Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #20

Bab 11 - Bara, dan Api Perseteruan (Bagian I)

Hening menatap jemarinya yang saling bertaut di pangkuan. Lampu-lampu jalan melemparkan bayangan kabur di kaca jendela mobil, berpadu dengan titik-titik hujan yang meluncur pelan. Udara di dalam terasa pengap, bukan karena jendela tertutup rapat, tapi karena kesunyian yang menggantung di antara ia dan Bara.

Hening sadar bahwa hubungannya dengan Bara bukan hubungan yang mudah. Sejak awal, ada banyak hal yang membuat mereka bertolak belakang—Bara yang keras dan posesif, sementara Hening selalu ingin kebebasan dalam ruangnya sendiri. Namun, di antara semua perbedaan itu, ada sesuatu yang membuat Hening bertahan. Entah itu perhatian Bara yang begitu intens atau kenyamanan yang tumbuh seiring waktu.

Tapi belakangan, hubungan mereka terasa lebih sering diisi dengan ketegangan dibanding kebahagiaan. Bara mulai mempertanyakan banyak hal—dari jadwal kegiatan Hening yang padat hingga pertemuannya dengan orang lain. Yang dulu hanya sekadar obrolan ringan kini berubah menjadi interogasi. Dan meskipun Hening ingin percaya bahwa semua itu berakar dari rasa sayang, ada kalanya ia merasa lelah.

Bara mengeratkan genggaman di kemudi. Rahangnya mengeras, matanya lurus ke depan, tapi ketegangan di wajahnya lebih nyata daripada bayangan yang terpantul di kaca spion. Suara mesin yang berdengung pelan terasa lebih riuh dibandingkan percakapan mereka sejak tadi—karena memang tidak ada percakapan. 

Bara mengetuk-ngetukkan jarinya di setir, gerakannya pelan tapi penuh tekanan. Tatapannya tetap terpaku ke depan, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu yang sudah lama mengganjal di kepalanya.

“Siapa?” Suaranya terdengar datar, namun di balik nada itu tersembunyi sesuatu—dingin, tajam, dan nyaris menusuk.

Hening menoleh perlahan. “Maksudnya?”

“Orang yang diem-diem selalu kamu temuin.” Bara akhirnya menatapnya, sorot matanya menuntut jawaban. “Siapa!?”

Hening menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku—”

“Aku nggak butuh alasan,” Bara memotong cepat. “Aku cuma mau tau... siapa dia!?”

Di luar, hujan semakin deras, mengetuk-ngetuk kaca jendela dengan irama yang tidak sabar. Udara di dalam mobil terasa semakin pengap, seolah menyerap setiap ketegangan yang menggantung di antara mereka.

Hening menghela napas pelan, jemarinya saling meremas di pangkuan. Matanya menelusuri bayangan samar wajahnya sendiri di kaca, mencari ketenangan yang tak kunjung ia temukan. Lalu, dengan suara nyaris tenggelam dalam deru hujan, ia mengucapkannya.

“Kavin.”

Suasana di dalam mobil seketika membeku. Jari-jari Bara, yang tadinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah, kini terhenti. Rahangnya mengatup rapat, otot-ototnya menegang saat ia perlahan menoleh. Tatapannya yang sudah gelap sejak awal kini semakin pekat—seperti bara api yang baru saja disiram bensin, siap membakar apa pun di hadapannya.

“Kavin?” ulangnya, suaranya rendah, nyaris tak terdengar—tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat tengkuk Hening meremang.

Hening menelan ludah. Ia tahu, baru saja menyeret dirinya ke dalam badai.

Bara tertawa sinis, dingin. Seolah menahan amarah yang siap meledak.

“Kavin,” ulangnya pelan, seakan ingin memastikan dirinya tidak salah dengar. Tatapannya tajam menusuk, memerangkap Hening di tempatnya. “Jadi selama ini, kamu selalu ketemu dia?”

Hening menggigit bibirnya. Ada sesuatu dalam cara Bara mengucapkan nama itu—dingin, menekan—yang membuatnya gelisah.

“Aku cuma—”

“—cuma apa? Cuma ngobrol? Cuma nemenin dia? Cuma kasian?” Bara memotong, suaranya meninggi, emosinya kini tak lagi tertahan. “Apa sih istimewanya dia buat kamu!?”

Hening mengangkat wajahnya, menatap Bara dengan sorot mata yang lelah. “Kenapa sih, kamu selalu ngomong, seolah aku ngelakuin hal yang salah terus?”

Bara mendengus, kepalanya menoleh ke jendela sebelum kembali menatap Hening dengan tajam.

“Kamu tuh ya, akhir-akhir ini susah banget dihubungin,” suara Bara rendah, tapi jelas sarat tuntutan. “Biasanya, setiap aku nelpon atau chat, kamu selalu jawab. Tapi sekarang?” Ia terkekeh sinis. “Aku harus nunggu berjam-jam, malah kadang nggak dibales sama sekali.”

Hening menggigit bibirnya, mencoba merangkai jawaban. “Bara, aku sibuk. Aku harus nyelesain tugas akhir dan aku juga butuh waktu buat diri sendiri—”

“Tapi masih sempet ketemu dia?” Bara menyela tajam, matanya berkilat penuh tuntutan.

Lihat selengkapnya