Dua hari kemudian, rasa cemas masih membayangi Hening. Ia melangkah keluar dari kelas dengan kepala penuh kekhawatiran, jemarinya menggenggam erat tali tasnya, seolah mencari pegangan di tengah pikirannya yang kacau. Berbagai kemungkinan buruk berputar di benaknya—bayangan tentang apa yang mungkin dilakukan Bara setelah perdebatan mereka. Ia tahu betul sifat lelaki itu—posesif, terlalu protektif, dan selalu ingin mengendalikan segalanya. Namun kali ini, entah kenapa, perasaan was-was itu terasa lebih menekan dari biasanya.
Langkahnya terasa berat saat menyusuri koridor, seolah setiap tapak membawa beban yang semakin besar. Lalu, ponselnya bergetar di dalam tas. Hening berhenti sejenak, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia ragu. Sesaat, ia enggan mengeluarkannya. Tapi getaran itu terus berulang, mendesak tanpa henti, seakan menuntut perhatiannya. Dengan napas tertahan, ia akhirnya membuka tas dan meraih ponselnya. Notifikasi pesan menyala di layar, dan jari-jarinya sedikit gemetar saat ia menyentuhnya.
Hening menelan ludah. Bahkan sebelum membuka pesannya, ia sudah tahu isinya.
| Kamu di mana?
Jari-jari Hening bergerak lambat di atas layar, mengetik balasan untuk Bara.
| Baru keluar kelas.
Ia mengembuskan napas pelan, mencoba menenangkan diri. Baru saja hendak menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, tetapi getaran lain menyusul. Kali ini lebih cepat—seolah pesan itu sudah siap bahkan sebelum ia sempat menarik napas.
| Aku di depan kampus. Cepetan ke
sini!
Hening menoleh ke gerbang kampus dan firasatnya benar—Bara berdiri di sana, bersandar di kap mobilnya dengan tangan terlipat di dada. Ia menatap lurus ke arahnya.
Sejak perdebatan mereka beberapa hari lalu, Bara semakin sering muncul tanpa diduga, seolah-olah selalu mengawasi setiap gerak-gerik Hening. Jika ia pulang lebih lama dari biasanya, Bara akan langsung menelepon. Dan jika ia terlambat membalas pesan, rentetan pertanyaan bernada menyalahkan langsung menyusul.
Hening menarik tali tasnya dengan gelisah lalu melangkah mendekat. Begitu sampai di depan Bara, pria itu langsung menginterogasi nya,
“Kok, jam segini baru keluar?”
“Abis diskusi kelompok,” jawab Hening singkat.
“Bener?” Bara menatapnya lebih dalam, ekspresinya datar tapi matanya penuh curiga. “Kenapa nggak ngabarin?”
Hening menghela napas, mencoba mengendalikan nada suaranya.
“Aku kan nggak mungkin harus laporan terus sama kamu, Bara,” ujarnya, berusaha tetap tenang, meski dadanya mulai sesak oleh tekanan yang semakin terasa.
Bara terdiam sejenak. Tatapannya tetap lekat pada Hening, lalu dengan suara yang lebih pelan, ia berkata, “Aku cuma pengin tahu. Biar aku tenang.”
Hening menghela napas panjang, mencoba menahan perasaan tidak nyaman yang semakin menguat.
***
Layar ponsel menyala redup di samping laptopnya, menunjukkan pukul 23:47. Hening menghela napas, menekan pelipisnya yang berdenyut. Laporan di depannya masih belum selesai, tapi pikirannya sulit fokus. Bukan karena lelah, melainkan getaran ponsel yang terus-menerus mengganggunya.
Ia melirik layar. Sepuluh panggilan tak terjawab. Semua dari Bara.
Pesan-pesan menyusul, memenuhi notifikasinya.
| Kenapa nggak diangkat?