Pada pagi yang cerah, Kavin baru saja duduk di kamarnya ketika ponselnya bergetar, menampilkan notifikasi dari klien-nya. Ia membuka pesan itu dengan mata sedikit menyipit, lalu membacanya dengan saksama.
| Mas Kavin, kami perlu bantuan.
Darurat. Maskot talent untuk acara
launching kafe hari ini, mendadak
sakit. Bisa tolong gantiin nggak?
Kostumnya udah siap. Desainnya kan
Mas yang bikin. Anggap aja
kesempatan buat ngeliat karya Mas
jadi nyata!
Kavin terdiam. Maskot? Ia memang mendesain kostum itu, tapi tidak pernah terpikir akan memakainya sendiri. Namun, dengan minimnya pilihan lain dan permintaan yang cukup mendesak, ia akhirnya setuju—apalagi setelah mereka mengatakan akan membayarnya dua kali lipat.
•••
Beberapa jam kemudian, Kavin sudah berdiri di depan kafe baru itu, di mana beberapa orang mulai berdatangan. Tubuhnya terbungkus dalam kostum badut kelinci raksasa berwarna putih dengan telinga panjang yang lucu. Tugasnya sederhana: membagikan balon kepada pengunjung, terutama keluarga dengan anak kecil.
Awalnya, Kavin merasa canggung, bahkan sedikit gelisah. Suara ramai dari orang-orang yang berdatangan, tawa anak-anak, dan musik dari kafe yang baru diresmikan membuatnya sedikit kewalahan. Suara balon yang bergesekan dan sesekali meletus pun membuatnya tegang. Namun, dengan kostum maskot yang membungkusnya rapat, ia merasa memiliki sedikit perlindungan dari dunia luar.
Ia mencoba fokus pada tugasnya—membagikan balon. Lama-kelamaan, melihat anak-anak tertawa senang saat menerima balon darinya membuat ia sedikit lebih tenang. Beberapa anak bahkan meminta tos dan foto bersama, dan tanpa sadar, Kavin mulai menikmati pekerjaannya. Meski ada suara-suara yang masih mengganggunya, ia berusaha mengabaikannya, setidaknya untuk sementara.
Namun, di tengah kesibukannya, sesuatu menarik perhatian Kavin.
Di seberang kafe, di salah satu bangku taman, matanya menangkap sosok yang begitu familiar.
Hening.
Tapi Hening tidak sendirian. Seorang pria berdiri di hadapannya, dan suasana di antara mereka terlihat tegang. Wajah Hening tampak kesal, sementara pria itu berbicara dengan ekspresi tajam. Kavin tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi dari gestur dan sorot mata mereka, jelas ada sesuatu yang tidak beres.
Beberapa detik kemudian, pria itu berbalik dan pergi, meninggalkan Hening yang masih duduk terpaku di bangkunya. Tatapannya kosong, bibirnya sedikit bergetar, sementara jemarinya mencengkram rok dengan erat. Seolah berusaha menahan sesuatu yang ingin meledak keluar.
Kavin memperhatikannya dari kejauhan. Ada dorongan aneh dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya ingin mendekat. Tanpa ragu, ia mengambil satu balon berwarna biru, lalu melangkah pelan ke arah Hening—masih dalam balutan kostum kelinci raksasa.
Begitu tiba di depan Hening, Kavin langsung mengulurkan balon biru itu tanpa suara.
Hening, yang tadinya menunduk, mengangkat kepalanya dengan kaget. Matanya membulat begitu melihat sosok kelinci besar berdiri di depannya.
Tanpa mengubah posisinya, Kavin kembali mengulurkan balon itu, sedikit lebih dekat.
Hening mengerjapkan mata beberapa kali, lalu akhirnya terkekeh pelan. Senyum tipis muncul di wajahnya saat ia menerima balon itu.