Di dalam sebuah kamar yang sederhana, tampak seorang perempuan bernama Hesti tengah memulas wajahnya dengan make up. Dengan penuh yakin menyapukan beberapa warna ke wajahnya yang putih. Setelah merasa riasannya sempurna, berikutnya dia merapikan jilbabnya. Lalu berdiri dan mematut dirinya sekali lagi di depan cermin, dari ujung jilbab hingga ujung sepatunya. Matanya menatap tajam ke cermin, memastikan bahwa tidak ada kesalahan secuil pun pada penampilannya. Dia ingin terlihat sempurna di hari pertamanya kerja. Pekerjaan yang telah sekian lama diinginkannya. Setelah sekian lamanya pula dia hanya mengandalkan penghasilan yang didapat dari hasil kerja keras Nurul, si adik perempuan satu-satunya.
Di rumah kontrakan itu, Hesti tinggal bersama emaknya, Nurul dan Rafli, seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun. Rafli adalah anak yang periang dan sangat dekat dengan Nurul dan neneknya. Tapi tidak dengan Hesti. Bocah itu tidak berani mendekati Hesti kecuali bila perempuan itu sendiri yang memanggilnya, barulah dia mendekat. Itu pun dengan langkah berat dan kepala menunduk. Selain itu, dia pasti akan menghindar dan menjauh.
“Maaaak, aku berangkat dulu, ya,” teriak Hesti dari depan pintu pada Husna yang sedang menyuapi cucunya. Anak itu sedang makan sambil memainkan mainan mobil-mobilannya yang baru dibelikan Nurul beberapa hari yang lalu.
“Iyaa, hati-hati!” balas Husna tanpa beranjak dari tempatnya sambil terus menyuapi Rafli.
Hesti melangkah dengan mantap. Senyum yang tak lepas dari wajahnya menyiratkan apa yang terbayang di benaknya.
Hmm ... hari ini aku akan merasakan atmosfer baru dunia kerja. Bertemu dan bergaul dengan orang-orang baru, melakukan hal-hal yang selama ini belum pernah kulakukan dan terlebih lagi, bulan depan aku bisa belanja lebih banyak sepuas hatiku tanpa harus mengemis dulu dari si Nurul!
Dia juga teringat saat mengikuti wawancara kerja. Siang itu, terlihat banyak perempuan sebaya dirinya berkumpul di ruang lobi kantor salah satu perusahaan seluler terbesar negeri ini. Mereka menunggu giliran untuk dipanggil satu persatu guna mengikuti tes wawancara. Hesti yang baru datang, mengedarkan pandang ke sekeliling, mencari tempat untuk duduk. Dia melihat di sudut ruang masih ada bangku yang kosong, di samping dua orang perempuan yang sedang serius bicara. Hesti datang mendekat untuk duduk di sana. Kedua perempuan tadi melihat ke arahnya. Dia tersenyum, lalu mereka pun berkenalan. Tak berapa lama, Hesti mulai bisa berbaur dengan teman barunya itu.
“Emang, kerja kita nantinya apa sih?” tanya Sita, perempuan yang duduk tepat di sebelah Hesti, yang juga sama-sama menunggu giliran untuk diwawancara.
“Udah, ngga perlu tanya-tanya segala, yang penting halal! Dapat kerja ini aja udah syukur. Lagian, belum tentu juga kita akan diterima.” Rina yang duduk di sebelah Sita menjawab dengan culas tanpa diminta.
“Eh, aku kan cuma nanya, ngapain kamu yang sewot? Lagian aku nanya sama si Hesti, bukan ke kamu!”
“Habis, nada suaramu, kayaknya belagu banget, eneg aku dengernya!” Rina balas menyerang.
“Udah-udah, ngga perlu berantem. Malu!” Hesti menengahi kedua teman barunya itu. “Begini ya, kita di sini untuk dapetin kerja sebagai SPG alias Sales Promotion Girl dari perusahaan kartu seluler ini. Jadi, kalo keterima, kerja kita nantinya menawarkan kartu-kartu yang diproduksi perusahaan ini ke semua konter yang ada serta ke tempat yang dirasa strategis pemasarannya. Semakin banyak yang berhasil kita tawarkan, ya semakin gede juga bonus yang kita terima. Begitu menurut info yang kudapat.”