Kegelapan mulai menyelimuti kota, membalut jalanan dalam bayangan panjang dan cahaya lampu yang berpendar redup. Udara dingin merayap pelan, membawa aroma tanah lembab setelah seharian diterpa terik matahari. Namun, Hening tidak peduli.
Ia terus berlari, membiarkan udara dingin menusuk kulitnya, membiarkan bayang-bayang malam merayap mendekat. Keringat membasahi pelipisnya, helai rambutnya menempel di dahi, sementara napasnya memburu, seiring dadanya yang naik turun tak beraturan.
Langkahnya terburu-buru, nyaris tersandung trotoar yang retak, tapi ia tidak berhenti. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga kecemasan yang semakin mencengkeram erat. Dunia di sekitarnya terasa mengecil, tertelan kegelapan yang pekat.
Yang tersisa hanyalah dirinya—dan satu pertanyaan yang terus bergema di kepalanya:
Di mana Kavin?
Ia telah mencarinya ke mana-mana namun tak bisa menemukannya.
Setiap tempat yang dulu menyimpan jejaknya kini terasa asing, seakan menutup diri, menolak memberi petunjuk. Seolah kota ini telah menghapus keberadaannya, dan hanya meninggalkan kenangan yang menggantung di udara. Semakin ia mencari, semakin langkahnya terasa berat, seolah dunia perlahan menelannya dalam jurang keputusasaan.
Dadanya terasa semakin sesak.
Angin berembus lebih kencang, menggoyangkan ranting-ranting pohon di atas kepalanya, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di trotoar. Kakinya mulai lelah, tetapi ia tidak boleh berhenti begitu saja.
Dan entah kenapa, ada sesuatu yang menghantuinya lebih dari sekadar kehilangan—ketakutan bahwa kali ini, Kavin benar-benar pergi dan tak akan pernah kembali.
Keputusasaan mulai merayapi hatinya, menekan dadanya dengan kepanikan yang kian menyesakkan. Namun, di tengah pikirannya yang kalut, sebuah ingatan melintas.
Pondok tua.
Hening tersentak. Tanpa ragu, ia berbalik arah. Langkahnya semakin cepat, nyaris berlari, meski tubuhnya mulai lelah. Bayangan tentang Kavin yang mungkin ada di sana—sendirian, terperangkap dalam sunyi yang menyesakkan—membuat hatinya mencelos.
Ia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Ia harus segera menemukannya.
Saat ia tiba, malam telah sepenuhnya menyelimuti pondok tua itu. Cahaya bulan menerobos celah-celah dinding kayu yang lapuk, menorehkan bayangan samar di lantai berdebu. Jendela kecil di sudut ruangan terbuka sedikit, membiarkan angin malam masuk, menggoyangkan dedaunan kering yang tersangkut di bingkainya.
Sunyi.
Tak ada suara selain desiran angin yang berembus pelan, membuat tempat itu terasa semakin hampa. Pondok tua itu serasa bisu, seperti menyimpan rahasia yang enggan diungkapkan.
Tidak ada siapa pun.
Namun, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu.
Di pojok ruangan, Heppi terlihat sedang asik mengendus sesuatu.
Jantung Hening berdegup kencang saat ia mendekat. Pandangannya jatuh ke benda kecil yang tergeletak di depan kaki kucing itu.
Sebuah recorder.
Tangan Hening gemetar saat meraihnya. Jarinya menyapu permukaannya yang dingin, dan mulai tertutup debu. Dadanya terasa sesak. Entah kenapa, firasat buruk merayapi pikirannya.
Sejenak, ia hanya menggenggam benda itu erat, menatapnya tanpa berkedip. Pikirannya penuh sesak, tetapi semuanya terasa samar, berputar tanpa arah. Jemarinya gemetar di atas tombol, terjebak di antara harapan dan ketakutan.
Lalu, dengan tarikan napas yang nyaris tertahan—
Ia menekan tombol play.
Suara statis mengisi udara, menggema dalam keheningan yang mencekam. Detik-detik berlalu terasa begitu panjang, sebelum akhirnya—
—Meong…
Hening tersentak. suara Heppi, terdengar kecil, nyaris tenggelam dalam senyap, tapi cukup untuk membuat dadanya berdegup lebih kencang.