Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #15

Bab 8 - Hujan, Pondok Tua, dan Heppi (Bagian II)

Langit masih basah oleh sisa hujan, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Di luar pondok, gemericik air yang jatuh dari dedaunan menjadi satu-satunya suara yang terdengar, seiring dengan hembusan angin yang berbisik pelan.

Hening melirik arlojinya, lalu mengerutkan kening. “Wah, udah malam banget, Vin.” Ia mengusap lengannya yang mulai terasa dingin. “Kita harus pulang sekarang, sebelum aku dikira kabur dari rumah.”

Kavin menoleh ke luar pondok, memastikan hujan benar-benar reda. Ia menarik napas pelan, lalu mengangguk.

Hening berjongkok di depan Heppi yang masih menggeliat manja di sudut pondok. Dengan suara lembut, ia berkata, “Kita pulang dulu, ya. Tapi tenang aja, kita bakal sering-sering ke sini.”

Kavin ikut berjongkok di samping Hening, menatap anak kucing itu tanpa ekspresi. Namun, setelah beberapa detik, jemarinya terulur, mengusap kepala kecil Heppi dengan gerakan canggung. Seolah menyadari, Hening menoleh dengan senyum penuh arti.

“Eh? Kavin mulai suka kucing?” godanya, menatap Kavin dengan tatapan jahil.

Kavin buru-buru menarik tangannya dan berdiri, pura-pura tak acuh. Ia mengetik sesuatu di ponselnya dan menunjukkan layarnya ke Hening. 

| Dia butuh perhatian.

Hening terkikik. “Oh, jadi kalau aku manja-manja gitu, aku bakal dapet perhatian juga?”

Kavin mendengus pelan, memasukkan ponselnya ke dalam saku, lalu berjalan keluar pondok tanpa memberikan jawaban. Hening tertawa kecil, kemudian melambai ke arah Heppi sebelum berlari menyusul Kavin.

Di baliknya, Heppi mengeong pelan—seolah mengingatkan janji mereka untuk kembali.

•••

Hari-hari pun berlalu, dan mereka masih rutin mengunjungi pondok tua itu untuk merawat serta memberi makan Heppi. Malam itu, mereka tiba sedikit lebih larut dari biasanya. Setelah memastikan Heppi kenyang, Hening duduk di depan pondok, meluruskan kakinya dengan santai. Matanya terangkat ke langit, mengagumi hamparan bintang yang berkelip tenang di antara gelapnya malam.

“Bagus banget, ya?” gumamnya pelan.

Di sampingnya, Kavin ikut duduk bersandar di dinding kayu yang mulai rapuh. Ia tidak menjawab, namun perlahan mengalihkan pandangannya ke langit, membiarkan matanya larut dalam keindahan malam yang sunyi.

Hening melirik sekilas ke arahnya, lalu tersenyum iseng. “Coba deh, kalau kamu bisa ngomong, kira-kira apa yang bakal kamu omongin sekarang?”

Kavin menoleh, menatapnya lama dengan ekspresi datar yang sulit diterka. Matanya sejenak bertahan di wajah Hening, seolah menimbang sesuatu, sebelum akhirnya ia mengalihkan pandangan dan mengeluarkan ponselnya.

Hening menunggu dengan antusias, berharap mendapat sebuah balasan yang sepadan. Namun, yang muncul di layar ponsel Kavin hanyalah satu kalimat singkat:

Lihat selengkapnya