Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #22

Bab 12 - Di Antara Dua Persimpangan (Bagian I)

Siang terasa begitu lambat, seolah waktu enggan bergerak maju. Angin dari jendela yang sedikit terbuka membuat gorden tipis di kamar kos Hening berkibar pelan, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding. Hening masih duduk di tepi kasur, menatap layar ponselnya dengan ekspresi bimbang. Nama kontak Kavin masih terpampang di sana, menunggu sentuhan kecil dari jarinya untuk menghubungi.

Ia menarik napas panjang. Keinginannya untuk mendengar suara Kavin begitu besar, tapi di saat yang sama, ia tahu itu mungkin sia-sia. Kavin tidak pernah benar-benar bicara. Setiap panggilan sebelumnya hanya disambut dengan keheningan yang berat, napas lirih di ujung telepon, atau suara langkah kaki yang samar.

Jadi, apa gunanya menelepon?

Perasaan ragu semakin mencengkeramnya, tapi ia juga tidak ingin diam saja. Jempolnya bergerak, mengganti niat awalnya. Jika menelepon terasa percuma, mungkin pesan akan lebih baik.

|Vin, kamu baik-baik aja, kan? Aku

mau ketemu.

Hening menatap pesan itu lama, jemarinya menggantung di atas tombol kirim. Suara Bara masih terngiang di kepalanya—ancaman yang dingin dan tajam, memperingatkannya untuk tidak lagi menghubungi Kavin. Keraguan mulai merayap, menyesakkan dadanya, membuat jemarinya semakin ragu untuk bergerak.

Tapi kali ini, Hening tidak ingin tunduk pada ketakutan. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup tak beraturan. Namun, tepat saat ibu jarinya hampir menyentuh layar, suara dingin menyusup ke telinganya.

“Kamu lagi ngapain?”

Hening tersentak. Seketika ia menoleh, mendapati Bara tengah berdiri di belakangnya, matanya menyipit penuh kecurigaan. Sekelebat kepanikan melintas di wajahnya, tetapi sebelum ia sempat menarik tangannya, Bara sudah lebih dulu merebut ponselnya dengan kasar.

“Masih berani kamu ngontak dia!”

Suara tajam Bara menusuk telinga Hening, membuat dadanya sesak oleh ketakutan dan frustrasi. Jantungnya berdegup kencang saat melihat ekspresi pria itu—dingin, namun penuh emosi yang tertahan.

“Bara please,  balikin ponsel aku.”

Tangannya terulur, berusaha merebut kembali benda itu, tetapi Bara dengan mudah menghindar, menjauhkan ponsel dari jangkauannya. Tatapannya tajam, diselimuti amarah yang berusaha dikendalikan, sementara jemarinya bergerak cepat menelusuri daftar kontak dengan ketenangan yang justru terasa mengancam.

Dalam sekejap, ia menemukan nama yang ia cari. Tanpa sedikit pun keraguan, jari-jarinya bergerak cepat.

Blokir. Hapus kontak.

Hening menahan napas, matanya membulat. Dadanya terasa sesak, seolah udara di sekitarnya mendadak menipis. Ia nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.

“Bara, kamu kelewatan!” suaranya bergetar, dipenuhi kepanikan.

Tapi semuanya sudah terlambat. Nama itu telah lenyap dari ponselnya, seperti jejak yang dihapus tanpa sisa.

Bara menatapnya tajam, rahangnya mengeras.

“Kenapa kamu masih mikirin dia!” Tatapan Bara menuntut jawaban, membuat Hening semakin sulit bernapas.

“Aku udah bilang kan? Aku nggak suka kalau kamu masih hubungin dia.” Suaranya rendah, tetapi ada sesuatu yang mengancam di balik nya. 

Hening menggigit bibirnya, menahan gejolak emosi yang mendesak keluar. Tangannya mengepal di sisi tubuh, jemarinya bergetar halus—bukan hanya karena amarah, tapi juga frustrasi yang kian menyesakkan dadanya.

Ia tahu, melawan Bara tidak akan memberinya kemenangan, apalagi kebebasan. Yang ada, hanya semakin banyak kendali yang direnggut darinya. Bara akan menciptakan lebih banyak batasan, membangun dinding tak kasat mata yang kian menjulang, menjebaknya dalam ruang yang semakin menyempit—hingga ia nyaris tak punya tempat untuk bergerak.

Lihat selengkapnya