Henkjan menunduk sambil mengusapi tangannya yang masi terasa panas sebab baru saja satu pecutan rotan mengenainya. Padahal, masih pagi buta, ayam saja belum siap berkokok dan masih nyaman dalam kandangnya.
"Dasar anak bandel! habis-habisi zak1 terus kamu kalau begini terus Henkjan!" teriak bik Sum sambil berdiri tegak menghadap ranjang, tangan kiri memegang rotan sedangkan tangan kanannya memegangi gantungan pakaian. Lengkap dengan kemeja putih yang terpasang apik di gantungan itu, yang disodorkan kedepan wajah Henkjan seolah-olah memperoloknya.
"Ish, ish, ish, sudah dibilang kan kalau mau catat-catat itu di kertas, Henkjan. DI KERTAS!" sekali lagi, bik Sum berteriak nyaring. Henkjan hanya mampu menutupi kedua telinganya sembari mengaduh, dia melirik pada bagian lengan bajunya yang dikotori oleh tinta. Beginilah yang namanya Henkjan, lahir dengan lidah yang kelu namun pikiran yang berisik.
Henkjan memiliki banyak sekali hal yang ingin dia bicarakan, namun dia sering ragu. Masalahnya, mulutnya itu sukar diatur. Dia jarang berkata kasar, namun banyak orang yang bilang kalau lidahnya tajam bukan main. Selain itu, dia sangat kesulitan berkonsentrasi, banyak hal di luar sana yang menurutnya amat menarik dan perlu di pertanyakan. Mulut kacaunya itulah yang membuat Henkjan mencintai dunia tulis-menulis.
Dia menulis apapun yang sulit atau sekiranya butuh waktu lama untuk diolah menjadi kata, dan yang jadi perkara pokok itu ketika dia terlalu malas mengambil buku sehingga hanya dengan berbekal pena di saku beskapnya, dia akan lebih memilih menggulung lengan bajunya dan menulis semua buah pemikiran yang dia miliki di bagian belakang lengan baju. Anak bandel. Begitulah kebanyakan orang menganggapnya.
Bik Sum kembali melayangkan rotan dengan kesal karena Henkjan masih bungkam. Hidung mancungnya berjengit saat rotan itu hampir mengenainya.
"Jam berapa kamu berangkat kesana?" tanya bik Sum sambil menyipitkan kedua mata menahan kesal.
"Pagi" jawab Henkjan dingin yang disusul ringisan karena kali ini rotan mengenai tubuhnya. "Sekarang juga pagi, Henkjan!" pekik bik Sum. Amukan wanita tua itu sudah meledak sekarang.
"Pokoknya pagi. Tresni yang tahu jadwalnya, saya kan tinggal pergi," celetuk Henkjan dengan nada sinis. Bik Sum kali ini menyerah dengan rotan, dilemparnya kemeja itu ke wajah Henkjan dengan kasar.
"Lalu kamu pikir baju-baju kotormu ini pantas kalau nanti kau kenakan untuk mengadu nasibmu di Batavia?" tanya bik Sum penuh selidik, "Kamu ini kan calon dokter, nanti mau bertemu dengan orang-orang penting dari tuan Eugene pula. Masa sih mau pakai baju begini?".
"Ya kan saya pakai beskap, bik. Tidak perlu dramatik begitu" balas Henkjan, sekarang tangannya sibuk melipat kemeja yang tadi dilemparkan kepadanya. Dia menyisir rambut ikalnya dengan asal, betul-betul memang bik Sum ini. Anak mau merantau, pagi-pagi bukannya diberi sarapan malah dipukuli dengan rotan!
"Pinjam dulu baju Tiemersma sana, pinta tiga pasang saja dulu nanti setelah di Batavia kamu belikan dia yang baru dan kirim balik!" perintah bik Sum. Mendengar itu, Henkjan langsung melotot.
'Idih gengsi sekali pinjem sama si Tiemersma!' protes Henkjan dalam hati, dia langsung menggeleng sambil merengut yang disambut oleh tepukan rotan. Kali ini pelan, tidak sekeras yang sebelumnya. "Yah tahu sih, kamu ndak akan mau toh kalau pinjem Tiemersma? Wong kemaren kamu bikin dia nangis semalaman di kamarnya..." ejek bik Sum sambil menyilangkan kedua tangannya, tidak lupa tampang mengesalkan muncul di wajah keriput perempuan tua itu.
"Ih malas berhubungan dengan Tiemersma si anak setan itu!" umpat Henkjan dengan sedikit keras, namun rupanya bukan pecutan rotan yang ia terima. Tawa kencang memenuhu ruangan dengan kencang, bik Sum mengusap air matanya sementara perutnya yang bergelambir itu terus bergerak akibat guncangan kesenangan.
"Ah mosok seh, waktu kecil kalian nempel terus. Dulu juga kalian suka bibik mandikan bareng di kuali kecil," kata bik Sum. Suaranya terdengar merendahkan meskipun air wajahnya nampak mengesalkan, "Dulu kalian lari-larian berdua telanjang koyok tuyul kalau sore-sore karena kalian ndak mau mandi habis main, hahahahahaha!" kali ini bik Sum betul-betul berbicara dengan keras. Henkjan hendak membalas ucapan bik Sum, namun suara pintu yang dibanting menerobos obrolan mereka.
Satu buntalan baju lagi-lagi terlempar ke arah wajah Henkjan. Dari bibir pintu, nampak wajah Tiemeresma yang gusar. Berantakan sekali wajahnya, pipi tirusnya sedikit bengkak seperti kedua mata birunya yang sembab.
"Nih ambil!" teriak Tiemersma dengan suara yang parau, dia langsung berbalik dan pergi tanpa menutup pintu. Bik Sum bersandar pada dinding sambil menyeringai, kedua alis tipisnya bergerak naik-turun sementara kedua mata melirik ke arah pintu yang terbuka lebar. Henkjan menatap pakaianpakaian yang berserakan di pangkuannya.
Tiga helai kemeja, satu beskap biru tua dan satu kaus oblong. Banyak sekali. Henkjan tahu dia harus apa, dirinya sekadar menghela nafas panjang sebelum akhirnya menyerahkan pakaian itu pada bik Sum dan meminta beliau untuk melicinkannya dan berkemas untuk kebutuhan Henkjan dengan sopan. Sepasang kaki telanjangnya menyapa dinginnya ubin kelabu, melangkah keluar tanpa sandal untuk menyusul Tiemersma yang telah menghilang di paviliun.
"Pagi, Sinyo.."