Saat Hening tiba di kliniknya, ia menarik napas dalam sebelum melangkah masuk ke dalam gedung. Begitu pintu terbuka, udara sejuk dari pendingin ruangan menyambutnya, berpadu dengan aroma lembut lavender yang selalu menguar di lobi. Interior klinik yang bernuansa hangat dengan warna-warna pastel langsung memberikan rasa nyaman, menciptakan suasana tenang bagi siapa pun yang datang.
Di balik meja resepsionis, seorang staf menyapanya dengan senyum ramah. Beberapa klien tampak duduk di ruang tunggu—ada yang sibuk menatap ponsel, sementara yang lain berbincang pelan. Alunan musik instrumental mengisi latar, menambah nuansa tenang yang menyelimuti tempat itu.
Hening melirik jam di dinding. Masih ada waktu sebelum sesi pertamanya dimulai. Ia menghela napas, mencoba mengalihkan pikirannya dari bayangan yang menghantuinya sejak pagi, lalu melangkah menuju ruangannya.
Begitu memasuki ruangannya, Hening menutup pintu dengan lembut. Suasana di dalam terasa akrab—dinding berwarna krem, rak buku yang tersusun rapi, serta sofa empuk di sudut ruangan yang sering digunakan kliennya untuk berbagi cerita. Ia meletakkan tas di atas meja, lalu menaruh pet carrier Heppi di pojok ruangan.
Kucing oranye itu mengeluarkan suara kecil, dengkuran protes yang terdengar manja. Hening tersenyum tipis, mengenali nada itu—keluhan khas Heppi setiap kali merasa terlalu lama terkurung.
“Oke… oke, tapi sebentar aja, ya” gumamnya sambil berjongkok dan membuka pintu carrier.
Begitu pintu terbuka, Heppi melompat keluar dengan lincah, meregangkan tubuhnya sebelum mulai menjelajahi ruangan. Kucing itu berjalan santai, mengendus sudut-sudut yang sudah dikenalnya, seolah memastikan tidak ada yang berubah sejak terakhir kali ia ke sini. Kemudian, dengan satu lompatan ringan, ia naik ke sofa kecil di dekat jendela, duduk dengan nyaman, dan mengamati sekeliling dengan tatapan malas. Setelah merasa cukup puas, ia mulai menjilati kakinya dengan gerakan tenang, sesekali menguap kecil, seolah menegaskan bahwa tempat ini masih menjadi wilayahnya.
Hening tersenyum kecil. Sejak dulu, Heppi selalu bisa beradaptasi dengan mudah, seolah tidak pernah benar-benar merasa asing di mana pun ia berada. Tanpa beban, dan tanpa kekhawatiran.
Namun, sebelum ia sempat berlama-lama menikmati momen itu, suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu.
“Mbak Hening, udah ditunggu kliennya di ruang terapi.” ujar salah satu staf klinik dari balik pintu. suaranya terdengar sopan namun cukup jelas untuk membuyarkan lamunannya.
Hening melirik jam tangannya. Masih pagi, dan ia belum sempat benar-benar melepas lelah. Ia menarik napas pelan, lalu meregangkan bahunya yang terasa sedikit kaku. Rutinitas paginya memang berjalan cukup lancar, tapi hari masih panjang dan masih banyak hal yang menantinya.
“Oke mbak, sebentar lagi aku ke sana, ya,” sahutnya lembut sambil melangkah menuju pintu.
Sebelum pergi, ia merapikan blazernya, memastikan penampilannya tetap rapi. Pandangannya kemudian beralih pada Heppi yang masih bersantai, menjilati bulunya dengan tenang di atas sofa.
Dengan suara lembut, Hening berbisik,
“Heppi, kamu jangan nakal ya. Aku tinggal dulu sebentar, nanti siang baru aku anter kamu vaksin.”
Kucing itu hanya melirik sekilas sebelum kembali menjilati bulunya, seolah tak terlalu peduli. Hening tersenyum kecil, sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruangan.
***
Suasana ruang terapi tampak tenang, hanya terdengar suara detak jam yang berirama pelan. Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, menghadirkan sentuhan hangat pada ruangan bernuansa pastel yang dirancang untuk memberikan rasa nyaman.
Hening duduk di kursinya dengan tenang, jemari mungilnya menggenggam pena di atas buku catatan. Tatapannya lembut, penuh kesabaran untuk memberi ruang tanpa tekanan.
Di hadapannya, seorang remaja laki-laki—sekitar tujuh belas tahun—duduk dengan gelisah. Jemarinya tak henti meremas ujung lengan jaketnya, sesekali menarik-narik benang yang longgar. Tatapannya tertunduk, enggan bertemu pandang, seolah takut jika kontak mata terlalu lama akan membuatnya semakin terperangkap dalam kecemasan.
Hening tersenyum kecil, menciptakan suasana yang lebih santai sebelum memulai sesi. Ia membiarkan keheningan sejenak, memberi ruang bagi remaja di hadapannya itu, untuk menyesuaikan diri.
“Halo, Denis. Gimana kabarnya hari ini?” sapa Hening dengan suara lembut. “Sebelum kita mulai ngobrol, saya mau pastiin kamu udah cukup nyaman di sini. Nggak apa-apa, ya, kalau nanti saya tanya-tanya sedikit?”
Denis mengangguk pelan, meski jemarinya masih sibuk meremas ujung jaketnya. Hening memperhatikan gerak-geriknya, lalu dengan nada tenang dan suara yang tetap hangat, ia bertanya:
“Apa kamu masih sering terganggu, dengan suara-suara itu?” tanyanya hati-hati, mencoba membangun kenyamanan tanpa mendesak.
Remaja itu mengangguk pelan, jemarinya tampak masih meremas ujung lengan jaketnya dengan gelisah.
“Iya, Mbak… terutama suara kunyahan dan ketikan keyboard,” ucap Denis lirih seolah ragu untuk mengakui betapa suara-suara kecil itu bisa begitu mengganggunya. “Suara-suara itu… bikin kepala saya rasanya panas.”
Hening mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis—tatapannya teduh, penuh pengertian. Ia meletakkan penanya di atas catatan lalu memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan.
“Saya ngerti, Denis... kamu pasti lelah. Apalagi kalau rasanya kayak nggak bisa berhenti kepikiran terus.”
Ia mengamati remaja itu sejenak—bahunya tampak tegang, dan jemarinya masih terus meremas ujung jaket. Sorot matanya terlihat lelah, seperti sudah terlalu lama menahan semuanya sendiri.
Sesaat, pikirannya melayang ke masa lalu—pada seseorang yang pernah menatapnya dengan ekspresi serupa. Tatapan lelah yang menyimpan banyak luka. Seseorang yang juga berusaha bertahan di tengah ketakutan yang tak terlihat.
Hening menarik napas pelan dan kembali fokus pada Denis. Ini bukan saatnya mengingat masa lalu. Yang terpenting sekarang adalah remaja di depannya—yang saat ini membutuhkan bantuannya.
Hening menatap Denis dengan penuh perhatian, memberinya ruang agar ia merasa cukup nyaman untuk bicara.
“Biasanya, apa yang kamu rasain atau lakuin sewaktu dengar suara-suara itu?” tanyanya lembut.
Denis menelan ludah, lalu menggigit bibirnya sejenak sebelum menjawab.
“Biasanya, saya langsung pengin kabur... atau nutup telinga erat-erat,” ucapnya pelan, terdengar ragu. Seolah berat mengakui betapa besar pengaruh suara-suara itu padanya. “Kadang-kadang juga, kalau udah parah banget, saya bisa marah sendiri. Kesel, bukan sama orangnya, tapi sama suaranya itu..."
Hening mencatat sesuatu di bukunya, lalu mengangguk pelan—tatapannya tetap tertuju pada Denis, memberi kesan bahwa ia mendengarkan sepenuh hati.
“Reaksi seperti itu sebenarnya wajar,” ucapnya dengan tenang. “Misophonia memang bisa memicu respons emosional yang kuat, karena otak kamu menganggap suara-suara tertentu sebagai ancaman. Dan itu bukan kesalahan kamu.”
Denis mendongak sedikit. Ada keraguan yang tampak di matanya, namun akhirnya ia memilih untuk bicara.
“Tapi, kayaknya… nggak ada yang bisa ngerti,” gumamnya pelan. “Orang-orang selalu bilang kalau saya terlalu sensitif dan aneh.”
Hening tersenyum hangat. “Dulu… pernah ada seseorang yang punya kondisi sama seperti kamu.”
Denis terdiam, menunggu kelanjutan kata-kata Hening.
“Tapi akhirnya, sedikit demi sedikit, dia berhasil menemukan cara untuk menghadapi ketakutannya. Dan saya yakin, kamu juga pasti bisa, Denis.”
Hening menatap Denis dengan lembut, suaranya tetap hangat. “Dan satu hal lagi yang harus kamu ingat,” lanjutnya, “kamu bukan satu-satunya yang mengalami ini. Dan yang terpenting… kamu nggak sendirian.”
Sejenak, Denis terdiam. Remaja itu menatapnya, ekspresi wajahnya sedikit melunak. Untuk pertama kalinya sejak sesi dimulai, Hening melihat sedikit harapan di matanya.
Mereka melanjutkan sesi dengan membahas teknik pengelolaan emosi dan latihan desensitisasi terhadap suara-suara pemicunya. Setelah sesi berakhir, Denis berdiri. Gerakannya tampak lebih rileks dari sebelumnya.
“Makasih Mbak Hening, ucapnya singkat sebelum melangkah menuju pintu.
“Oke, Denis. Sampai jumpa di sesi minggu depan, ya,” jawab Hening dengan senyum hangat.
Saat pintu tertutup, Hening menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Ada kehangatan yang perlahan mengalir di hatinya—perasaan bahwa ia berada di jalur yang tepat.
Namun, pikirannya kembali melayang pada seseorang.
Bagaimana kalau Kavin juga sudah menemukan jalannya?