Henkjan

𝔧 𝔞 𝔫 𝔱 𝔢 .
Chapter #1

1

Ruangan nampak redup, sesekali cahaya bergerak lewat percik api dalam lampu minyak yang menari kena terpa angin. Sunyi, meskipun berpasang-pasang mata berkedutan menahan kantuk, karena malam semakin meninggi. Tidak ada suara lain selain deru napas, dan lolongan anjing yang sesekali terdengar.

"Apa kau yakin, tidak apa-apa seperti itu?" akhirnya kesunyian sedikit pecah saat Fahad berbisik pada sosok tua yang tengah duduk di sofa terdekat.

Fahad berdeham merasa tak nyaman, dengan tekanan dari arah gerombolan anak itu. Ini tidak sehat, pikirnya. "Bukankah...ini judi?" tanya Fahad dengan tenggorokan yang kering. Hayadi tertawa nyaring sambil mengangguk, dia mengangkat kedua bahunya. "Memang betul, ini judi. Taruhannya cukup mengerikan pula" jawab Hayadi santai.

"Memang, apa tahurannya?" tanya Fahad penasaran, dirinya sedari tadi memanglah di dapur. Dia baru datang di ronde dua sambil membawakan poci seng besar berisi teh panas, dua pot kecil susu krim, dan beberapa nampan gelas untuk menyuguhi anak-anak. "Gelar dokter, mang" suara mungil yang manis menjawab Fahad mendahului Hayadi yang baru membuka mulut.

Fahad menoleh, terkaget dengan sosok mungil berbalut kaus putih dan celana kain hitam. Salah satu anak asuh panti Zwartpaad itu tersenyum sambil menyodorkan gelas kosongnya. Dia minta tambah teh lagi, melihat itu Fahad tergopoh dan membantu anak kecil itu menuangkan teh.

"Ah, maksudnya bagaimana ya dek?" kembali, diliputi rasa penasaran Fahad berkicau. Anak itu menunjuk salah satu pemuda yang duduk di kursi, dia mengenakan beskap berwarna coklat dan kain batik dengan sepasang sepatu kulit hitam yang menyembul dari sela kainnya, rambutnya agak gondrong, namun rapi disemir kebelakang.

Wajahnya nampak tegas meskipun rautnya lembut. Wajah serupa daun sirih dan kedua alis tebal itu meninggalkan kesan cantik, tanpa melepaskan hawa maskulin dari sepasang mata hitamnya yang tajam. Jangan lupakan senyum kecil, yang cukup sinis di wajahnya. Jemari panjang pemuda itu bergerak-gerak, kuku jempolnya seolah menjadikan garis buku jari, di telapak tangannya sebagai alat hitung.

"Itu Henkjan," jawab anak lelaki itu. Kemudian dia menunjuk pemuda lain yang duduk dihadapan Henkjan, yang ini memiliki rambut coklat ikal dan wajah tegas, pakaiannya lebih terkesan mengacu pada tuan-tuan Eropa. Terilat mahal. Pandangannya tidak kalah bengis, sambil menyeringai dia mengetuk-ngetuk jemari, uniknya dia mengetuk-ngetuk diatas taplak meja yang digunakan. Taplak meja itu memang memiliki motif bunga-bunga kecil. Lagi-lagi, sama. Anak itu seolah menjadikan media di sekelilingnya sebagai alat hitung.

"Kalau yang itu Tiemersma. Mereka adalah yang paling tua, dan sebentar lagi akan mengambil jenjang sekolah lebih tinggi. Universitas" jawab anak itu riang. Dia mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya duduk di lantai, dekat dengan Hayadi dan Fahad.

Rupanya dia tipe orang yang minum cepat, terbukti dari gelas yang hampir setengahnya kosong itu. "Lalu hubungannya dengan permainan dadu itu apa?" kembali Fahad mengingatkan pertanyaannya, yang masih digantung oleh anak kecil di sampingnya itu.

"Ooh, itu mempertaruhkan gelar, kan? seperti yang mang Fahad lihat, jumlah kami banyak, sekitar dua puluh anak. Ya, kan?" anak itu menoleh pada Hayadi, menunggu bapak tua itu mengangguk. Kemudian dia kembali bertutur, "Ayah mendirikan panti ini secara mandiri, tidak banyak sponsor yang bisa digaet oleh ayah sehingga dana yang ada terbatas, maka.. dua kakak disana itu memperebutkan jatah biaya studi mereka. Disini sudah tradisi, kalau ada dua anak yang memiliki keinginan yang sama, namun modal yang mereka miliki sangat minim, mereka akan memulai tahuran." Kata anak itu.

"Maksudnya.. yang menang akan mendapat biaya, sedangkan yang kalah tidak?" kembali bertanya, Fahad mulai diliputi rasa ngeri. Semua ini terlihat tidak sehat, dan sangat diluar moral.

"Iya dan tidak" kata anak itu, dia menoleh ke arah Fahad sembari menyuguhkan wajah bosannya, "Yang kalah akan menunggu, paling lambat 2 tahun, untuk menunggu sponsor yang akan membantunya" .

Fahad menelan ludah, benar-benar... sekilas anak-anak di depannya nampak bak malaikat, namun Fahad bisa merasakan desisan pelan, seolah dirinya sedang berada didalam kandang ular. "Bukankah ada cara yang lebih sehat, dek? misal melihat dari nilai..."

"Maksud mang, nilai siapa yang paling tinggi?" anak kecil itu balik bertanya, kemudian dia melepas tawa kencang. Bukan tawa manis yang menyisakan lembutnya kanak-kanak.

Tawa itu getir dan dalam, membuat Fahad termenung seolah tenggelam didalamnya. "Sistem penentuan seperti itu riskan sebenarnya mang, bayangkan... nilaimu sebagai seorang manusia dihitung dari tolak ukur nilai yang disediakan sebuah institut atau lembaga..yah, aku ngomong gini juga, bukan berarti membenarkan tindakan kami ya..." celoteh anak itu. Dia menatap ke langit malam yang semakin kental sambil menghela nafas berat. Anak itu kembali menyeruput tehnya sampai habis, "Mencontek bisa mendongkrak nilai, menyuap juga bukan hal mustahil, dan lagi nilai bisa dikurangi jika melihat sikap, kalau hitungannya diambil dari saran mang yang tadi. Kalau permainan yang ini, murni kecerdasan dan sisanya adalah insting. Tradisi jelek begini pun diwariskan oleh angkatan paling tua..." jelas anak itu. Dia menguap beberapa kali kemudian pamit untuk tidur duluan. Fahad menggeleng-geleng, aneh.

Lihat selengkapnya