Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #23

Bab 12 - Di Antara Dua Persimpangan (Bagian II)

Pagi itu, Kavin terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena sinar matahari yang menyelinap melalui jendela, tetapi karena suara notifikasi ponsel yang memecah keheningan. Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponsel di sampingnya, berharap menemukan nama Hening di layar.

Namun, harapannya pupus begitu melihat nama yang muncul.

Mas Ario

Jemarinya terhenti sejenak sebelum akhirnya membuka pesan itu.

|Vin, kamu nggak mau ketemu Mas

Ario, ya?

Kavin menatap layar ponselnya yang kini diam, lalu menghela napas pelan. Ada penyesalan yang mengendap di dadanya—bukan karena ia tidak ingin bertemu, tetapi karena keraguan yang terus menahannya. Terlalu banyak waktu yang berlalu, terlalu banyak hal yang mungkin telah berubah. Apakah pertemuan ini masih akan terasa sama seperti dulu?

Seharusnya ia membalas pesan itu lebih cepat. Namun, setiap kali jemarinya bersiap mengetik, keraguan kembali menghantuinya. Bagaimana jika Ario sudah berubah? Bagaimana jika ia sendiri bukan lagi Kavin yang dulu?

Tentu saja, ia merindukan Ario. Namun, setelah sekian lama tanpa kabar, ia bingung bagaimana harus bersikap. Sosok yang dulu begitu dekat kini terasa asing, seolah mereka berasal dari dunia yang berbeda.

Akhirnya, setelah melalui banyak pertimbangan, Kavin mengetik alamatnya dan menekan tombol kirim. Tidak ada kata tambahan, tidak ada basa-basi—hanya serangkaian angka dan nama jalan yang terasa begitu dingin di layar.

Tak butuh waktu lama, Ario langsung membalas.

| Oke, nanti siang Mas Ario ke sana,

ya.

Kavin menatap pesan itu dan sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Ario akan datang secepat itu. Sosok yang dulu begitu dekat dengannya, lalu menghilang tanpa jejak, kini akan kembali hadir dalam hidupnya.

Dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup lebih kencang. Pertemuan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya kini benar-benar akan terjadi. 

***

Siang itu, matahari mulai condong, menyisakan cahaya keemasan yang menyelinap di celah-celah jendela apartemen. Kavin berdiri di depan pintu, jantungnya berdegup tak beraturan. Napasnya sedikit tertahan saat suara ketukan terdengar—pelan, namun cukup untuk membuat tubuhnya menegang.

Ia mengulurkan tangan, jemarinya sedikit gemetar saat menggenggam kenop pintu. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia menarik napas dalam dan membukanya.

Saat pintu terbuka, Kavin berdiri membeku. Di ambang pintu, seorang pria berdiri tegap, menatapnya dengan sorot mata yang tak pernah ia lupakan. Wajah itu… masih sama, namun terlihat lebih dewasa. Rahangnya lebih tegas, garis-garis halus terukir di sudut matanya, tetapi pandangan lembutnya tetap seperti dulu—penuh perlindungan.

Tatapan mereka bertemu. Sejenak, dunia terasa sunyi. Seolah tahun-tahun yang memisahkan mereka menguap begitu saja.

Ario tersenyum, tetapi di balik senyumannya, ada banyak perasaan yang tak terucapkan. Kerinduan, penyesalan, dan kelegaan. Sorot matanya berbinar, seolah tak percaya bahwa akhirnya ia bisa melihat Kavin lagi.

Tanpa mengucap apapun, Ario merentangkan tangannya dan melangkah maju, menarik Kavin ke dalam pelukan erat. Kavin terdiam di dalam dekapan itu, merasakan kehangatan yang nyaris terlupakan.

Lihat selengkapnya