“APAKAH ADA YANG BILANG HUMAN?”
Muncul suara dibelakang kami. Suara wanita. Kami menoleh kearah suara tersebut. Letaknya cukup jauh dari kami mungkin sekitar 50 m dari lokasi kami duduk. Dia adalah wanita yang tampaknya sama dengan tinggiku atau sedikit lebih tinggi dariku. Mungkin tingginya sekitar 170 cm berambut hitam panjang. Paras wajahnya cantik dan manis penuh senyum bertolak belakang bila dibandingkan Nadna yang jutek. Kelihatannya masih muda. Aku pernah melihatnya di kantin gedung ini. Mungkin dia adalah salah satu karyawan di gedung ini.
Aku tidak merasakan hawa Supra pada dirinya. Kurasa dia adalah Human.
“APAKAH KALIAN BARU SAJA MENGATAKAN HUMAN?” ulangnya.
“AKU MENDENGAR KALIAN MENGATAKAN HUMAN?” ulangnya lagi.
Semua orang melihat wanita itu. Entah apa yang ada dipikirannya. Teriak – teriak ditengah keramaian begini. Lebih baik wanita itu tidak perlu diperhatikan daripada pembahasan ini makin tersebar kemana – mana. Aku menyuruh Nadna, Yuri, dan Yudas untuk tetap diam dan tidak menghiraukan wanita itu.
“SIAPA KAMU?” tanya Nadna sedikit teriak kepadanya. “Idih... kenapa malah kamu tanggapin sih?” tanyaku kesal kepada Nadna.
“Dia sudah menguping apa yang kita bicarakan, teriakan dia memang tertuju pada kita” jawab Nadna dengan tenangnya.
Tampaknya Nadna kesal karena ada orang yang menguping pembicaraan mereka lagi. Setidaknya bukan hanya aku saja yang kepo dengan pembahasan ini. Buktinya, dia tertarik mendengar pembicaraan kami. Berarti ke-kepo-an ku masih dalam batas wajar.
“Tidak, kepo itu meresahkan orang tau!” tiba – tiba Nadna membentakku.
Ya.... aku lupa kalau Nadna bisa membaca pikiranku. Ah... sial.
“Maaf lancang, namaku Clove,” wanita itu mulai memperkenalkan diri.
“Tidak sengaja aku mendengar percakapan kalian. Bencana virus seperti apa yang kalian maksud?” tanya Clove dari kejauhan. Suaranya samar - samar
“Dia ini ngomong apaan sih? Mana kedengaran dari sini. Dasar bodoh” Nadna tidak bisa mendengar suara Clove dengan jelas. Akupun demikian.
“NAMAKU CLOVE” teriaknya.
“Ho.. Clove... Dasar tukang nguping!” Nadna mulai mengata-ngatai.
“AKU PENASARAN KALIAN NGOMONGIN APA” teriak Clove lagi.
“Dasar manusia kepo, pingin tahu urusan orang saja.” lanjut Nadna.
“KEPO ITU WAJAR” teriak Clove lagi
Kami semua cegek melihat percakapan antara Nadna dan Clove. Hebat sekali pendengaran Clove. Aku saja perlu membuat akses ke perangkat komunikasi untuk mendengarkan pembicaraan orang lain dari jarak sejauh ini. Lagipula terlalu bahaya bila hal ini diketahui umum. Karena dari Aliansi Supra sendiri belum mengeluarkan statement tentang virus ini. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan.
“Bisakah kau mendekat kesini? Tidak elok bila berbicara berjauhan seperti ini,” pinta Yudas.
“OH.. MAAF” Clove datang menghampiri kami.
“Maaf, aku sungkan kalau tiba – tiba mendatangi kumpulan orang – orang yang tidak mengenalku. Teehee,” Clove berekspresi sok imut.
“Mendatangi kumpulan orang sungkan, tapi malah teriak – teriak,” kataku pelan samar – samar biar tidak bisa didengar yang lain.
“Kan kalian tidak dengar aku ngomong apa,” jawab Clove sambil menghadapkan wajahnya ke arahku.
“Emang tadi kamu ngomong apa?” tanya Yudas kepadaku. Dia heran karena Clove tiba – tiba berbicara padaku.
“Oh... Gak... gak... aku gak ngomong apa apa kok,” aku berdalih. Dasar cewek aneh.
“Kalian bilang kalau kalau akan ada bencana virus kan?” tanya Clove kepada kami dengan wajah penasaran. Suara Clove memang pelan.
Sejak kapan dia mendengar pembicaraan kami? Apakah sejak aku bertengkar dengan Nadna. Kurasa pertengkaran itu memang memancing orang untuk kepo terhadap masalah kami. Mana Nadna sudah tahu kunci ku, aku tidak boleh gegabah kali ini.
“Ya, benar, kamu memang orang ceroboh!” suara Nadna mengkagetkanku kembali.
“Bisa gak sih kamu tidak membaca pikiranku?!” tanyaku kesal.
“Siapa suruh kamu bikin aku kesal duluan. Mentang – mentang Tech jadi seenaknya menguping pembicaraan orang. Tidak sopan!” jawab Nadna tanpa melihat mukaku, seakan membuang wajahnya.
“Kan dia aja juga kepo, kenapa tidak kau marahi coba!” balasku sambil menunjuk Clove.
“Aku juga marah ke dia kok!”
“Tapi kayaknya kamu melampiaskan kekesalanmu padaku aja!”
“Ah, itu menurutmu...”
“Dasar perawan tua...,” ejekku kepada Nadna.
“Ho.... ngajak berantem lagi toh,” Nadna mulai terpancing emosi. Ia sudah berdiri dari bangkunya.
“APA KALIAN TIDAK BISA TENANG?!”
Suara Clove yang keras memecahkan nuansa panas antara aku dan Nadna. Semua mata orang - orang kembali tertuju pada kami. Nadna kembali tenang. Ia duduk dikursinya tadi.
“Aku Nadna, sebelahku Yuri, salam kenal,” Nadna memperkenalkan dirinya dengan ketus.
Kringg... Waktu istirahat telah usai dan ini berarti aku harus kembali ke kantorku.
“Oke... Aku harus kembali ke kantorku. Silahkan kalian berdiskusi. Aku tidak ikut – ikut dengan masalah ini,” kataku untuk alasan agar tidak bertemu lagi dengan mereka. Aku meninggalkan mereka berempat. Aku berharap tidak bertemu lagi dengan dua orang itu.
“Bagaimana ini, siapa tahu dia adalah Tech yang dimaksud oleh Para Supra,” tiba – tiba suara Yuri keluar setelah lama terdiam.
“Aku tidak yakin kalau dia yang dimaksud oleh Para Supra. Orang seceroboh ini mana mungkin bisa membantu kita. Aku lebih berpikir kalau temannya ini yang dimaksud oleh Para Supra,” kata Nadna. Kalimat Nadna membuatku kesal dan senang. Itu berarti aku tidak harus direpotkan dengan urusan mereka. Biarlah Yudas yang repot – repot membantu mereka. Aku bebas.
“Baguslah, jadi aku tidak perlu menghabiskan waktuku dengan kalian.”
Aku menuju mesin teleport yang ternyata antri. Ah, sial... waktu makan siangku habis karena mereka. Menunggu antrian ini akan membutuhkan waktu yang lama. Lebih baik aku menggunakan teleportku sendiri.
---------------------------
Malam hari menjelang.