Nadna memanggil temannya itu. Nadna mengetuk dan membuka pintu itu. Pintu itu terbuka dan tampak sosok pria berbadan tegap dan berambut putih panjang. Kedua tangannya berada di belakang. Sosok itu membelakangi mereka. Zuna, dia adalah Zuna.
Mereka memasuki pintu ruangan itu. Zuna masih membaca bukunya, namun Yuri merasakan aura yang berbeda. Ia tidak pernah merasakan aura seperti ini dalam hidupnya. Aura Zuna memang sangat kuat. Zuna membalikan badannya. Yuri yang melihat mata Zuna yang tajam langsung takut dan berlari keluar.
BRAKK!
Yuri menabrak pintu tersebut. Pintu itu memang dirancang otomatis menutup sendiri. Hidungnya membentur pintu berlapis perak alagam.
“Yuri... Yuri... untung bukan pipimu yang kena, bisa jadi bakpau ntar,” Nadna tertawa melihat tingkah Yuri.
Yuri memegang hidungnya yang mulai merah karena benturan. Ia merasa bodoh disana.
“Habisnya aku kira tadi itu kuntilanak, rambutnya panjang sih.” Yuri masih mengelus hidungnya.
“Kuntilanak? Apa itu? Kamu pernah mendengarnya, Zuna?” Nadna terheran.
“Kuntilanak ya...” mata Zuna menatap tajam Yuri. Ia tidak terima dirinya disamakan dengan sosok Kuntilanak. “Itu sosok hantu yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia.”
“Kenapa aku tidak pernah melihatnya?”
“Nadna... kamu itu selalu hidup di kota, makhluk seperti mereka sudah tidak betah tinggal disini. Terlalu banyak gelombang energi bertebaran disini. Kamu pasti berasal dari desa kan?”
“Darimana Kakek tahu?”
“Ah... terlambat...” Nadna menggelengkan kepalanya.
Yuri bingung melihat reaksi Nadna. Ia merasa bahwa baru saja melakukan kesalahan.
“KAKEK KATAMU!!!” mata Zuna melotot. Ia paling tidak suka dipanggil kakek.
“Soalnya rambut kakek putih, jadi aku panggil kakek, salah ya?” Yuri menunjuk rambut Zuna dengan tatapan polos.
“Ah... aku terlambat lagi...” Nadna menggelengkan kepalanya.
“NADNA!!! Darimana kamu temukan bocil ini?!” Zuna menunjuk muka Yuri. Terlihat mukanya sudah kesal dengan Yuri.
“Uhhh! Aku bukan bocil! Aku sudah kepala dua kok,” Yuri menggembungkan pipinya karena sebal. Nadna jadi gemas melihatnya.
“Aku juga baru kepala dua tahu!” Zuna mengepalkan tangannya.
“APA!! Kok bisa?! Kalau kepala dua kan harusnya masih hitam,” Yuri menyangkal.
Nadna mendekati Yuri. Ia menepuk pundak Yuri. Nadna menghela nafas.
“Yuri... Zuna itu sudah mencapai level yang sangat tinggi di tingkatan Supra walaupun belum tertinggi sih. Makanya rambutnya bisa sampai seputih itu.”
Yuri takjub. Ternyata di depannya berdiri seorang Supra dengan level yang sangat tinggi.
Nadna melanjutkan kalimatnya, “Biarpun rambutnya seperti itu, tapi dia seumuran denganku. Hahaha. Kau kaget kan?”
“Pantas aku tidak melihat keriput diwajahnya,” jawab Yuri polos.
Yuri masih melongo. Nadna mengerti Yuri masih terpesona dengan Zuna. Nadna membaca pikiran Yuri saat ini, “Ah, repot memang kalau berbicara dengan orang seperti kamu.”
Nadna menjauhi Yuri dan duduk di salah satu di ruangan itu, “Aku memberimu waktu untuk terpesona. Nanti setelah kamu sadar baru kita bicara lagi.”
Yuri masih tidak percaya. Mulutnya terus terbuka, “Benarkah? Ini bukan mimpi?”
“Nadna, kau yakin mau membangkitkan kemampuan spiritual miliknya?” Zuna bertanya langsung pada Nadna.
“Tentu saja, dia bahkan tidak tahu kalau dia adalah Supra. Bagaimana mungkin.”
“Itu karena orang tuanya menyembunyikan hal itu dari dia. Jangan kamu tanya kenapa orang tuanya menyembunyikan hal itu. Itu urusan keluarga mereka. Jangan mencampuri urusan orang lain.”
“Tunggu, kenapa orang tuaku menyembunyikan hal itu?” Yuri baru saja mengetahui fakta.
“Bukan kapasitasku memberitahu alasannya. Itu adalah urusan dirimu dan orang tuamu.”
“Yuri kan sudah dewasa, tentu ia bisa menentukan jalan hidupnya sendiri.” seru Nadna.
“Kau benar Nadna, sekarang Yuri bisa menentukan pilihannya sendiri.”
“Jadi, apa pilihanmu Yuri? Kamu ingin tetap menjadi Human? Atau menjadi Supra?”
“Tentu aku ingin menjadi Supra!” Yuri langsung menjawab pertanyaan Nadna, walaupun Yuri tidak tahu kemampuan Supra yang akan ia miliki.
---------------------------
Di restoran seberang. Masih di tempat dimana Nadna dan Herrscher sedang duduk di kursi sedang menikmati makanannya. Herrscher belum selesai menghabiskan setengah pizzanya.
“Eh, aku baru ingat, dulu kamu pernah nangis – nangis menyebut nama Yuri. Terus barusan kamu ditelepon Zuna soal Yuri kan? Memangnya siapa Yuri? Temanmu?”
Nadna teringat kejadian ia menangis di laboratorium Yudas. Namun kini ia bisa bernafas lega karena Zuna telah memberi kabar kalau Yuri masih hidup.
“Yup, kamu benar. Yuri itu temanku. Aku cukup dekat dengan dia. Setidaknya dia yang bisa sabar mengatasi emosiku. Hahaha”
“Hm... pantesan...”
“Pantesan apa? Kamu kenal Yuri?”
“Ah tidak, maksudku orang yang bisa berteman dengan orang sepertimu, pasti orang yang sangat sabar. Kau ingat kan, aku yang menolongmu aja tiba – tiba kau serang.”
Nadna mengingat kejadian ketika Herrscher melihat tubuhnya. Wajah Nadna memerah.
“Ah sial! Awas kamu!”