Penulis turun dari dimensinya untuk mendatangiku yang sedang dalam kondisi stagnan. Ia menceritakan cerita yang tidak ditulis olehku. Cerita dari sisi lain yang aku tidak tahu itu siapa.
“Ternyata baru kutinggal sebentar, cerita sudah berlanjut. Hm... dia sudah memulai rencananya. Lagi – lagi pemusnahan massal, sungguh klasik. Tapi tunggu, 500.000 orang yang boleh hidup? Wow, Death saja masih menyisakan sekitar 3 milyar orang. Ini hanya 500.000 orang. Berarti lebih dari setengah populasi akan mati. Sungguh menarik.”
Kematian massal? Kalau di cerita sebelumnya, semua orang mati karena virus. Apakah cerita kali ini juga dikarenakan virus?
“Jangan tanya aku, disini posisiku sebagai pengamat cerita. Aku tidak ikut andil dalam cerita ini, kecuali bila memang benar – benar mendesak. Lagipula tujuannya baik, yaitu menjaga keseimbangan antara populasi manusia dengan alam. Lagipula ceritamu yang lalu juga sama – sama memusnahkan manusia dalam jumlah yang masif. Apakah ada yang salah dengan itu?”
Tentu saja salah! Karena itu berarti dia membunuh makhluk yang tidak berdosa! Aku hanya menghilangkan setengah populasi manusia, sedangkan dia lebih dari itu. Itu sangat berlebihan!
“Apa bedanya? Perbedaan kalian hanyalah soal jumlah nyawa. Lagipula kematian itu datangnya tiba – tiba seperti pencuri. Kalau mereka tidak siap dengan hal itu, maka itu kesalahan mereka sendiri. Mau mati kapanpun tetap saja hanya berujung kematian. Itu hanya soal waktu saja, cepat atau lambat. Lagipula, berdosa atau tidak, itu bukan urusanmu. Bukanlah hak manusia yang menilai dosa makhluk yang setara dengan mereka. Dia yang menentukan hal itu.”
Mudah sekali penulis mengatakan hal itu, seakan manusia tidak ada harganya di mata penulis. Padahal manusia juga berhak merasakan hidup lebih lama.
“Hak? Itu kan menurut pikiranmu. Yang berhak menentukan hak dari manusia adalah penciptanya sendiri. Seharusnya manusia tidak mungkin memiliki hak atas dirinya sendiri dibawah penciptanya. Manusia sepatutnya bersyukur karena sudah diberikan kehendak bebas. Tidak seperti malaikat yang harus patuh terhadap penciptanya. Bukankah ketika kau membuat sesuatu, maka kamu memiliki hak penuh pada ciptaanmu? Seperti itulah analogi yang berjalan.”
Kalimat itu bagaikan petir yang menyambar telingaku. Separah itu manusia dibawah penciptanya. Padahal selama ini pencipta manusia sangat menyayangi ciptaannya.
“Jangan naif, pencipta manusia bahkan membuat aturan – aturan yang harus dipatuhi oleh ciptaanya. Dia memberikan tes di dalam kehidupan manusia dalam bentuk kehendak bebas. Dan manusia terlena karena hal yang telah diberikan pada mereka, sebuah kehendak bebas.”
Penulis menghilang meninggalkanku yang masih di depan laptop. Aku harus menghentikan rencana Seckinler, tapi bagaimana caranya? Hanya Herrscher yang bisa membantuku untuk melawan Seckinler. Tapi Herrscher masih fokus pada penelitian ayahnya. Ah, karakter utamaku bahkan sudah mati. Karma juga bukan karakterku, entah siapa dia, kenapa dia bisa muncul tiba – tiba di cerita ini. Aku stagnan. Pion – pionku tidak bisa diajak kerjasama. Sial, kalau benar aku yang menciptakan Herrscher, maka harusnya aku memiliki kehendak mutlak atas Herrscher. Tapi aku tidak bisa seperti itu, aku menghormati kehendak bebas Herrscher.
---------------------------
“Apakah kata – kataku terlalu keras padanya?” tanyaku pada Sang Empat Huruf.
Fakta memang sering menyakitkan. Tapi hanya itu pilihannya, kebahagiaan di atas kepalsuan atau kesedihan di atas kenyataan. Mereka diberikan kehendak bebas untuk memilih hal itu. Aku hanya tinggal melihat perkembangannya, sama sepertimu.
“Sama sepertiku yang hanya tinggal melihat karakter buatanku berjalan dengan sendirinya. Posisi kita seakan sama, meski dirimu masih berada di atasku.”
Dia tidak lagi menjawab kalimatku. Itu artinya aku hanya bisa melihat bagaimana kedua karakterku memainkan peran masing – masing. Sesuai dengan kehendak mereka sendiri.
---------------------------
Aku masih berada di depan laptopku. Menyusun rencana untuk Seckinler laksanakan. Hm... aku suka dengan metode CRISPR. Metode yang sudah berlangsung cukup lama namun selalu mendapatkan perdebatan karena manusia melihat secara etika dan moral. Ah, bodo amat!
“Tampaknya kamu sedang kesal, bukan begitu?”
Penulis mengajakku berkomunikasi, selalu saja begitu, datang tiba – tiba tanpa ada tanda apapun. Seperti itulah dimensi atas mendatangi dimensi bawah. Terkadang memberikan tanda, namun tidak jarang tanpa tanda sedikitpun. Dan sedikit susah dideteksi.