Kavin terbangun dengan napas memburu, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Dadanya naik turun, sementara bayangan mimpi itu masih menghantuinya. Ia melihat Hening—berdiri di kejauhan, memanggilnya tanpa suara. Bibir gadis itu bergerak, tetapi tak ada satu kata pun yang bisa ia dengar. Lalu, perlahan, sosoknya memudar, ditelan kabut tebal yang tak bisa ditembus.
Ia menegakkan tubuh, menatap sekeliling kamar dengan mata nanar. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai. Namun, kehangatan pagi tak mampu mengusir dingin yang menjalar dalam dirinya.
Biasanya, ia akan segera mengenakan headphone dan membiarkan musik meredam pikirannya. Tapi pagi ini, benda itu hanya tergeletak di meja—tak tersentuh. Telinganya tetap kosong, seolah menanti sesuatu—suara Hening, atau mungkin sekadar alasan untuk tetap bertahan di sini.
Getaran halus tiba-tiba memecah kesunyian.
Di atas meja, ponselnya bergetar pelan, menampilkan satu nama di layar—Mas Ario.
| Gimana, Vin. Udah kamu pikirin
baik-baik, belum? Mas Ario tunggu
jawabannya, ya.
Kavin menghela napas, lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan, seolah berharap kebimbangan ini bisa luruh bersama udara pagi yang terasa berat. Pesan itu seperti pintu yang terbuka ke arah baru, tapi kakinya masih terpaku di tempat.
Pilihan itu masih menunggu. Pergi bersama Ario, meninggalkan segalanya dan memulai kembali, atau tetap di sini—mencari seseorang yang mungkin sudah tak ingin ditemukan?
Jari-jarinya mengetuk layar ponsel tanpa tujuan. Di luar, dunia terus berjalan. Tapi bagi Kavin, waktu masih berhenti di tempat yang sama.
***
Matahari siang menggantung tinggi, menyisakan bayangan tipis di jalanan setapak yang dilalui Kavin. Langkahnya pelan tapi mantap, menuju pondok tua yang selama ini menyimpan kenangan.
Saat hampir sampai di depan pintu, telinganya menangkap sesuatu—suara yang begitu familiar. Samar, namun cukup nyata untuk menghentikan langkahnya sejenak.
Suara itu.
Tanpa sadar, jantungnya berdebar kencang. Langkahnya bergerak lebih cepat, dorongan dalam dirinya semakin kuat mendesaknya untuk segera sampai di pondok. Begitu tiba, tangannya terulur, jemarinya menyentuh kenop pintu yang lapuk, lalu mendorongnya perlahan.
Cahaya matahari yang masuk dari jendela menerangi sosok yang selama ini ia cari.
Hening duduk bersila di lantai kayu, jemarinya bergerak perlahan mengelus bulu lembut Heppi yang meringkuk nyaman di pangkuannya. Kucing kecil itu mengeluarkan dengkur pelan, seolah menikmati setiap usapan.
“Maaf ya, Heppi, kemarin-kemarin aku nggak sempet ke sini,” suara Hening terdengar lembut, nyaris seperti bisikan. Ia mengusap kepala Heppi sekali lagi, matanya menatap kucing itu penuh rasa bersalah. “Eh, tapi Papa Kavin kasih kamu makan, kan?” Ada nada cemas di ujung kalimatnya, seolah takut kalau Heppi terabaikan.
Belum sempat Kavin bereaksi, Heppi tiba-tiba melompat dari pangkuan Hening dan berlari ke arahnya, mengeong riang.
Hening menoleh, binar di matanya masih tersisa—hingga tatapannya bertemu dengan sosok di ambang pintu. Seketika, waktu terasa melambat. Ada dorongan untuk melompat kegirangan, tapi ia menahannya, memilih tetap duduk dengan senyum merekah di wajahnya.
Di dekat pintu, Heppi mengitari kaki Kavin, mengeong manja seolah mengadu karena ditinggal terlalu lama. Namun, Kavin tetap diam, matanya hanya terpaku pada sosok di hadapannya.
Hening bangkit perlahan, lalu menatap Kavin dengan seringai kecil yang mulai terbentuk di sudut bibirnya.
“Kamu kenapa? Kaget, ya?” ujarnya santai sambil bertolak pinggang. “Kamu pasti ngira, aku hilang ditelen bumi, kan?”
Tapi Kavin tetap diam, menatapnya dengan ekspresi datar.
Bukannya berhenti, Hening justru semakin usil. Dengan langkah santai, ia mendekat, lalu mencondongkan wajahnya ke arah Kavin.
“Hello … Kamu masih bisa liat aku, kan? Aku bukan hantu, lho,” godanya, mengibas-ngibaskan jemarinya di depan wajah Kavin, lalu mundur sambil terkikik sendiri.
Tapi Kavin tetap bergeming, sama sekali tak memberikan reaksi. Hening menghela napas panjang, lalu bersedekap dengan ekspresi jengah.
“Duh, kamu tuh ya, masih aja diem kayak patung. Ayo dong, kasih reaksi dikit! Kayak … hmm, gini nih!”
Tanpa diduga, Hening tiba-tiba mengulurkan tangan dan mencubit pelan pipi Kavin, seolah sengaja memancing reaksi-nya.
“Surprise! Aku tau kamu pasti kangen dicubit, kan?” ujarnya penuh kemenangan.
Kavin sedikit tersentak, bukan karena sakit, tapi lebih karena terkejut.
Hening tertawa kecil, lalu menarik tangannya kembali.
“Ya ampun, ekspresinya kok masih sama, sih. Datar banget. Kamu tuh ya, kalau ikutan lomba jadi patung, pasti menang deh!” godanya sambil menoyor kepala Heppi yang masih mondar-mandir di kaki mereka.
Kavin masjh diam, tapi sorot matanya berubah. Ada sesuatu yang berputar di balik tatapannya yang gelap—sesuatu yang sulit diterka.
Hening menyadari perubahan itu, tapi bukannya mundur, ia justru semakin jahil. Dengan santai, ia mencondongkan tubuhnya, mendekat, berusaha mengintip wajah Kavin dari jarak yang lebih dekat.
“Eh, kok ekspresimu malah gitu sih? Serem banget. Udah kayak mau nelen aku bulat-bulat!” godanya, menaikkan alis dengan iseng.
Kavin tetap tak bereaksi, matanya tajam menelusuri wajah Hening, seakan mencoba menembus sesuatu yang tersembunyi di balik sikap santainya.
Alih-alih menjelaskan, Hening malah terkikik pelan. Ia mengayunkan tangan ke belakang, meregangkan bahu dengan santai, seolah sedang melakukan pemanasan sebelum mulai beraksi.
Lalu, tiba-tiba—
Cletak!
Jentikan jarinya mendarat tepat di kening Kavin.
“Jangan bengong gitu, dong. Aku jadi takut kamu kesambet, nih,” katanya sambil nyengir.