Biscoft Tee En Kookjes. Nama itu yang terpampang di papan kayu ber cat putih mengkilap yang berdiri di samping sebuah pot besar yang dipenuhi bunga telang. Restoran kecil yang hangat itu menyambut Henkjan yang turun dari dos a dos, kedua bibir tipisnya tertarik ke bawah sebab dia murung, sepanjang jalannya ditutupi terpal bambu karena hujan cukup lebat.
Bayang-bayang payung hitam yang dipegang oleh Eugene terpantul di bagian yang tergenang air, juga kalut di wajah Henkjan.
“Apa saya betul boleh masuk ke sini?” Henkjan merasa gundah. Pasalnya, tidak semua tempat milik orang Eropa boleh dijejal oleh pribumi.
Eugene menyeringai, tidak hanya dari mulut, namun kedua matanya ikut bersuar. Bagaimana tidak? Sosok angkuh macam Henkjan terlihat begitu lengah dan kecil di hadapannya sekarang. Kemana perginya perangai buruk yang selalu dia kenakan lengkap dibalik kemeja dan beskapnya. Apa ikut luntur bersama gemuruh? tidak ada yang tahu pasti.
"Kamu aku jamin. Ayo, jangan biarkan sponsor-sponsormu menunggu,katamu kau mau mendapatkan sponsor untuk membiayaimu di STOVIA, kan. Kau sendiri bilang kalau kau akan membantu adik-adikmu yang lain, kan?” kata Eugene, dia melangkah lebih dulu sehingga mau tidak mau Henkjan akhirnya mengekor di belakangnya, setengah bahu agak basah karena payung yang bergerak menjauh.
“Kaku!” langkah mereka terhenti sejenak begitu mendengar teriakan asing di kejauhan, dari matanya, Henkjan melihat dua orang pribumi yang berjalan di tengah hujan, baju mereka betulbetul basah kuyup.
“Kaku macam orang mati dalam peti! Tikus kena racun di dapur!” teriak salah seorang yang kelihatan dipapah, jalannya terhuyung dengan rambut lurus tersisir ke belakang. Laki-laki kurus kering itu menunjuk ke arah Henkjan yang terperangah. Kawannya yang lebih pendek meringis menahan malu, dia mengangguk ke arah Eugene dan Henkjan seolah merasa bersalah.
“Aduh, maaf tuan-tuan, teman saya ini rupanya kebanyakan minum jenever1 sampai begini..” katanya dengan pelan.
“Eh tapi benar, tikus-tikus di dapur kita mati diracun, tuan-tuan tahu kenapa? Kamu sendiri, Timo, tahu kenapa? Sebab mereka mencuri dari tuan rumah!” teriaknya lantang, tangannya yang mematung ke arah Henkjan mulai bergerak dan menunjuk ke segala arah.
“Dapur-dapur kami, semua dijarah dari mulai karung beras hingga daging ternak, tikus-tikus bangsat! Belagak sekali, padahal sembunyi-sembunyi, paling kalau dikejar mereka akan sembunyi ke gorong-gorong!” pekiknya.
Henkjan menggernyit, dia melangkah mundur memilih berdiam diri di belakang Eugene begitu lelaki mabuk itu meludah.
“Semoga banjir datang biar gorong-gorong naik dan memperlihatkan tampang gendut mereka! Tuan-tuan pernah membanjur tikus dengan air panas? Nangis mereka! Ciiit ciiiit PUIH hahahaha!!!”
“Wah, sepertinya jenever di sini enak, ya?” tanya Eugene sambil tertawa pelan, sementara teman si pria mabuk makin meringis. Dia akhirnya menarik paksa kawannya yang Cuma bernyawa setengah badan itu sambil berbisik, “Ish, sudah kubilang jangan minum banyak-banyak, kawan”.
Tepat sebelum mereka berdua melangkah pergi, kawannya yang masih agak waras berpaling dan dengan nada sedikit memohon, akhirnya dia berpamitan, “Mohon maaf tuan, permisi”
“Heran, banyak orang sinting di ibukota” Henkjan menggerutu, sepertinya cepat-cepat membuka pintu dan masuk adalah ide yang bagus, daripada bertemu lagi dengan orang setengah kesetanan seperti tadi. Mereka akhirnya kembali melangkah masuk.
Ketika pintu dibuka, aroma kayu manis, madu dan susu menyeruak. Terasa seperti menari diantara iringan biola tunggal yang ada di dalam sana. Henkjan menyipitkan matanya karena temaram digeret paksa oleh cahaya kuning yang lembut dari dalam restoran. Tempat ini ramah, aroma yang hangat dan musik yang lembut.
Dinding krem dengan kertas bunga berwarna pastel, tidak lupa beberapa ornamen, hiasan-hiasan manis dari tembikar yang berwarna-warni dan dipoles berkilau. Sebuah potret besar dengan figura dan lampu kristal kecil yang bertengger beriringan. Restoran tidak begitu banyak pengunjung, tatapan mereka berlawanan dengan suasana hangat. Dingin. Henkjan memutuskan untuk tidak mengacuhkan tatapan macam apa yang dia lihat terarah padanya.
“Oh, halo!” madam Jane melambaikan tangan, perempuan Prancis itu terlihat berkilauan dengan gaun satin yang berhiaskan kalung mutiara, di dadanya terpasang bros merpati sewarna kuning gading, serasi dengan warna sarung tangannya hari ini. Henkjan tidak tahan untuk meraih pena dalam saku dan menuliskannya di lengan. Eugene yang mengetahui hal itu menyenggol Henkjan dengan agak keras sambil berlagak menutup payung.
‘Musang sialan’ maki Henkjan dalam hati sambil memasang senyum keki dan mengangguk untuk membalas sapaan madam Jane. Tidak jauh dari situ, Henkjan kembali menggigit lidahnya sendiri.
Nyai Ayuningtyas tidak kalah indah. Jujur, Henkjan bukan tipe lelaki mata keranjang, tapi silakan tampar wajahnya dengan keras sekarang karena dia tidak bisa berkedip sama sekali. Mungkin, karena saat berangkat bersama dengannya, Henkjan terlalu fokus dengan pemandangan sekitar sehingga luput dari pesona yang menempel pada wanita berdarah jawa ini.
Kulitnya sawo matang, lebih gelap dari Pringga, namun berkilau. Kedua mata hitam pekat yang begitu dalam sehingga Henkjan sendiri tidak sanggup menyelami kisah apa yang perempuan itu tutup rapat. Rambutnya disanggul dengan pin perak, dia mengenakan kebaya sederhana. Tapi jangan salah, Henkjan tidak buta. Memang apa yang menempeli tubuh molek Nyai Ayuningtyas tidak bertahta mutiara maupun berlian seperti madam Jane, hanya saja apa yang menjadi bahan kebaya itu adalah sutra Tiongkok, jelas berharga tinggi dengan bordiran kembang sepatu merah dan di bahu sempitnya tersampir selendang.
Satu-satunya perhiasan yang dikenakan oleh Nyai Ayuningtyas adalah sebuah cincin dengan batu safir yang terpasang di ibujarinya, cincin itu nampak sedikit kebesaran sehingga bagian belakangnya diikat dengan segumpal kain perca kecil.
“Aduh, sulit sekali mendidik bujangan yang matanya jelalatan,” Eugene membuka suara, omongannya seperti memukul keras-keras kepala Henkjan, sementara yang disindir mendengus kasar sambil melangkah.
Mau bagaimana lagi, Henkjan berani mengatakan, siapapun yang bilang kalau kedua perempuan yang akan berhadapan dengannya itu tidak cantik maka orang itu sudah pasti buta atau seleranya buruk. Mereka berdua akhirnya berjalan mendekat ke arah meja yang cukup panjang itu.
Nyai Ayuningtyas dan madam Jane terlihat cukup akrab disitu, tidak ada kecanggungan seperti yang pernah Henkjan lihat sebelumnya.
“Aduh, madam. Kulit anda cantik sekali, awet muda!” puji Nyai Ayuningtyas, dia menutup tawa kecilnya dengan jemari lentik. Disusul kekehan pelan dari madam Jane yang menjelaskan kalau dia gemar memakai berbagai minyak yang disuling dari tanaman dan mandi susu.
Percakapan mereka terdengar cukup nyaring hingga beberapa langkah mendekat saja Henkjan bisa mendengarnya. “Oh, ini yang namanya Henkjan?” sebuah suara yang kurang ramah terdengar, saat itulah Henkjan melihat seorang laki-laki yang sama sekali dia tidak kenali.
Rambut merah dan postur tubuh yang kelewat tinggi, potongan wajahnya tegas dengan kedua mata berwarna cerah yang berada dibalik kacamata. Sekilas, Henkjan teringat tentang ucapan Meneer Dickerhoff tentang guru privat Kristofer. Inikah orangnya? Henkjan diam sembari mengamati.