Jakarta, 4 tahun kemudian.
"WAH!!" wajah Remi menengadah menatap bangunan yang menjulang tinggi di depannya.
DUK!!
Ulsa menjitak kening Remi yang dibalas rintihan sakit dari mulut cowok itu. "Jangan teriak-teriak, nanti mereka malah memandang remeh kita yang dari pedesaan ini" jelas Ulsa yang hanya mendapat cibiran acuh dari sahabat kecilnya itu.
"gue cuma senang tau! kapan lagi kita tinggal di asrama gede begini! hah...Jakarta benar-benar kota besar!" Remi terus menyunggingkan senyum manis seraya melangkah ke dalam asrama bersama Ulsa. Sementara Ulsa hanya menatap datar keadaan sekitar asrama tanpa menghiraukan omongan ngelantur Remi "kenapa sih lo semangat banget tinggal di asrama suram ini" gumam Ulsa yang langsung mendapat sodokan kencang di perutnya "elo tuh yang suram!" Ulsa baru saja mau mengelak ucapan Remi, tapi kemudian sadar ucapan Remi ada benarnya. Ulsa memakai hoodie abu-abu, beanie hat hitam, dan jeans yang juga berwarna abu-abu.
"Oh iya mana kunci kamar gue?" Remi memang menitipkannya pada Ulsa karena dia sadar diri dengan sifatnya yang ceroboh. Ulsa menyerahkan kunci dengan label nomor 18 itu.
"kamar lo dimana?" Remi bertanya lagi. Mereka sudah berdiri di depan pintu kamar bernomor 18.
"24, kayaknya di lantai atas, dah.." Ulsa baru saja berjalan satu langkah tapi lengan hoodie-nya di tarik Remi. Ulsa berbalik dan menatap Remi penuh tanya. Yang di tatap hanya cengengesan "temenin gue, agak gugup nih ketemu roomate gue" Ulsa berdecak "payah ah, yaudah ayo" Ulsa menunggu Remi yang sedang memutar kunci di lubang kenop pintu.
"pe-permisi..eh?"
"Awas!!" Ulsa menarik Remi ke dalam rengkuhannya saat tumpukan kardus di dalam kamar itu bergoyang dan jatuh ke tempat mereka berdiri. Remi merasa kedua pipinya memanas. Sejak kapan tinggi Ulsa sejajar dengannya, bahkan lebih 2cm kayaknya.
"bisa lakukan itu di luar?"
Remi dan Ulsa tersentak dan melihat ke sumber suara. Seorang perempuan bersurai putih duduk anggun di salah satu kasur dan memandang mereka dengan tatapan jahil. Tunggu...kenapa teman sekamarku perempuan?! Remi membelalak nggak percaya.
"k-kok lo...lo kan cewek?" Ulsa tergagap dan menarik Remi ke belakang punggungnya.
Cewek itu terkekeh lalu menarik rambutnya. Ralat, wig-nya. "maaf ya, hobi gue emang suka cross dressing" ujar cewek-yang-ternyata-cowok itu.
"Nelson Roux," cowok dengan surai putih ikal itu mengulurkan tangan sebagai salam perkenalannya dan Remi membalasnya "Jeremiah Artedja, panggil Remi aja" Remi masih menatap Nelson dengan pandangan kagum. Nelson cocok jadi aktor, dia bisa terlihat sangat lembut saat jadi perempuan dan keren saat jadi cowok. Nggak hanya penampilan tapi juga suara dan pembawaannya.
Nelson tersenyum cerah "salam kenal Remi, lo juga bisa panggil gue Nero aja"
Setelah perkenalan mereka selesai, Nero melirik Ulsa yang sedari tadi diam. "hey! stop spacing out! lo pacar roomate gue, bantu-bantu beresin barang kek!" Ulsa hanya membalas omelan Nero dengan tatapan datarnya. Sedangkan Remi udah mulai gelagapan karena teman sekamarnya salah paham.