Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #16

Bab 9 - Kepercayaan yang Tumbuh (Bagian I)

Pagi itu, embun masih menggantung di ujung dedaunan ketika Kavin membuka matanya. Cahaya matahari yang lembut menyelinap melalui celah gorden kamarnya, menyinari ruangan dengan kehangatan yang samar. Ia bangkit perlahan, merasakan sisa-sisa kantuk yang masih menggantung di kepalanya.

Di meja kecil di sudut kamar, headset yang selalu menemaninya tergeletak di samping ponselnya. Ia meraihnya, memasang ke telinga, lalu menarik napas panjang sebelum membuka layar ponsel. Tidak ada pesan baru.

Namun, pikirannya langsung melayang pada percakapan semalam—tatapan lembut Hening saat mereka meninggalkan pondok, suara gadis itu yang masih terngiang dalam ingatannya.

| Besok kita ke sini lagi?

Hening tersenyum saat mengiyakan. Dan sekarang, "besok" itu sudah tiba.

Kavin menutup mata sejenak, merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Sesuatu yang baru, yang belum pernah benar-benar ia pahami sebelumnya.

Dengan gerakan pelan, ia berdiri, berjalan ke jendela, dan menyingkap gorden. Udara pagi yang segar menyambutnya, membawa serta perasaan asing yang perlahan menghangatkan hatinya.

Hari ini, ia akan bertemu Hening lagi.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, itu adalah sesuatu yang sangat ia nantikan.

•••

Hening sudah menunggunya di dekat halte kecil di ujung jalan. Saat Kavin mendekat, gadis itu melambai dengan senyum yang lebar, seolah pagi ini lebih cerah dari biasanya.

"Kamu tepat waktu," ujarnya riang.

Kavin mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya mengetik dengan cepat.

| Biasanya juga gitu.

Hening tertawa kecil, lalu mengangkat kantong plastik yang dibawanya. "Aku bawa makanan buat Heppi. Kasian, kemarin dia keliatan lemes. Aku juga bawa sesuatu buat kita."

Kavin menatap kantong itu sebentar sebelum kembali mengetik.

| Apa?

Hening tersenyum penuh arti. "Rahasia. Nanti juga tau."

Alih-alih membalas, Kavin hanya mengangkat sebelah alisnya, lalu mengangguk kecil sebagai tanda menerima kejutan itu.

Perjalanan menuju pondok terasa lebih ringan dibanding kemarin, meskipun jalan setapak yang mereka lalui masih sedikit becek akibat hujan semalam. Udara pagi masih dingin, menyisakan sisa embun di dedaunan, sementara tanah basah di bawah kaki mereka terasa licin.

Hening melangkah dengan santai, sesekali melompati genangan kecil tanpa peduli cipratannya mengenai sepatu. 

“Eh, Vin,” panggilnya tiba-tiba, menoleh ke belakang dengan senyum usil. “Kalau kamu jatoh ke lumpur, bakal diem aja atau langsung nulis ‘tolong’ di ponsel?”

Kavin hanya melirik sekilas sebelum mengetik sesuatu.

| Aku lebih milih nggak jatoh.

Hening terkikik. “Oh, jadi kamu takut kotor? Kirain tipe cowok kayak kamu nggak peduli hal-hal sepele.”

Kavin tidak membalas, hanya terus berjalan di belakangnya. Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara teriakan kecil terdengar di depan.

“Astaga—!”

Lihat selengkapnya