Suara dentingan jam jadi yang pertama menyapa Henkjan pagi ini. Padahal ia baru saja mengerjapkan kedua matanya yang masih terasa berat, tidurnya terasa enak sekali semalam. Sambil menguap pelan, perlahan dia mulai bangun dan meregangkan badannya.
Hari ini boleh senang hatinya, sebab ia akan segera memindahkan barang-barangnya ke STOVIA. Dalam pikirannya, Henkjan sibuk menerka-nerka seperti apakah orang-orang baru yang akan ditemukannya kelak. Dengan girang Henkjan bersenandung, sekelebat dalam pikiran nyalinya melambung jauh saat membayangkan kalau dirinya akan bertemu dengan orang yang sama edannya dengan dirinya sendiri. Menantang. Apalagi kalau orang itu lebih baik dan lebih tangkas darinya.
Dengan begitu dirinya berjalan dengan tenang ke luar kamarnya, villa Dickerhoff benar-benar sepi, berbeda dengan di panti berhubung bedinde yang dipekerjakan rata-rata masih berada di rumah mereka dan akan datang pukul enam. Henkjan bergegas mandi dan kembali lagi ke kamarnya untuk berganti pakaian.
Para penghuni yang lain nampaknya belum bangun, Henkjan tidak terlalu memperdulikannya sehingga hanya bersikap tak acuh dengan kesunyian yang ganjil. Yang bisa ia dengar hanya suara detak jarum jam. Belum rampung berganti pakaian, ketukan pelan silih berganti dengan sahutan pelan pada daun pintu kamarnya. Henkjan terperanjat dan lekas mengancingkan kemejanya, "Sebentar" ucap Henkjan sembari menyisir asal rambutnya.
Alangkah terkejutnya ia saat melihat sosok madam Jane yang berdiri hanya mengenakan gaun tidur putih, lengkap dengan sandal kain dan sarung tangan. Melihat itu, yang Henkjan lakukan hanya memalingkan wajah dengan sungkan.
"Santai saja" kata madam Jane sambil menatap padanya. "Kamu lebih suka teh, atau kopi?" madam Jane bertanya dengan suara yang lembut.
"Teh" jawab Henkjan, kini dia sudah kembali menatap madam Jane berhubung yang bersangkutan nampak tidak keberatan. "Aku ingin mengajakmu bicara, tertarik ke lantai dua?" ajak madam Jane. Henkjan yang teringat dengan lemari kaca penuh buku itu langsung mengangguk dengan penuh minat. Siapa pula yang tidak akan tergiur dengan jalan setapak menuju penjuru dunia? Sambil terkekeh pelan, madam Jane membimbing Henkjan menuju lantai atas setelah pintu kamar yang berat itu tertutup, sekilas pantulan tubuh mereka berdua terpantul pada lemarilemari kaca tinggi tempat penyimpanan pajangan gelas yang mentereng.
Tangga pucat yang dipoles hingga mengkilap itu berdebum pelan saat mereka berdua beranjak naik, Henkjan terperangah melihat pemandangan yang tersuguhkan di depannya. Ada beberapa lorong memanjang dengan lampu pijar yang indah, beberapa lukisan bergaya Eropa terpajang indah, dan lagi, ruang luas di balkon bagian dalam, rak-rak kayu berpintu kaca penuh dengan buku, lengkap sebuah sofa panjang dan meja rendah dengan warna hijau gelap yang serasi beralas tikar bulu harimau. Lemari pajangan itu ada tiga buah, sedangkan di bagian ujung ada sebuah kabinet kecil yang di atasnya terpajang satu set cangkir teh.
Madam Jane mempersilakan Henkjan untuk duduk di sofa, sementara dia beranjak ke arah kabinet itu, mengeluarkan kopi giling, gula serta teh dan sebuah termos berukuran sedang. "Untung Darmini sudah ganti air panasnya tadi" celetuk madam Jane sembari menuangkan air pada kopi, kemudian setelah dirinya selesai, ia melangkah ke arah Henkjan.
"Terimakasih, madam" ucap Henkjan sambil menerima teh yang dibuatkan oleh madam Jane sementara madam Jane meminum kopinya dengan santai.
"Jadi, apa yang ingin madam bicarakan?" tanya Henkjan penasaran. Madam Jane sekilas nampak malu-malu, sejenak dia terdiam dengan cangkir yang menempel di bibirnya, membiarkan Henkjan menungguinya dengan sabar hingga akhirnya disimpanlah cangkir itu di meja. Henkjan memperhatikan tiap gerakan tangan madam Jane yang lamban, sepasang matanya menangkap pergerakan tangan madam Jane yang membuka sarung tangan.
Terlihat, bercak kemerahan. Sebagian sela jari nampak lebih parah, menebal dan bersisik. "Maaf kalau kelihatan menjijikan, tapi aku tidak tahu harus bicara pada siapa" kata madam Jane.
Dia terdengar cukup sungkan. Henkjan mengamatinya, tangan hendak terulur untuk menyentuh, namun gestur penolakan didapat. Henkjan menatap madam Jane, memperhatikan gelagatnya.
"Maaf?" Henkjan berucap sambil menengadahkan tangan meminta izin, namun madam Jane menggeleng. Melihat itu, Henkjan tersenyum kecil. Bersabar karena yang dihadapinya adalah perempuan yang tengah merasa rendah diri dan sudah pasti merupakan salah satu sponsornya, "Tangan saya sudah bersih sebab saya sudah mandi, saya belum menyentuh apapun selain baju yang saya bawa dan cangkir ini," tutur Henkjan.
Mendengar itu, akhirnya ragu-ragu madam Jane memberikan uluran tangan pada Henkjan. "Apa anda sering merasa risih jika anda menyentuh sesuatu? Jauh sebelum penyakit anda ini muncul?" tanya Henkjan sambil menatap madam Jane.
"Iya," ucap madam Jane, mendengar itu Henkjan kembali mengangguk dan berucap, "Biar saya tebak, anda terkena penyakit ini semenjak anda datang ke Hindia Belanda, ya?" kata Henkjan. Sepasang mata berwarna terang itu berkilau mendengar ucapan Henkjan, disambut anggukan antusias.