Henkjan

𝔧 𝔞 𝔫 𝔱 𝔢 .
Chapter #3

3

Cantik. Bukan main anggunnya kota ini, setidaknya pemikiran itulah yang ada di kepala Henkjan saat ini. Bagaimana tidak? lautan manusia dengan berbagai kisah itu berombak dihadapannya.

Kota yang megah, menutur kisah beserta bangunan-bangunan besar. Taman dan villa megah, hangatnya udara berpadu dengan taman-taman indah itu di mata Henkjan terlihat serasi, bagai pasangan tuan Eropa dan Nyonya Timur yang saling mencintai.

'Mutiara dari Timur' begitulah orang-orang menyebut Batavia. Pemandangan disini sungguh memanjakan mata, begitu keluar dari stasiun Weltevreden Henkjan dan Ayuningtyas disambut dos à dos baru. Dari kejauhan, Henkjan menerawang kearah Koningsplein dimana banyak tentara-tentara yang sedang melaksanakan apel.

Dirinya cukup fasih dalam berbahasa Belanda, namun terlalu sibuk untuk menulis apa-apa yang dilihat pada lengan kemeja. "Nanti kita berpapasan dengan mereka, nyo. Tenang saja," kata Ayuningtyas gemas sambil melirik ke arah tulisan Henkjan.

Mendengar itu, Henkjan berhenti sejenak. Pena yang sedikit bocor tintanya itu dia singkirkan sebentar sebelum menatap Ayuningtyas dengan penuh tanya, "Maksud anda?".

"Tangsi militer mereka sedikit dekat dengan rumah meneer Dickerhoff," jelas Ayuningtyas sembari mengusap-usap kaki Kristofer yang bergerak-gerak kurang nyaman.

"Oh", balas Henkjan seadanya. Ah iya, Grendell Dickerhoff adalah pria tua baik hati. Kawan lama Eugene, konon Grendell ini merupakan salah satu pegawai di kantor administrasi dengan posisi yang lumayan. Beliau membeli tanah di Bandung, membangun perkebunan kecil serta peternakan di sana meskipun beliau nyatanya menetap di Batavia.

Perkebunan dan peternakan itu, dia titipkan pada Ayuningtyas. Hal itu yang menyebabkan Ayuningtyas jadi buah bibir sebab orang-orang mencurigainya sebagai gundik. Tuan Dickerhoff rupa-rupanya berbaik hati meminta Henkjan untuk bermalam di rumahnya selama beberapa hari untuk melengkapi perlengkapan yang belum lengkap sebelum pindah ke asrama STOVIA.

"Tampangmu, kok seperti yang belum pernah berpelesir begitu sih nyo?", suara Ayuningtyas memecah keheningan. Si Kristofer kecil sepertinya sudah mulai tenang, terlihat dia memilih mencuri beberapa kue kering dari wadah bekal Henkjan.

Bagaimana ya? Henkjan tersenyum tipis sambil mengangkat bahunya. Memang jarang keluar, kecuali jika diperintahkan oleh Eugene sendiri. Anak-anak panti Zwartpaad memang seperti hewan buas yang dikurung dalam sangkar guna dijinakan.

"Memang jarang," balas Henkjan sambil membiarkan kedua matanya berbinar saat menangkap tangsi-tangsi Belanda yang berdiri kokoh, nampak beberapa prajurit dengan pakaian dinas mereka nampak kegerahan. Bagaimana tidak? jas wol biru gelap mereka pasti sangat menyesakkan.

Kemudian, dos à dos memasuki jalan luas yang diapit pepohonan, dari sudutnya mulai nampak bangunan-bangunan villa bercat putih yang kontras dengan hiruk-pikuk kusut di sisi lainnya.

"Ini jalan senen, sebentar lagi kita sampai" jelas Ayuningtyas, dia nampak antusias saat dos à dos memasuki kawasan pasar. Kawasan perumahan Tionghoa mulai kelihatan, Henkjan berdecak kagum melihat lentera-lentera merah serta tulisan-tulisan unik yang terukir dengan tinta emas. Beberapa kali ekor matanya menangkap sosok tentara pribumi dengan seragam, juga beberapa orang Betawi yang sibuk berseliweran. Pemandangan itu perlahan sirna begitu mereka berbelok memasuki jalan setapak yang tak jauh dari jembatan kecil, semak-semak bunga nampak subur.

Seorang anak pribumi berlari mendekat dan membukakan gerbang dengan suara nyaring, nampak villa besar yang pucat cukup mengintimidasi. Kediaman meneer Dickerhoff kelihatan dingin. Hampir lebih besar dari panti Zwartpaad milik Eugene, namun tak memilili paviliun. Hanya satu bangunan utama dengan teras besar yang dihiasi kursi taman, Henkjan melihat seseorang melambaikan tangan padanya dari teras.

Jas tutup putih dengan celana bahan sangat kontras dengan kursi taman berwarna krem itu, tubuh kurus serta janggut tebal yang menyembunyikan seringai itu sangat dikenalnya. Begitu dos à dos berhenti, Henkjan turun sendiri sambil menurunkan topi yang ia gunakan. Sosok itu berdiri dan mendekat ke arahnya, "Selamat sore, nak" suara serak itu menyapa dirinya. "Selamat sore juga tuan Eugene", balas Henkjan.

Tangan keriput yang termakan usia itu menepuk-nepuk bahunya santai sambil mendesah pelan seolah-olah tengah kecewa berat, "Duh aduh putraku satu ini dibilang panggil papa saja susah sekali..." keluh Eugene sambil menggeleng pelan. "Mungkin kamu terlalu keras mendidiknya, jadi mana sudi dia memanggilmu begitu," suara laki-laki asing menyahut dengan logat yang khas. Itu pasti meneer Dickerhoff, rambut ikal kemerahannya disemat uban yang mulai tumbuh liar.

Lihat selengkapnya