Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #11

BAB 6 - Gadis yang Terlalu Berisik (Bagian II)

Kavin melangkah menuju kampus T dengan kepala sedikit tertunduk, membiarkan tudung hoodie-nya melindungi wajahnya dari dunia luar. Headphone masih terpasang di telinganya, meski tak ada suara yang mengalun. Hanya ada denyut samar di dadanya, ritmis seperti langkah kakinya di trotoar.

Matahari mulai tinggi. Sinarnya yang terik terasa menyengat, menusuk kulit yang tak tertutup kain. Tapi Kavin nyaris tak memedulikannya. Pandangannya tertuju ke kampus yang semakin jelas di kejauhan, namun pikirannya tak terpusat pada gedung-gedung itu—melainkan pada seseorang yang mungkin akan ia temui lagi.

***

Kampus T terbentang di hadapannya. Gerbang besi menjulang tinggi dengan papan nama besar yang berdiri tegak, dipenuhi lalu-lalang mahasiswa yang sibuk dengan dunianya sendiri. Kavin berdiri di salah satu sudut, sedikit menjauh dari keramaian. Tangannya masuk ke dalam saku hoodie, jemarinya meraba ujung dompet kecil di dalamnya, memastikan benda itu masih ada di sana. 

Ia menunggu.

Waktu terasa berjalan lebih lambat. Berkali-kali, tatapannya menyapu kerumunan di sekitar gerbang, mencari sosok yang familiar dengan foto kecil di ID card itu. Orang-orang datang dan pergi, tapi tidak ada yang sesuai dengan bayangannya.

Hingga tiba-tiba, tatapannya tertahan.

Di seberang sana, sepasang mata jernih tengah mengarah padanya. Tatapan itu sedikit menyipit, seolah berusaha memastikan sesuatu. Sesaat kemudian, gadis itu mulai melangkah, mendekat dengan ragu namun tak berhenti.

"Kamu…?"

Hening berhenti tepat di depan Kavin, dadanya naik turun pelan setelah berjalan tergesa. Tatapannya jatuh pada dompet kecil yang kini terulur ke arahnya, seketika sorot matanya berubah—terkejut, ragu.

"Kamu… yang nemuin ini?" suaranya nyaris seperti gumaman, seolah masih berusaha memastikan.

Kavin tetap diam. Tanpa banyak pikir, ia mengulurkan dompet itu lebih jauh. Gerakannya kaku, seperti ingin segera mengakhiri ini dan pergi.

Hening menerima dompetnya dengan ragu, jari-jarinya menyentuh kulit sintetis yang sudah terasa familiar di genggamannya.

"Aku kirain nggak bakalan ketemu..." gumamnya, sebelum menatap Kavin dengan ekspresi tulus. "Makasih banget, ya"

Kavin hanya mengangguk kecil, lalu tanpa mengucapkan apa pun, ia berbalik. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menghilang dari tempat itu.

Namun, sebelum ia berhasil melangkah lebih jauh, sebuah tangan terulur, mencengkeram ujung lengan hoodie-nya dengan ringan.

Kavin tersentak saat merasakan tarikan halus di lengannya. Ia menoleh, menatap Hening yang kini berdiri lebih dekat darinya.

"Mau kemana? Buru-buru banget. Temenin aku makan siang dulu, yuk," kata Hening tiba-tiba, senyumnya lebar seakan mengabaikan ekspresi enggan di wajah Kavin.

Kavin menggeleng pelan, tangannya bergerak refleks ke dalam saku jaketnya, meraba-raba sesuatu. Hening mengangkat alis, menunggu. Beberapa detik kemudian, Kavin menarik keluar ponselnya dan mengetik sesuatu dengan cepat.

Tidak perlu.

Ia menunjukkan layar itu sebentar sebelum segera mengembalikannya ke saku. Namun, Hening tetap tak bergeming.

"Tapi aku mau traktir kamu, buat ucapan terima kasih," ujarnya santai. "Lagian, aku laper banget nih, tadi ngga sempet sarapan, dan kamu pasti juga belum makan siang, kan?"

Kavin menghela napas pelan, lalu menunduk sedikit, menekan jemarinya ke pelipisnya. Gerakan kecil, namun cukup bagi Hening untuk menangkap ketidaknyamanannya.

"Kamu nggak suka makan bareng sama orang asing, ya?" tebaknya.

Kavin menatapnya sekilas, lalu mengangkat bahu—jawaban samar yang bisa berarti iya atau tidak.

Lihat selengkapnya