Suasana di pondok kecil itu terasa sunyi. Heppi sudah tertidur di sudut ruangan, sesekali mengeong pelan dalam tidurnya. Di luar, angin bertiup pelan, membawa aroma dedaunan dan kayu yang menenangkan.
Hening melirik ke arah Kavin yang duduk bersandar di dinding, jemarinya perlahan mengusap layar ponselnya, entah mengetik sesuatu atau hanya mengalihkan perhatian. Tatapannya kosong, seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Hening menggigit bibirnya, merasa ragu. Sejak awal mengenal Kavin, ia tahu laki-laki itu menyimpan sesuatu—sebuah luka yang terlalu dalam hingga membuatnya membangun dinding tinggi di sekelilingnya. Ia ingin tahu, ingin memahami, tapi… apakah Kavin siap untuk itu?
Perlahan, ia menarik napas dan memberanikan diri.
“Vin…” suaranya nyaris seperti bisikan. “Boleh nanya sesuatu, nggak?”
Kavin menoleh, sepasang matanya yang kecoklatan menatapnya tanpa ekspresi. Ia tidak menjawab, tapi juga tidak menolak.
Hening menatap jemarinya sendiri, meremasnya gugup. “Selama ini kamu… selalu diem. Dan selalu takut sama kebisingan.” Ia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Apa ada sesuatu yang terjadi, di masa lalu?”
Kavin terdiam.
Sejenak, Hening merasa ingin menarik kembali pertanyaannya. Ia takut melukai Kavin, takut membuatnya tersinggung. Tapi ketika ia melihat ekspresi Kavin—mata yang tadinya kosong kini terlihat jauh lebih dalam, seolah-olah ada sesuatu yang kembali muncul di permukaannya—ia tahu, pertanyaannya telah menyentuh sesuatu yang menyakitkan.
Kavin menunduk sedikit, ponselnya kini tergenggam erat dalam tangannya. Jemarinya bergerak, mengetik sesuatu di layar, tapi tak kunjung menyelesaikannya. Ia menghapus, lalu mengetik lagi. Seolah ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi tidak bisa.
Hening merasa ada yang menyesakkan di dadanya melihat Kavin seperti itu.
Namun perlahan, Kavin akhirnya menyodorkan ponselnya.
| Aku nggak suka bahas masa lalu.
Hening menatap kata-kata itu, lalu kembali melihat wajah Kavin. Kali ini, ia bisa melihat sesuatu di balik ketenangan yang selalu Kavin tunjukkan. Kesedihan. Kesepian. Luka yang selama ini tersembunyi di balik sorot mata datarnya.
Entah mengapa, dada Hening terasa sesak. Seolah Ia bisa merasakan luka itu, meskipun Kavin tidak mengucapkannya secara langsung.
Tanpa ragu, ia bergerak lebih dekat, lalu mengulurkan tangan, menggenggam jemari Kavin dengan erat. Sentuhan itu hangat, penuh ketulusan—sebuah isyarat bahwa ia ada di sini, mendengarkan, tanpa menghakimi.
Kavin menegang sejenak. Hening bisa merasakan bagaimana jemari pria itu sedikit gemetar sebelum akhirnya melemah, seakan perlahan menerima keberadaannya.
“Vin, kamu nggak harus cerita kalau emang belum siap,” bisik Hening pelan, “Tapi kamu nggak sendirian. Aku ada di sini.”
Deg.
Kavin kaget. Kata-kata itu menggema di kepalanya, membawa ingatan yang lama terkubur. Sosok Ario tiba-tiba terlintas—satu-satunya orang yang dulu selalu melindunginya, yang selalu berkata kalau ia tidak sendiri. Ia tidak pernah menyangka, setelah sekian lama, ada seseorang selain Ario yang menunjukkan kepedulian yang sama padanya.