Langit pagi di luar jendela tampak pucat, seolah matahari enggan menampakkan cahayanya. Di dalam kamar yang diterangi temaram lampu meja, Hening duduk di depan layar laptop, di kelilingi buku-buku yang terbuka berserakan. Jemarinya mengetik di atas keyboard, namun gerakannya kerap terhenti karena pikiran yang melayang jauh entah ke mana.
Hening menghela napas pelan, menyandarkan kepalanya ke kursi, lalu menutup mata sejenak. Ada ruang kosong di hatinya—sesuatu yang dulu penuh, kini terasa hampa. Sesuatu yang hilang dan tak lagi sama.
Di atas meja, ponselnya tergeletak tanpa suara. Layar hitam itu tetap sunyi, tak ada notifikasi ataupun pesan masuk. Tak ada nama yang dulu begitu akrab menghiasi jendela chat-nya, seolah dunia di seberang sana telah benar-benar menjauh.
Perlahan, Hening meraih ponsel itu, lalu dengan ragu ia membuka aplikasi pesan. Riwayat percakapannya dengan Kavin masih ada di sana, utuh. Jempolnya menggulir layar perlahan, membaca kembali percakapan lama yang tak pernah ia hapus. Beberapa adalah balasan singkat dari Kavin, namun lebih banyak celoteh panjangnya sendiri. Kemudian matanya berhenti pada satu pesan lama.
| Jangan lupa makan ya, Vin. Jangan
cuma kopi terus, lama-lama bisa jadi
biji kopi beneran, lho!
Hening tersenyum kecil tatkala membaca pesannya sendiri. Seperti biasa, balasan dari Kavin singkat. Hanya satu kata.
| Iya.
Itu saja. Tidak ada tambahan kata, tidak ada emotikon. Datar, khas Kavin.
Hening menghela napas pelan. “Vin, kamu di mana sekarang? Aku kangen banget sama kamu,” gumamnya lirih.
Dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang terus menggantung di sana—berat, tak kunjung luruh, meski waktu terus berlalu.
Perlahan, Hening meletakkan ponselnya kembali ke meja. Jemarinya sedikit gemetar saat kembali menatap layar laptop. Dengan satu tarikan napas panjang, ia menekan tombol backspace beberapa kali, lalu mulai mengetik ulang.
Kali ini, tanpa berhenti, dan tanpa menoleh ke belakang.
Awalnya, Hening tenggelam dalam keterpurukan. Hari-harinya terasa hampa, seperti waktu yang terus berjalan tanpa tujuan. Ia terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, dihantui pertanyaan yang terus berputar di kepalanya—apakah ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk mencegah kepergian Kavin?