Langit malam terlihat pekat saat mereka keluar dari kafe. Udara menjadi sedikit lebih dingin, membawa aroma aspal yang masih hangat setelah seharian diterpa matahari. Lampu-lampu jalan menerangi trotoar dengan cahaya kuning redup, sementara kendaraan masih lalu-lalang di jalan raya, membentuk latar suara yang semakin lama semakin menusuk telinga Kavin.
Ia berjalan di sisi trotoar, bahunya sedikit tegang. Suara klakson yang tiba-tiba meletup membuat jantungnya berdegup lebih kencang, lalu deru motor yang melaju terlalu dekat menyambar di sisi lain, menciptakan dengungan tajam yang menggema di kepalanya. Napasnya mulai tidak beraturan. Jemarinya mencengkeram tali tas selempangnya lebih erat, berusaha menghalau kegelisahan yang merayap naik ke dadanya.
Lalu, sesuatu yang hangat menyentuhnya.
Kavin tersentak kecil. Hening menggenggam tangannya. Tidak erat, hanya sekadar sentuhan ringan, tapi cukup untuk membuatnya sadar akan sesuatu selain kebisingan di sekitarnya.
“Vin, jangan ngelamun, nanti kesambet, lho”
Ucap Hening santai, seolah itu hal biasa. Ia melangkah pelan, menarik Kavin untuk tetap berjalan bersamanya. Tidak menoleh, tidak memberi penjelasan, hanya menggenggamnya seakan itu adalah hal yang paling wajar untuk dilakukan.
Jemari Kavin sedikit menegang, dan semburat merah terlihat samar di wajahnya. Namun anehnya, rasa gelisah tadi perlahan mereda. Kebisingan di sekeliling mereka masih ada, tapi kini terasa lebih jauh. Lebih samar. Yang tersisa hanya kehangatan lembut dari genggaman itu, dan detak jantungnya yang berdetak sedikit lebih cepat dari sebelumnya—kali ini bukan karena serangan panik.
***
Ketika mereka sampai di persimpangan jalan, langkah Hening melambat. Cahaya lampu jalan membentuk bayangan panjang di trotoar, membingkai sosoknya yang berdiri beberapa langkah dari Kavin. Ia menoleh, lalu tersenyum kecil.
"Oia, Vin," panggilnya ringan.
Kavin menghentikan langkahnya, menatapnya dengan sorot bertanya.
"Aku mau ajak kamu jalan-jalan lagi," lanjut Hening, menggoyangkan jemarinya yang masih menggenggam tali tasnya. "Besok atau lusa…mau ngga temenin aku ke taman?"
Kavin sedikit mengernyit, tidak langsung bereaksi.
"Tempatnya bagus banget," Hening menambahkan cepat, seakan takut Kavin akan langsung menolak. "Nggak terlalu ramai, ada banyak pohon, dan ada danau kecil juga. Nyaman banget buat duduk-duduk santai."
Ia mengayun-ayunkan tubuhnya pelan, lalu menatap Kavin dengan mata penuh harap.
"Nggak perlu jawab sekarang," ucapnya lagi, menyeringai kecil. "Pokoknya, kalau kamu mau, kabarin aku, ya?"
Kavin menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil.
Hening terkekeh. "Sip!"
Ia melambaikan tangan sebelum berbalik, melangkah menuju arah rumahnya. Kavin masih diam di tempat, memandang punggung gadis itu yang semakin menjauh.