Hening - Kebisingan Penuh Warna

fotta
Chapter #25

Bab 13 - Kepercayaan yang Hancur (Bagian II)

Esok hari menjelang sore, Bara mengajak Hening berkencan di sebuah kafe. Ia bersikap lembut, nyaris seperti Bara yang dulu. Meski masih diliputi kegelisahan, Hening tetap mengikutinya, mencoba menepis rasa curiga yang terus mengusik pikirannya.

Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah toko suvenir. Langkah Hening melambat ketika matanya tertuju pada sebuah kotak musik kecil dengan ukiran indah di bagian tutupnya. Ada kilau lembut di matanya saat membayangkan, Kavin pasti akan menyukainya. Namun, sebelum ia tenggelam lebih lama dalam pikirannya, perasaan tak nyaman menjalar di benaknya.

Bara sedang memperhatikannya.

Dari sudut matanya, Bara melihat ekspresi itu. Ia tahu persis untuk siapa Hening memikirkan kotak musik itu, dan kemarahan mulai menggumpal dalam hatinya. Rahangnya mengeras, tapi ia menahan diri. Ini bukan waktunya meledak. Dengan senyum yang dipaksakan, ia meraih tangan Hening, menggenggamnya erat, lalu membawanya kembali ke jalan tanpa sepatah kata pun.

Sesampainya di kafe, mereka berbincang santai. Bara terus menjaga fasadnya—bersikap manis, penuh perhatian, seperti dirinya yang dulu. Hening mulai merasa sedikit lebih nyaman, meski ada sesuatu yang tetap mengganjal di hatinya.

Saat seorang pelayan datang membawa pesanan, Bara dengan sengaja menjulurkan kakinya, menjegal langkah pelayan itu hingga nampan yang dibawanya terjatuh, isinya tumpah dan mengenai baju Hening.

“Ya ampun!” Hening refleks berdiri, menatap noda yang kini mengotori pakaiannya.

“Maaf, Kak! Saya nggak sengaja!” Suara pelayan itu terdengar panik, dipenuhi rasa bersalah saat ia menatap cangkir yang terguling dan noda basah di baju Hening.

Bara segera bereaksi. “Aduh, Hen. Mending kamu bersihin dulu di toilet. Nanti aku pesenin minuman baru buat kamu,” ujarnya dengan nada tenang, seolah kejadian itu bukan masalah besar.

Hening menarik napas dalam, berusaha meredam kekesalan yang mulai menyeruak. Ia tahu, berdebat hanya akan sia-sia. Tanpa sepatah kata, ia mengangguk singkat, lalu bangkit dan bergegas menuju toilet.

Begitu bayangan Hening lenyap di balik pintu, senyum licik muncul di wajah Bara. Dengan cepat, ia meraih tas Hening, mengeluarkan ponselnya, dan mulai menjalankan rencananya.

***

Di bangku taman, Kavin duduk dengan kepala tertunduk, jemarinya mengetuk-ngetuk lutut dalam ritme pelan. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca ulang pesan dari Hening yang mengatakan ia akan datang terlambat. Ada sesuatu yang terasa janggal, tapi ia tak dapat memastikannya.

Belum sempat ia memikirkan lebih jauh, suara langkah mendekat dari belakang. Kavin menegang. Refleks, ia menyesuaikan headphone-nya, untuk meredam suara yang mungkin akan mengganggu. Namun, perasaan tak nyaman tiba-tiba menyelinap—seperti firasat buruk yang perlahan merayap, mengusik pikirannya tanpa alasan yang jelas.

Sebelum ia sempat bereaksi, sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahunya dengan keras.

“Hei, lo Kavin, kan?”

Kavin menoleh, seketika tubuhnya menegang. Dua pria asing berdiri di belakangnya dengan ekspresi tak bersahabat. Salah satu dari mereka menyeringai kecil dengan sorot mata tajam, membuat Kavin semakin waspada.

“Kita ngobrol sebentar,” ujar pria itu. Nada suaranya terdengar santai, tapi jemarinya mencengkeram lengan Kavin erat. Seolah memberi peringatan halus bahwa ia tak punya pilihan selain menurut.

Kavin dipaksa berdiri tanpa perlawanan, lalu digiring menjauh dari taman. Langkah mereka cepat dan mantap, tak memberi celah sedikit pun untuk melarikan diri. Tujuan mereka jelas— sebuah gudang tua yang tersembunyi di balik rerimbunan pohon, jauh dari keramaian.

Jantung Kavin berdebar kencang, napasnya memburu. Tubuhnya terasa berat, seolah terjebak di antara keinginan untuk melawan dan kenyataan bahwa ia tak berdaya. Ada dorongan kuat untuk kabur, namun setiap langkah justru membawanya semakin jauh ke dalam cengkeraman bahaya.

***

Hening keluar dari toilet dengan tergesa, tetapi begitu sampai di meja, Bara sudah menghilang. Ia mengedarkan pandangan, namun Bara tak nampak di mana pun.

Hening menggigit bibirnya, perasaan aneh mulai merayap dalam benaknya. Bara bukan tipe orang yang pergi begitu saja tanpa memberi kabar. Biasanya, ia akan memberitahunya terlebih dahulu. Namun kali ini, Bara menghilang tanpa jejak.

Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.

Tanpa pikir panjang, Hening meraih tasnya dan melangkah cepat keluar dari kafe. Udara sore yang mulai dingin menyambutnya, namun tak cukup meredakan kegelisahan yang semakin menggumpal di dadanya.

Matanya menyusuri trotoar yang padat. Mobil dan motor berlalu lalang, sementara orang-orang berjalan santai, menikmati suasana sore yang tenang. Namun, Bara tak terlihat di mana pun.

“Ke mana dia?” gumam Hening pelan, matanya terus berkeliling, mencari jejaknya di tengah hiruk-pikuk yang tak memberi petunjuk apa pun.

Tiba-tiba instingnya berbisik kalau ada sesuatu yang tidak beres. Bara bukan orang yang pergi begitu saja tanpa alasan, apalagi tanpa memberitahunya. Ada yang tidak biasa, dan perasaan aneh yang mengusiknya sejak tadi kini terasa semakin nyata. 

Dengan perasaan yang mulai cemas, Hening membuka ponselnya, berniat menghubungi Bara. Namun matanya menangkap sebuah pesan masuk dari Kavin beberapa jam lalu. 

| Aku udah sampe di tempat biasa.

Hening mengernyit, merasakan ada yang tidak beres. Pesan itu terasa janggal—ia sama sekali tidak ingat pernah mengirimkan pesan apapun kepada Kavin, apalagi membuat janji untuk bertemu hari ini. Jantungnya berdegup lebih kencang saat ia membuka riwayat percakapan mereka.

Matanya menyusuri layar, dan di sana, ia melihatnya—celah kosong di antara pesan lama yang telah dihapus.

Perasaan tak enak langsung menyeruak di dadanya. Tanpa membuang waktu, Hening menekan nomor Bara. Namun, panggilan itu langsung dialihkan ke voicemail.

Kegelisahannya semakin menjadi. Bara tidak pernah pergi tanpa pamit kecuali jika ada sesuatu yang ia rencanakan. Dan jika firasatnya benar… Kavin mungkin dalam bahaya. Hening menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri, tapi kekhawatiran itu semakin mengguncang pikirannya.

Tanpa ragu, Hening segera bergegas mencari Bara sebelum semuanya terlambat. 

***

Angin sore berembus pelan di sekitar gudang tua yang terbengkalai. Cahaya matahari yang mulai meredup menciptakan bayangan panjang di lantai berdebu. Suasana begitu sunyi, hanya ada suara langkah sepatu yang menggema di dalam ruangan kosong itu.

Beberapa menit yang lalu, dua pria—rekan Bara—telah melayangkan pukulan tanpa ampun ke tubuh Kavin. Tinju mereka berkali-kali menghantam wajah dan perutnya, memaksanya terhuyung, tapi ia tetap diam. Tidak ada rintihan, tidak ada jeritan, meski darah mulai menetes dari sudut bibirnya. Hanya tatapan kosong yang menembus mereka, seolah rasa sakit bukan lagi sesuatu yang berarti.

Kedua pria itu saling bertukar pandang, kebingungan mulai muncul di wajah mereka.

“Gila! Dia nggak ngelawan sama sekali,” gumam salah satu teman Bara sambil menggelengkan kepala.

Temannya yang lain menendang betis Kavin, mencoba memancing reaksi. Namun tetap saja, tak ada respons.

“Kita lanjut, nggak?” tanyanya ragu, mulai merasa ada yang tidak beres. Namun, sebelum salah satu dari mereka bisa menjawab, langkah Bara terdengar, bergema di lantai beton yang dingin. Dengan gerakan santai, ia mendekat, seperti seorang pemburu yang berhasil menjebak buruannya.

Senyum tipis tersungging di wajahnya saat ia mengangkat tangan, memberi isyarat pada kedua temannya.

“Sst... Lo berdua payah. Masa sama bocah gagu aja nyerah? Lo liatin aja, gue bakalan ancurin nih anak.”

Tanpa banyak bicara, mereka langsung bergerak, mencengkeram erat lengan Kavin, memastikan ia tak bisa lari  ke mana pun.

Bara berdiri di depan Kavin, matanya tajam menatap dengan sinis. “Lo pikir bisa ngerebut Hening dari gue, hah?” Nada suaranya berat, penuh ancaman yang menggantung di udara. Dengan gerakan cepat, ia meraih dagu Kavin, memaksanya menatap langsung ke matanya, seolah ingin melihat ketakutan yang mulai mengisi ruang di antara mereka.

“Lo tau? Lo itu cuma sampah yang nggak bisa ngelawan,” kata Bara, suaranya semakin penuh kebencian.

Tanpa peringatan, tinjunya melayang menghantam perut Kavin dengan keras. Pukulan itu membuat tubuh Kavin sedikit membungkuk, tapi ia tetap diam, tak ada rintihan. Bara menghela napas dramatis, lalu menepuk pipinya dengan ringan—lebih seperti ejekan daripada perhatian.

“Hening nggak bakalan dateng, lo tau, kan?” ucapnya santai, seolah ini hanya obrolan biasa. Bara mulai mengitari Kavin yang masih terjerat dalam genggaman kedua temannya, menikmati ketidakberdayaan pria itu. Ia berhenti sejenak, menatap Kavin dengan tatapan meremehkan sebelum melanjutkan,

“Lo tau kenapa?” Ia menyeringai. “Jelas, karena dia lebih milih gue.” Suaranya penuh kepuasan, seolah ingin memastikan setiap kata itu tertanam di benak Kavin. “Harusnya lo nggak usah ngarep lebih.”

Lihat selengkapnya