Suatu ruang yang dikelilingi oleh lapisan energi. Lapisan tebal namun tetap bening dan berwarna kuning. Lapisan yang tersusun oleh kumpulan hexagon sebesar kertas A4 yang melengkung mengelilingi. Energi yang melindungi siapun dari energi negatif yang berkeliaran. Lapisan energi buatan yang membuat Para Supra tidak bisa membuat akses maupun portal kedalamnya.
Disitulah seorang cewek sedang tidur dengan pulasnya.
Seorang Supra tipe Pemimpi
Yuri.
Dibalik bayangan, sosok jubah hitam muncul. Sosok yang sebelumnya mendatangi Dunia Kematian dan menyarankan Dewa Kematian untuk resign dari pekerjaannya. Sosok misterius yang tidak punya etika ketika bertemu Dewa Kematian.
“Hm... lebih baik sebut Death, kurasa itu lebih keren, daripada berulang kali ditulis sosok jubah hitam.”
Baiklah.
Death mendatangi ruang berlapiskan energi tersebut. Bukan hal yang sulit bagi Death menembus lapisan buatannya sendiri. Ya, lapisan itu adalah hasil rancangan Death, untuk melindungi Yuri. Tubuhnya perlahan memasuki area lapisan kuning hingga masuk ke dalamnya.
Tunggu! Barusan kau...!
“Iya aku tahu..., sudah lanjutkan saja.”
Apa yang kau lakukan pada Yuri?
“Aku cuma melindungi raga Yuri agar tidak ada energi jahat mendekat saat ia menjalankan tugasnya.”
Tugas? Tugas apa?
“Jiwanya sekarang sedang berkeliaran menolong jiwa – jiwa yang tersesat.”
Kenapa kau memberikan tugas seperti itu?
“Astaga...! Kau banyak tanya, ya?! Tugas yang ku terima itu terlalu sadis, menurutku...”
Kenapa?
“Hei..., virus pembunuh itu sifatnya random, bisa menyerang siapa saja. Semua bisa mati tanpa pandang umur, gender, ras, dan hal semacam itu. Dan itu datangnya tiba – tiba.”
Lalu?
“Tentu mereka yang mati belum mempersiapkan diri.”
Maksudmu dosa? Itu bukan urusanmu!
“Bukan itu maksudku, tentu beberapa dari mereka punya masalah di dunia yang belum diselesaikan. Setidaknya aku berikan mereka bantuan agar jalan mereka mulus ke alam baka. Permasalahan mereka di dunia harus terselesaikan. Aku tidak sejahat itu.”
Aku mengerti maksudmu. Aku tidak memikirkan hal ini sejauh yang kamu pikirkan. Lagipula kematian itu datangnya seperti pencuri. Sudah seharusnya mereka berjaga – jaga. Tidak ada seorang pencuri yang memberi tahu tuan rumah kapan mereka akan datang.
“Setidaknya aku memberikan mereka kesempatan untuk menyelesaikan masalah mereka di dunia. Dengan meledaknya jumlah manusia yang mati, tentu jiwa Pemimpi tidak bisa istirahat. Mereka harus terus tertidur untuk menjalankan tugasnya.”
Jadi itu alasanmu membuat pelindung ini?
“Yap, tepat! Aku tidak mau ada yang mengintervensi Yuri dalam melaksanakan tugasnya. Para Supra di dunia pasti sedang mencari Yuri.”
Kau hanya mengandalkan Yuri? Bukankah banyak Pemimpi di dunia?
“Kau memang kebanyakan tanya ya?! Kau sendiri yang bilang. Kematian datangnya seperti pencuri. Tiba – tiba. Spontan. Tidak bisa ditebak. Aku setuju dengan kalimat itu. Aku tidak akan menolong semua jiwa – jiwa yang baru saja mati. Random. Aku memberikan kebebasan pada Yuri untuk memilih jiwa mana yang akan ia bantu.”
Lalu kenapa harus Yuri?
“Kurasa aku tidak perlu memberitahu alasannya. Kau pasti tahu kenapa aku memilih Yuri untuk membantuku.”
Hm... baiklah sesukamu saja. Karena Aku sudah memberikan kebebasan padamu juga.
“Baguslah, akhirnya aku tidak perlu menjawab pertanyaan lagi.”
---------------------------
ZAPPP
Markas Aliansi Supra.
Bangunan yang sangat futuristik. Bukan bangunan melayang, karena itu hanya menghabiskan banyak energi untuk melawan gravitasi. Bisa terbang, namun bukan berarti selalu melayang diudara.
Ruang kerja Zuna. Ruang dengan dinding warna coklat kayu
Ruang dengan kumpulan buku – buku yang tertata rapi. Tersusun di rak logam yang menutupi seluruh permukaan dinding. Tidak terlihat jendela sama sekali. Entah bagaimana sirkulasi udara bisa berputar.
“Ruanganmu pengap, apa kamu bisa bernafas disini?”
Nadna melihat sekeliling. Koleksi buku dari berbagai macam genre. Ia tidak pernah melihat judul – judul buku di ruangan itu. Tidak hanya buku di rak, namun lantai pun juga penuh tumpukan buku. Ruangan yang harusnya terasa luas jadi sempit karena buku – buku ini.
“Hm... aku jarang disini. Aku lebih suka menikmati alam. Disini hanyalah tempat menyimpan buku bagiku,” Zuna melihat mata Nadna yang masih memperhatikan buku koleksi miliknya.
“Lebih baik ruangan ini disebut gudang, deh,” Nadna memincingkan bibirnya.
“Terserah. Lihatlah ruangan ini.” Tangannya membentang menunjukkan seluruh penjuru ruangannya. “Bagi orang biasa, mereka akan menganggap ruang kerja adalah ruang untuk bekerja. Fokus menyelesaikan pekerjaan mereka. Tapi tidak bagiku, ruang kerja hanyalah kandang dalam bahasa halus. Padahal ide bisa saja berasal dari luar. Dari apa yang kita lihat sehari – hari, namun tidak kita sadari. Terkadang sesuatu harus ada, tapi hanyalah untuk formalitas belaka. Ada tapi tidak terlalu berguna.”
Zuna menerangkan pemikirannya sambil menari, kesana kemari, tangannya terus membentang. Berputar.Melompat. Seperti orang yang baru saja merasakan kebebasan. Nadna mengernyitkan dahinya melihat tingkah laku Zuna. Hingga sudah hilang kesan Zuna yang penuh wibawa dimata Nadna
“Tingkahmu saat ini bertolak belakang dengan tingkahmu ketika bertemu orang lain,” Nadna menyentuh dahinya, keheranan melihat Zuna yang menari tidak jelas seperti itu. Jari di dahinya menunjukkan tanda gila.
“Itu namanya pembawaan. Aku bisa seperti ini karena kamu sudah dekat denganku.”
Nadna diam sejenak. Ia tiba – tiba terpikirkan sesuatu dibenaknya.
“Zuna, aku boleh tanya sesuatu?”
Zuna kembali ke gayanya yang biasa. Tegap, dagu terangkat, dan tangan di belakang.