Cerita apa yang paling menarik menurutmu?
“Cerita yang menggugah hati pembacanya. Hm... itu secara umum. Bagiku, cerita yang menarik adalah cerita yang berasal dari pencerahan. Cerita yang ditulis berdasarkan lisan lalu dibuatlah menjadi suatu buku. Lalu cerita itu membuat pembacanya berpikir bahwa apa yang dia baca adalah suatu hal yang benar. Karena itu seakan adalah suatu kejadian yang nyata. Suatu teori konspirasi yang sangat menarik dari suatu cerita, bukan?” jawabku kepadanya. Kurasa bila aku memberikan jawaban seperti ini kepada manusia, mereka akan menganggap jawabanku adalah suatu kontroversi.
Dan kamu ingin membuat cerita seperti itu?
“Aku tidak mau menjawab hal itu. Aku menggunakan kehendak bebasku untuk hal ini,” jawabku dengan nada tegas. Sebagai salah satu entitas tertentu, aku punya hak untuk ini.
Dia tidak bertanya lebih lanjut, itu hal yang melegakan bagiku. Namun juga cukup berbahaya, karena dia bisa mengetahui isi pikiranku. Ah, sudahlah, entitas level bawah selalu kalah dengan entitas di atasnya.
“Aku tahu kamu mengetahui apa yang sedang aku pikirkan, bukan begitu? Kau memang curang dengan segala kelebihanmu.”
---------------------------
Aku masih menemukan jalan buntu untuk melanjutkan cerita ini. Aku butuh tokoh baru untuk melanjutkan cerita ini. Tokoh yang dengan eksistensinya, dapat membuka jalan cerita. Hm... eksistensi. Mengingatkanku pada keberadaan manusia yang tidak penting. Bahkan mereka hanyalah manusia yang lahir ke dunia tanpa mengetahui apa tujuan hidupnya, tapi mereka selalu mencoba menciptakan makna di hidupnya. Padahal makna yang mereka ciptakan hanyalah akibat dari konsekuensi hubungan dan komitmen yang mereka ciptakan sendiri. Benar – benar suatu nihilisme eksistensial.
Sial, kini justru aku yang berpikir tentang eksistensiku dalam cerita ini. Apa tujuan penulis memasukkan karakter sepertiku ke dalam ceritanya? L'existence précède l'essence. Aku dengan kesadaranku tentu bisa menentukan makna dari keberadaanku. Makna dan nilai dari identitasku terlepas dari kodratku sebagai karakter dalam cerita ini.
---------------------------
“Akhirnya karakterku telah menyadari eksistensinya. Ia telah menyadari bahwa dia ada dan telah terbangun kesadarannya di dalam cerita. Kini aku hanya tinggal melihat bagaimana dia mendefinisikan dirinya sendiri. Ia dengan kehendak bebasnya, akan bertanggung jawab atas apa yang dia perbuat.”
Bukankah itu juga berlaku bagimu. Kamu juga sadar dengan keberadaanmu, bahwa keberadaanmu adalah suatu hal yang absurd. Karena aksi dan pilihanmu merupakan buah pikiran akibat kebebasanmu. Padahal itu bukan berasal dari yang menciptakanmu.
“Tentu saja. Semua yang aku lakukan adalah karena aku bertindak sebagai diriku sendiri. Bukan karena esesensi lainnya. Nilai – nilai yang aku milikilah, yang bermain ketika aku membuat pilihan. Itulah fungsi dari pikiranku untuk menentukan keputusan yang kubuat.”
Tenyata kamu sudah sadar dengan hal itu, karena tidak semuanya memiliki hidup yang otentik. Mereka menyangkal kebebasan yang mereka miliki dengan menyalahkan adanya determinisme, sehingga mereka melakukan sesuatu dengan pikiran bahwa mereka memang harus melakukan itu. Kebebasan yang mereka miliki justru dikekang oleh pikiran mereka sendiri.
“Tidak – tidak, yang kau katakan itu dikarenakan mereka dibayangi oleh aksi yang mereka pikir harus dilakukan. Mereka hanya menjalankan perannya terutama sebagai makhluk sosial. Sepertinya, norma – norma yang ada telah membuat mereka kehilangan keotentikan mereka sendiri.”
Dia tidak memberikan respon atas jawabanku. Sepertinya dia menunggu aku melanjutkan kalimatku. Baiklah, akan kulanjutkan kalimatku. Aku menghela nafas sejenak mengumpulkan oksigen untuk dialirkan ke otak. Lumayan membantuku berpikir dengan lancar.
“Norma – norma pada buku yang mereka baca contohnya. Hal itu menjadikan mereka seperti ada sosok lain di luar dirinya yang membuat mereka terpaksa mengikuti apa yang mereka baca. Padahal sebenarnya tidak ada paksaan tentang hal itu. Mereka menganggap hal yang mereka baca adalah sesuatu yang benar dan hal itu telah menjadi koleksi dalam pikiran mereka.”
Cara berpikirmu itu adalah kebalikan dari ‘essentia mendahului existensia’. Lagipula norma – norma yang mereka pelajari akan menjadi sudut pandang bagi mereka untuk mempelajari etika. Sesuatu yang menjadi penilaian moral yang mencangkup benar dan salah suatu tindakan.