“Bagaimana ujiannya?” Meneer Dickerhoff menyambut Henkjan dengan pertanyaan begitu mobilnya sampai di pekarangan STOVIA, seperti biasa Henkjan cuma mengangkat bahu sambil tersenyum. Dibelakangnya, Pringga mengekor dengan senyum ramah.
Meneer Dickerhoff mengangkat alis, dia melirik Pringga heran, dari situ Pringga sekali lagi memamerkan kebolehannya dalam bergaul. Dalam percakapan beberapa minit dia berhasil mengambil hati laki-laki paruh baya yang lahir di Friesland itu.
Menurut Henkjan itu bukanlah hal sulit, berhubung Pringga ternyata seorang anak Priayi, dan lagi dia juga menyukai Opera seperti Meneer Dickerhoff. Pringga bahkan sempat-sempatnya berkata kalau dia jauh-jauh datang kemari dan menginap di hotel De Harmonie sendirian.
“Ternyata kamu bisa memiliki teman, ya?” tanya Meneer Dickerhoff begitu mesin mobil bergemuruh, Henkjan menoleh ke belakang dan membalas lambaian tangan Pringga di kejauhan. “Anak Priayi pula” tambah Meneer Dickerhoff, Henkjan mendengus pelan sebagai respon, anak Priayi sih memang, tapi sopan santun Pringga itu kurang. “Tentu saja, saya akan selalu membutuhkan orang lain..” kata Henkjan, dia mengedarkan pandangannya, “toh, seseorang kalau betul-betul hidup sendirian, sampai kapanpun dia tidak akan merasakan kalau dia bisa punya kendali atas sesuatu,” ia menarik kemejanya hingga sebatas siku dan mengambil pena kemudian mulai menulis. Kali ini soal keadaan di STOVIA dan pertemuannya dengan Pringga.
“Kamu selalu begitu?” tanya Meneer Dickerhoff, dia melirik ke arah lengan kemeja Henkjan yang penuh dengan tulisan, beberapa tinta memudar dan merembes, sedikit menodai tangan Henkjan.
Henkjan bergumam seolah dia mengiyakan, “Kenapa?”
“Saya memang kurang pandai dalam bicara, tapi saya punya pikiran yang betul-betul ribut. Saya suka menulis, kebanyakan apa yang saya bicarakan akan mengandung penolakan dari berbagai pihak, maksud saya lawan bicara..” Henkjan berhenti sekejap, dia menoleh ke arah Meneer Dickerhoff yang sibuk memegangi kendali, “dan lagi, kalau saya tidak cepat-cepat menulisnya, apa yang saya pikirkan akan cepat pudar dan ujung-ujungnya kepala saya kosong”
“Kenapa sih tidak menulis di kertas atau di buku saja?” “Kertas dan buku memakan banyak tempat kalau saya bawa-bawa. Belum lagi saya malas mengambilnya kalau saya bawa-bawa tas” Sepanjang jalan, mereka saling terdiam. Hanyut dalam apa yang mereka pikirkan, pandangan meneer Dickerhoff seolah melangkah ke tempat lain, sementara Henkjan kembali menulis, mendeskripsikan jalanan Batavia di lengan bajunya.
“Sore nanti akan ada pertemuan kecil-kecilan” kata Meneer Dickerhoff tiba-tiba. Henkjan mengerutkan kening, dia kurang suka dengan sesuatu yang direncanakan mendadak.
“Siapa saja?” “Kita. Aku, Eugene, Jane, kamu, Nyai Ayuningtyas dan.. ada tambahan satu orang lagi, yang katanya tertarik mendengarkan ceritamu. Mattjas, guru privat Kristofer” jawab Meneer Dickerhoff.
“Kenapa guru privat Kristofer tahu soal ini?” tanya Henkjan. Dia betul-betul merasa penasaran mendengarnya. Menurutnya agak sedikit aneh kalau Meneer Dickerhoff sampai mengumbarumbar cerita tentangnya pada orang yang jelas-jelas kurang mungkin menjadi sponsornya kelak.
“Dia cukup terkesan waktu mendengar ceritamu, dari Ayuningtyas” Meneer Dickerhoff menjawab, dia memutar kemudi saat memasuki pekarangan villa keluarganya.