"Halo.” Terdengar suara berat khas lelaki.
“Ya.” Tiara menjawab malas.
“Tiara?”
“Iya, benar.” Tiara sedikit kesal. Dia melirik jam di meja. Masih terlalu pagi untuk menerima telepon. Setidaknya untuk Tiara yang semalam begadang—dan kenyataannya hampir setiap malam dia begadang—kali ini untuk menyelesaikan artikel. Bulan-bulan ini order kotak tisu naik, sementara artikelnya juga harus dikirim tepat waktu kalau nggak mau didepak oleh Mbak Riana, pimpinan redaksi sebuah wedding web.
“Kamu lagi ngapain, Tiara? Aku mengganggu, ya?”
“Tidur.” Tiara menjawab singkat dan sedikit kesal. Siapa pun itu, nggak sopan banget telepon nggak memperkenalkan diri, sok akrab, dan saat Tiara butuh tidur.
“Tidur kok bisa bicara, sih.” Tawa kecil terdengar dari seberang.
Tiara tak menjawab. Namun, sepertinya mulai sedikit mengenali suara penelepon. Ingatan tipis tentang masa lalu.
“Kamu benar-benar nggak mengenali suaraku lagi?”
Tiara membuka mata lebih lebar. “Siapa, sih? Kayak ….” Tiara ragu.
“Sudah tak ada nama Antariksa di memorimu, ya.” Suara di seberang terdengar protes.
“Anta! Bener Anta? Aaahh … sorry, suaramu beda, sih. Kamu sudah pulang ke Indonesia?” Tiara menegakkan badannya. Tak menyangka Anta, sahabatnya sewaktu SMA menelepon.
Sejak lulus SMA, mereka tak pernah ketemu, hanya sempat saling berkomunikasi beberapa kali pada awal-awal Tiara kuliah. Setelah itu, dia kehilangan kontak.
“Kok kamu tahu nomorku?” Tiara sudah beberapa kali ganti nomor ponsel.