Hujan turun perlahan, membasahi jalan setapak yang mereka lalui dengan ritme lembut namun tak henti. Bau tanah basah memenuhi udara, bercampur dengan aroma dedaunan yang tersiram air. Hening sedikit menggigil, merapatkan jaketnya sambil sesekali melirik ke arah Kavin yang berjalan di sampingnya.
Tidak ada kata-kata yang terucap sejak mereka beranjak dari perbincangan terakhir di taman tadi sore. Tawaran Hening untuk selalu siap mendengarkan masih menggantung di udara, seperti janji yang menunggu untuk diuji. Kavin tidak langsung merespons, tetapi ia juga tidak menghindar. Langkahnya tetap seiring dengan Hening, meski tatapannya terus menunduk, seolah masih berusaha memahami sesuatu yang baru baginya—kehadiran seseorang yang benar-benar ingin mendengar.
•••
Hujan yang semula hanya gerimis tiba-tiba berubah deras. Hening tersentak, refleks merapatkan jaketnya sementara langkahnya makin cepat. Di sampingnya, Kavin ikut berlari kecil, sepatu mereka memercikkan air di sepanjang jalan setapak.
“Kita neduh di situ dulu, Vin!” seru Hening begitu melihat sebuah pondok kayu tua di tepi jalan. Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas ke arah bangunan kecil itu, diikuti Kavin yang tetap diam.
Begitu sampai, Hening masuk lebih dulu, mengibaskan jaketnya yang basah lalu mengusap wajahnya yang dipenuhi air hujan. Sementara itu, Kavin berdiri di ambang pintu, matanya menatap lurus ke luar, memperhatikan hujan yang semakin deras mengguyur tanah. Hoodie-nya yang lembap sedikit menempel di wajahnya, menyembunyikan headphone yang selalu ia pakai.
"Vin," panggil Hening pelan. "Kamu nggak apa-apa?"
Kavin mengalihkan pandangannya, ia menggeleng pelan lalu melangkah mendekat.
"Headphone kamu aman?" tanya Hening lagi, matanya melirik ke arah benda itu.
Kavin menyentuh headphone di kepalanya, merasakan kelembapan yang meresap ke lapisannya.
"Kalau lembab, lepas aja dulu," saran Hening, tangannya terangkat sedikit, hendak membantu.
Namun, sebelum ia sempat menyentuhnya, Kavin refleks melangkah mundur, ekspresinya berubah kaget. Hening terdiam, canggung dengan reaksinya, sementara Kavin menunduk, seolah menyesali gerakan spontan barusan.
Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara lirih dari sudut pondok. Suara kecil, lemah, bercampur dengan suara hujan.
Hening menajamkan telinganya. "Kamu denger juga, nggak?" bisiknya.
Kavin menggeleng. Tak lama, suara itu terdengar lagi—seperti rengekan kecil yang terselip di antara derasnya hujan.
Dengan hati-hati, Hening melangkah ke arah sumber suara. Dan di sudut gelap pondok, di balik tumpukan kayu yang sudah lapuk, sepasang mata kecil menatap mereka. Basah, kotor, dan menggigil kedinginan.
Seekor anak kucing.
Hening refleks bergerak, lalu merangkak perlahan mendekati makhluk kecil itu. Napasnya tertahan sejenak saat melihat tubuh mungilnya yang menggigil.
Di belakangnya, Kavin tetap diam. Tatapannya sulit ditebak, tapi tak sekali pun ia mengalihkan pandangan dari anak kucing yang tengah meringkuk ketakutan.
Hening berjongkok, mengulurkan tangan dengan hati-hati. Ujung jarinya hampir menyentuh bulu basah itu.
“Kasian banget, dia kedinginan,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar di antara suara hujan.
Kavin tetap diam, menatap kucing kecil itu tanpa ekspresi. Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergerak pelan—sesuatu yang hampir tak pernah ia rasakan lagi sejak lama.
•••
Hujan terus mengguyur deras, membentuk tirai tipis yang membatasi dunia luar dari pondok tua tempat mereka berteduh. Kavin masih berdiri diam memperhatikan kucing itu. Sementara, Hening berjongkok di sudut pondok, tangannya dengan lembut menyentuh anak kucing kecil yang menggigil kedinginan.
"Kasian... Dia pasti kepisah dari induknya," gumam Hening, suaranya sarat dengan empati.
Kavin melirik sekilas, ekspresinya tetap datar, tetapi ada sesuatu di matanya yang berubah. Ia menatap kucing kecil itu, bulunya basah kuyup, tubuhnya menggigil, dan matanya yang sayu menatap mereka dengan harapan samar.