang sempit. Bayangan-bayangan masa lalu yang baru saja menghantui pikirannya perlahan memudar, namun getaran yang ditinggalkannya masih terasa hingga ke ujung jari.
Ia menggeleng pelan, berusaha mengusir ingatan itu. Sudah lebih dari satu dekade berlalu, namun setiap kali kenangan itu muncul, rasanya seolah-olah ia masih bocah delapan tahun yang berdiri kaku di dekat rel, tak mampu berteriak, tak mampu bergerak.
Tangannya meremas ujung kausnya. Lalu, perlahan, ia mengangkat kepalanya. Cahaya lampu kamar redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Dunia nyata telah kembali menyapanya, meski benaknya masih dilingkupi residu mimpi buruk yang terasa terlalu nyata.
Ia meraih headphone yang tergeletak di samping bantal, lalu mengenakannya kembali. Musik instrumental yang lembut mulai mengalun, meredam kekacauan di kepalanya. Suara-suara dari luar kamar—denting peralatan dapur, sayup-sayup suara televisi—semakin melebur, berubah menjadi gumaman samar yang tak mampu menembus perisai sunyinya.
Kavin menghela napas panjang. Ia sudah kembali ke masa kini, ke realitas yang penuh kebisingan. Namun, seperti biasa, masa lalu selalu menemukan cara untuk menariknya kembali ke dalam jurangnya.
***
Pagi itu, Kavin terpaksa keluar dari apartemennya. Ia bukan tipe yang suka bepergian, apalagi bertemu orang asing, tapi hari ini ia tidak punya pilihan. Seorang klien ingin menggunakan jasanya, dan satu-satunya cara untuk sampai ke tempat pertemuan dengan cepat adalah naik kereta.
Kereta lebih efisien—cepat, murah, dan yang paling penting, ia bisa menghindari kemacetan yang akan memaksanya berlama-lama di tengah kerumunan. Kavin tidak tahan dengan kebisingan jalanan yang penuh suara klakson, teriakan pedagang, dan gemuruh mesin kendaraan.
Namun, meskipun kereta menjadi pilihan terbaik, itu tetap bukan tempat yang nyaman baginya. Peron yang penuh sesak, gerbong yang sempit, dan suara-suara yang tidak bisa dikendalikan—semua itu adalah tantangan yang harus ia hadapi.
Ia menghela napas berat, berusaha menekan kegelisahan yang mulai merayapi pikirannya. Kali ini, ia hanya perlu fokus pada tujuannya. Pergi, menyelesaikan urusannya, lalu kembali secepat mungkin.
Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju stasiun, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu itu tidak akan semudah rencananya.