"Ibuuuu...." suara nyaring pun terdengar dari mulut kecil dengan mata yang masih terpejam.
"Ade.. bangun de, bangun!" Arina membangunkan sang adik yang terdengar bermimpi buruk. Ia mengeluh sayang punggung sang adik.
"Minum ini". Arina memberikan segelas air yang berada di samping kasurnya.
"Kamu mimpi buruk?" tanya gadis dengan panggilan kakak itu. Sang adik hanya menganggukan kepala dengan ragu.
"Mimpiin ibu?" tanya Arina lagi.
"Hmm.."
"Sudah, Ibu sudah tenang disana. Kamu ada kakak, kita lewati ini sama-sama ya.." Arina mencoba menenangkan sang adik.
Arina Putri, anak sulung dari pasangan Aribramasta dan Larasati. Keduanya kini sudah meninggal , Aribramasta meninggal karena kecelakaan saat bekerja 5tahun yang lalu. Sedangkan Larasati meninggal beberapa bulan lalu juga karena kecelakaan. Arina kini tinggal bersama dengan sang adik, Dimas Putra. Keduanya tinggal bersama Bibi mereka, kakak dari sang Ibu. Arina malu juga kesal harus tinggal dengan keluarga Bibinya. Namun ia tidak bisa berbuat apapun saat ini. Ia hanya bisa bertahan sampai umurnya mencapai 17tahun.
Pagi hari pun tiba, Arina bersiap untuk pergi sekolah. "Ini uangnya de". Arina memberikan uang jajan untuk sang adik. Sejak ibunya meninggal, Arina lah yang mengurus keuangannya dan sang adik. Dengan uang yang ditinggalkan sang Ibu, Arina bertahan hidup dan membayar uang sekolahnya sendir.
"Arin..." panggil suara wanita dari depan pintu kamarnya.
"Iya, kenapa kak?" tanya Arina saat melihat kakak sepupunya yang sedang memanggil di depan pintu kamar.
"Minta uang dong, kakak pinjam". ujarnya saat Arina datang menghampirinya di depan pintu kamar.
"Aku gak punya uang ka, kan uang dari Ibu untuk biaya sekolahmu dengan adik." Ujar Arina dengan nada lembut menolak meminjamkan uang pada sang kakak sepupu.
"Nanti aku kembalikan. kamu pelit sekali sih!"
"Bukannya pelit kk, tapi kan aku harus bayaran sekolah."
"Akhir bulan aku kembalikan kok! Kamu kan bayarannya masih di akhir bulan." ujar sang kakak sepupu.
"Ya udah ini aku pinjaman kak, nanti sepulang sekolah aku transfer ke rekening kakak". dengan baik hati dan percaya penuh bahwa sang kakak sepupu akan mengembalikannya, ia pun meminjamkan uang yang dibekalkan sang Ibu.
"Gak usah, aku saja yang ambil. Mana ATMnya?"
"Gak usah kak, aku saja yang transfer nanti. Kakak butuh berapa?"
"20Juta". Dengan santai sang kakak sepupu Arin meminta uang yang sangat banyak.
"Aku gak ada kak ung segitu, peninggalan Ibu sudah cukup untuk biaya sekolah aku dan Adik sampai kami lulus."
"Gue tau lo punya 30 juta dan masih ada motor juga orang yang ngutang. Minta sama mereka semua uang lo dan gade tuh motor". ujar sang kakak sepupu.
Arina bingung harus menjawab apa lagi. Ia benar-benar kesal dengan ucapan sang kakak yang dengan entengnya membeberkan kekayaan yang ia punya. Arina merasa dirinya tersudut dan tak bisa berbuat apapun.
"Kelamaan deh!" ATMnya direbut dari Arina dengan paksa.
"Kak!"
"Nanti aku ganti, gak usah khawatir".
Arina terduduk lemas, ia tak tau harus berbuat apa lagi sekarang ini. Arina hanya bisa percaya pada kakak sepupunya kalau sang kakak akan mengembalikannya saat waktunya tiba.
"Aku gak boleh nangis, aku harus berangkat sekolah!" Arina berusaha menguatkan dirinya sendiri. Ia bangkit dari duduknya dan bergegas ke sekolah dengan menggunakan motor peninggalan sang Ibu. Dengan sisa air mata di wajahnya, Arina berangkat sekolah.
"Semua akan baik-baik saja". Gumam Arina pada dirinya sendiri.
Arina tidak tahu jika ternyata sang kakak sepupu sedang memafaatkannya. Hutang kakak sepupunya di pinjaman online sudah banyak dan mendekati limit. Begitu juga dengan hutang sang Bibi. Tanpa Arina ketahui keluarga sang Bibi sedang memanfaatkannya dan sedang mengambil uangnya untuk membantu menutupi hutang-hutang mereka.
Motor yang menjadi peninggalan sang ayah di gadai hingga motor itu di tarik oleh sang penggadai. Kini yang Arina hanya punya motor yang ia kendarai untuk ke sekolah dan menjemput sang adik sepulang sekolah.
Arina tidak pernah berfiki jelek tentang keluarganya. Ia percaya keluarganya baik walau ia sering mendengar sang Bibi mengeluh pada anak-anaknya karena kehadiran Arina dan Dimas, namun Arina masih berfikir baik tentang keluarganya itu.
kini ia hanya anak yatim piatu yang menumpang hidup dari keluarga sang ibu. Ia cukup tahu diri untuk tidak berbuat ulah apapun walau hanya sedikit.
"Assalamualaikum.." Usai pulang sekolah, Arina pun langsung pulang. Ia melangkah masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan sang kakak sepupu.
"Kak mana ATMnya?" tanya Arina dengan baik tanpa menyudutkannya sama sekali.