Langit sore berpendar jingga, membalut gedung-gedung tinggi dengan cahaya keemasan. Hening melangkah perlahan di trotoar yang mulai dipadati para pekerja yang pulang. Lima tahun telah berlalu, namun ada saat di mana Hening merasa seolah waktu tak benar-benar mengubah segalanya. Seperti sore ini—angin berembus lembut, membawa sisa aroma hujan yang masih melekat di udara. Dan entah kenapa, ada sesuatu yang menggantung di sekitarnya. Sebuah perasaan asing yang menggelitik hatinya—samar, namun tak bisa diabaikan.
Hening menarik napas dalam, berusaha mengusir kegelisahan yang tiba-tiba menyelinap di benaknya.
Mungkin aku cuma lelah, pikirnya.
Sebagai seorang psikolog, Hening terbiasa menyelami pikiran dan perasaan orang lain. Setiap hari, ia menjadi pendengar dari kisah-kisah penuh luka, menampung emosi yang tak selalu berasal darinya. Beban itu tak terlihat, tapi selalu ada, menyisakan jejak di sudut pikirannya.
Namun, kali ini terasa berbeda. Bukan sekadar rasa lelah biasa, melainkan semacam resah yang samar—seperti ada sesuatu yang mengganggu, tapi tak bisa benar-benar ia tangkap. Sebuah perasaan yang datang tanpa sebab, namun menetap begitu saja.
Udara senja terasa lebih sunyi dari biasanya. Langkah orang-orang di sekitarnya terdengar sayup, seolah dunia bergerak lebih lambat. Ada kesan aneh di sekelilingnya—bukan ancaman, tapi juga bukan ketenangan. Seperti bisikan yang tak terdengar, namun cukup membuat hatinya tak tenang.
Tiba-tiba bayangan seseorang melintas di benaknya—seseorang yang dulu pernah begitu dekat, namun kini terasa sangat jauh.
Hening menggenggam tali tasnya erat. Ia bergumam pelan, seolah sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Ini cuma khayalan ku, kan?
Tentu saja, tak ada alasan baginya untuk terus memikirkan seseorang yang telah lama menghilang tanpa jejak. Seseorang yang tak pernah kembali untuk memberikan penjelasan.
Hening mengembuskan napas pelan, berusaha menepis kegelisahan yang diam-diam menyelinap di dadanya. Ia menggeleng kecil, lalu mempercepat langkah, berharap bisa segera sampai di apartemen dan meninggalkan perasaan aneh ini di belakang.
***
Saat tiba di apartemen, Hening langsung disambut oleh suara lembut yang familiar. Seekor kucing gemuk berbulu oranye melompat turun dari sofa, lalu dengan manja menggesekkan kepalanya di kaki Hening, seolah mengungkapkan kerinduannya setelah seharian ditinggal pergi.
“Hai Heppi, hari ini kamu jadi anak baik, kan?” ucap Hening dengan senyum lelah, namun tetap hangat. Ia meletakkan tas di dekat pintu, lalu membungkuk, mengusap kepala kucing itu dengan lembut.
Ketika Hening duduk di sofa, Heppi langsung melompat ke pangkuannya. Kucing itu menggeliat nyaman, ekornya melilit lengannya, sementara dengkurannya bergema lembut—ritme hangat yang selalu berhasil menenangkan kegelisahan di hatinya.
Hening tersenyum kecil sambil mengusap lembut bulu oranye Heppi yang hangat. Ingatannya melayang ke lima tahun lalu—saat ia dan Kavin pertama kali menemukan kucing kecil itu di sebuah pondok tua. Tubuh mungilnya tampak lemah dan kotor, tulang-tulangnya menonjol di balik bulu yang kusam, dan sorot matanya sayu, seolah telah kehilangan harapan. Namun bersama-sama, mereka merawatnya dengan penuh perhatian, memastikan Heppi tumbuh sehat, kuat, dan tak lagi merasa sendiri.
Sejak kepergian Kavin, pondok itu terasa terlalu sunyi. Hening tak tega membiarkan Heppi tetap di sana, jadi ia membawanya puljad. Bukan hanya karena iba, tapi juga karena di dalam diri Heppi tersimpan jejak kenangan yang tak ingin ia lepaskan.
Jemarinya terus mengusap lembut bulu halus Heppi. Kucing itu mendongak sejenak, lalu kembali menggeliat di pangkuannya, seolah memahami kesedihan yang terselip dalam sentuhannya. Hening menarik napas pelan, menatap mata kuning keemasan itu dengan tatapan sendu.
“Kamu masih nungguin dia juga, kan?” gumamnya lirih, nyaris tenggelam dalam dengkuran lembut Heppi.
Hening terkekeh kecil, lalu menggeleng pelan. “Aku juga. Tapi… mungkin aja, sekarang dia udah bahagia di tempat lain.”
Kucing itu mengeong pelan, lalu kembali merebahkan diri di pangkuannya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Hening sadar—sekuat apa pun ia mencoba meyakinkan diri, ada sesuatu yang belum benar-benar usai. Sebuah jejak yang tetap tertinggal, samar… namun tak pernah hilang.
***
Malam semakin larut, namun Hening masih terjaga. Ia duduk di tepi ranjang, menatap keluar melalui jendela apartemennya yang sedikit terbuka, membiarkan angin malam menyelinap masuk ke dalam kamar. Di luar, gemerlap lampu kota masih berpendar, menciptakan bayangan samar yang menari di dinding.
Setelah lulus, Hening memutuskan pindah ke tempat ini—apartemen kecil yang lebih dekat dengan HappyNest Psychology Center, tempatnya kini berpraktik sebagai psikolog. Meski tak begitu luas, ruang ini cukup hangat untuk dirinya dan Heppi. Ia berharap, kepindahan ini bisa membantunya menjauh dari bayang-bayang masa lalu, mengisi hari-harinya dengan kesibukan baru, dan mungkin… perlahan, menghapus jejak yang diam-diam masih menetap di hatinya.
Namun malam ini, perasaan itu kembali.