Langit siang tampak cerah, tetapi bayangan pepohonan yang menjulang di sekitar pondok memberi keteduhan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membawa aroma tanah yang menghangat di bawah sinar matahari. Di dekat pagar kayu yang mulai lapuk, Heppi menggeliat malas, ekor mungilnya sesekali bergerak ketika angin menyentuh bulu oranyenya.
Kavin masih duduk di tempatnya, matanya mengikuti sosok Hening yang kini berdiri agak jauh, ponsel menempel di telinganya.
Dari sudut pandangnya, ia tidak bisa mendengar apa pun—hanya melihat bibir Hening bergerak pelan, suaranya tenggelam dalam riuh suara alam. Bahunya sedikit menegang, tangannya yang bebas mencengkeram ujung bajunya, dan sesekali, ia tampak menghela napas panjang, seakan berusaha menenangkan diri.
Siapa yang meneleponnya?
Dan kenapa hanya satu panggilan mampu mengubah ekspresinya begitu drastis?
Kavin tidak menyukai ini. Tidak menyukai bagaimana kehangatan yang tadi ia rasakan menghilang dalam hitungan detik, tergantikan dengan sesuatu yang tak bisa ia pahami. Hening selalu menjadi sosok yang ceria dan terbuka—tetapi kini, ada dinding tak kasatmata yang tiba-tiba muncul di antara mereka.
Heppi mengeong pelan, mungkin menyadari ketegangan yang menggantung di udara. Kavin mengelus kepala kucing kecil itu sekilas, tapi perhatiannya tetap tertuju pada Hening.
Beberapa menit berlalu sebelum Hening akhirnya menurunkan ponselnya. Ia tidak langsung berbalik, hanya berdiri di tempat, menatap tanah di bawah kakinya.
Hening berjalan kembali ke arah Kavin dengan langkah yang sedikit lebih cepat. Rambutnya yang tergerai tertiup angin, tapi ia tidak mencoba merapikannya seperti biasa. Matanya tidak langsung menatap Kavin, seolah pikirannya masih tersangkut pada percakapan di telepon barusan.
Kavin diam, menunggu.
Hening akhirnya menghela napas dan berkata, “Kayaknya aku harus pulang sekarang, deh.”
Kavin mengerutkan kening. Baru beberapa menit lalu mereka duduk bersama, memberi makan Heppi, bercakap dalam diam yang nyaman. Sekarang, tiba-tiba saja Hening ingin pergi?
Jarinya segera mengetik di ponselnya sebelum menyodorkannya ke Hening.
| Kenapa?
Hening menatap layar ponsel Kavin sebentar, lalu tersenyum kecil—senyum yang tidak sepenuhnya mencapai matanya. “Ada urusan mendadak,” jawabnya singkat.
Kavin tidak puas dengan jawaban itu, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia hanya menatap Hening dalam diam, mencoba mencari jawaban dari ekspresinya yang sekarang sulit diterka.
Hening meraih tasnya, lalu menunduk untuk mengelus kepala Heppi. Kucing kecil itu mengeong pelan, seolah mengeluhkan kepergiannya yang terlalu cepat.
“Besok, aku bakalan kesini lagi,” kata Hening sambil berdiri tegak, menatap Kavin dengan mata yang lebih lembut kali ini. “Janji.”
Kavin menatapnya sejenak, lalu mengetik sesuatu lagi.
| Yakin?
Hening tertawa kecil—tawa yang terdengar lebih sebagai upaya untuk menenangkan suasana daripada ungkapan kebahagiaan. “Yakin,” katanya mantap. “Besok kamu juga ke sini, kan?
Kavin tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.
Hening melambaikan tangan sekilas sebelum akhirnya berbalik, melangkah pergi dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya.
Kavin tetap duduk di tempatnya, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang mengganggunya—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Ia ingin percaya bahwa Hening benar-benar akan kembali besok.
Tapi, entah kenapa, perasaan ragu mulai muncul di benaknya.
•••
Malam itu, Kavin duduk di tepi ranjang dengan ponselnya tergenggam di tangan. Layar yang menyala hanya menampilkan satu jendela obrolan—pesan terakhirnya dengan Hening. Ia belum mengetik apa pun.
Ia ingin bertanya apakah Hening sudah sampai di rumah dengan selamat. Tapi, untuk apa? Hening jelas pergi dengan tergesa-gesa tadi, dan jika ia ingin memberi kabar, pasti sudah melakukannya.
Kavin menghela napas pelan.
Kepalanya bersandar pada dinding, matanya menatap langit-langit kamar yang diterangi cahaya redup dari lampu meja. Ada sesuatu yang mengganggunya, tetapi ia tidak bisa benar-benar memahami apa itu.
Apakah ia terlalu memikirkan ini? Ataukah memang ada sesuatu yang salah?