Layar ponselnya berpendar dalam kamar yang redup. Kavin menatap nama yang muncul di sana—Hening. Sebuah pesan baru masuk, cukup singkat, hanya sekadar ucapan selamat malam disertai stiker kucing dengan ekspresi lucu. Jari-jari Kavin melayang di atas layar, sejenak ia tampak ragu ingin membalas pesannya atau tidak, sebelum akhirnya ia hanya menekan tombol kunci. Cahaya ponsel padam, menyisakan gelap yang sama seperti yang selalu menyelimutinya.
Meski hanya pesan singkat, namun ia tidak bisa terus mengabaikannya begitu saja. Karena ada sesuatu yang membuat dadanya terasa hangat, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
***
Sejak hari itu, Hening semakin sering menghubungi Kavin. Awalnya, Kavin hanya membaca pesan-pesannya tanpa berniat membalas, tetapi Hening tidak pernah menyerah. Ia selalu mengirimkan pesan-pesan sederhana—kadang hanya sekadar menanyakan kabar, mengirim foto makanan yang ia makan hari itu, atau membagikan hal-hal lucu yang ia temukan di media sosial.
Kavin tidak tahu bagaimana cara menanggapi Hening. Ia tidak terbiasa dengan seseorang yang begitu gigih ingin masuk ke dalam hidupnya. Namun, perlahan, ada sesuatu yang berubah. Ia mulai menunggu pesan dari Hening. Ia mulai terbiasa dengan keberadaannya, meskipun ia tetap enggan untuk membalas.
Hingga suatu hari, Hening mengajaknya bertemu lagi.
| Kamu lagi sibuk, nggak? makan bareng lagi, yuk. Aku nemu tempat baru yang enak.
Kavin membaca pesan itu berulang kali. Jarinya sempat melayang di atas layar, tapi ia ragu. Ia bisa saja mengabaikannya seperti biasa, namun entah kenapa kali ini berbeda. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya akhirnya mengetik satu kata:
| Oke.
Jawaban singkat itu membuat Hening membalas dengan cepat.
| Serius?! Kirain nggak bakalan dibales kayak biasanya. Oke, besok jam tujuh malem, ya! Jangan sampai nggak dateng!
Kavin menatap layar ponselnya lama, lalu menghela napas. Entah apa yang baru saja ia setujui, tapi sesuatu dalam dirinya mengatakan bahwa itu tidak seburuk yang ia bayangkan.
***
Malam itu, Kavin datang ke kafe yang telah dijanjikan Hening. Tempatnya tidak terlalu ramai, dan cukup nyaman. Hening sudah menunggunya di meja dekat jendela, melambai dengan penuh semangat saat melihatnya masuk.
Saat itulah Kavin menyadari ada sesuatu yang berbeda.
Biasanya, Hening selalu membiarkan rambut panjangnya tergerai, dengan beberapa helai yang kadang jatuh menutupi wajahnya. Tapi malam ini, rambut itu dicepol ke atas, menyisakan beberapa helai kecil yang jatuh lembut di sekitar wajahnya. Ia mengenakan kemeja berwarna peach dengan rok senada—warna lembut yang entah bagaimana justru membuatnya terlihat semakin cerah.
Kavin yang baru saja melangkah mendekat, tiba-tiba tanpa sadar memperlambat langkahnya. Matanya terpaku sejenak, menangkap detail yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya tanpa sadar menarik napas pelan, sebelum dengan cepat mengalihkan pandangan.
Ia tidak tahu apa tepatnya, tapi ada sesuatu dalam penampilan Hening malam itu yang membuat dadanya terasa sedikit… aneh.
"Aku udah pesenin minum buat kamu, nih," kata Hening begitu Kavin duduk di hadapannya. "Es teh manis suka, kan?"
Kavin mengangguk pelan, lalu membuka menu yang tergeletak di meja. Ia membaca daftar makanan dengan teliti, meski sebenarnya tidak terlalu lapar.