Sepasang sumur memenuhi kedua matanya. Sumur yang dalam. Sumur yang hitam. Dia tak bisa melihat apapun selain sepasang sumur itu. Sumur di mana-mana. Sumur yang memenjara. Tubuh dengan mata yang berisi sepasang sumur bergerak sambil merentangkan kedua tangannya. Tampak sedang meraba-raba. Dia seperti berjalan di tengah kegelapan hutan di atas lubang-lubang penuh lumpur yang siap menyeret kedua kakinya ke kekedalaman yang mengerikan. Dia tahu bahwa sebenarnya kedua kakinya menapak jauh, begitu jauh dari sumur yang sesungguhnya. Tetapi dalam kabut ketakutannya seolah pinggir sepatunya telah berada di bibir sumur. Hanya dengan satu sentuhan ringan di pundak atau tepukan halus di punggung, maka tubuhnya akan segera meluncur ke dalam sumur. Meluncur dengan sempurna, disusul teriakan yang keluar dari tenggorokannya. Suara kering nan menusuk, seperti batu-batu kerikil yang saling timpa-menimpa, di dinding goa.
Sepasang sumur itu memantik ketakutan orang-orang yang memandangnya.
“Dia sekarang tidak bisa melihat!”
“Dia buta! Buta sepenuhnya!”
“Dia melampaui larangan! Itu sebabnya kini ada dua sumur di matanya!”
Meski dia tak bisa melihat orang-orang yang meneriakkan kata-kata itu, dalam benaknya muncul gambaran yang amat jelas. Orang-orang itu pasti sedang melihatnya dengan penuh ketakutan, ekspresi bergidik, tampak ingin menjaga jarak sejauh mungkin darinya, namun tetap tak bisa melepas pandang sebab mereka memperlakukannya sebagai sesuatu yang penuh teka-teki. Teka-teki yang seolah takkan ditemui jawabnya meski mereka mencarinya sampai ke segitiga bermuda. Begitulah pula para santri itu memandangnya ketika dia baru kali pertama menginjakkan kaki di pesantren ini sebagai santri baru.
Dari kepungan santri itu, dia menangkap gumaman samar-samar seperti ini,
“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa wajahnya begitu mirip?”
“Apa mereka saudara kembar?”
“Hah? Saudara kembar? Tak mungkin!”
“Tapi mengapa wajahnya begitu mirip?”
Dia merasa terasing di antara kepungan santri-santri perempuan yang lain.
Terasing, terkucil.
Mengapa mereka memperlakukannya begitu berbeda. Apa yang salah dengan wajahnya? Mengapa tak ada yang mengajaknya bicara? Bahkan para ustazah yang kali pertama melihatnya tak dapat menyembunyikan ekspresi keterkejutan mereka. Rasa terkejut yang seakan memberi pukulan keras pada dada hingga mereka nyaris terjungkal dari tempat mereka berdiri. Setelah itu mereka berusaha bersikap biasa-biasa saja. Menyampaikan pelajaran di kelas sebagaimana seharusnya. Tetapi tiap kali pandangan mereka bertubrukan dengan Pentana, mereka tak bisa berpura-pura. Pandangan mereka adalah campuran dari rasa takut, penasaran, takjub. Perasaan yang menuntun mereka untuk memberi jarak dengan Pentana, namun di tengah bentangan jarak itu tersedia tali untuk ditarik-ulur, membuat Pentana terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Begitu juga kini yang mereka lakukan kepada Pentana ketika mereka melihat sepasang sumur itu di matanya. Ketakutan dan ketakjuban bertambah berkali-kali lipat. Tetapi Pentana dapat merasakan bahwa sesungguhnya rasa ketakutan mereka kini jauh lebih besar. Mereka melihat kehadirannya sebagai teror.
Teror dari Sumur Hexana.
Sumur itu terletak di lahan kosong penuh semak belukar. Dalam pandangan Pentana, tak ada objek lain selain sumur tua di lahan kosong belakang pesantren itu. Dia ingat setelah mendengar suara teriakan seorang perempuan, dia lekas berlari dari pekarangan itu, melompati pagar kayu hingga jatuh terjerembab di lubang dangkal bekas galian. Dia tahu dia sudah cukup jauh dari sumur itu sehingga dia mengira sudah terselamatkan dari teriakan-teriakan yang menggema. Tetapi dia bergidik ngeri ketika dia merasakan matanya sangat perih dan sulit menjangkau pemandangan yang ada di hadapannya.
Ketika dia berjalan terus ke lapangan yang berada di bangunan utama pesantren, dia merasakan pandangannya betul-betul kabur. Tiap langkahnya seakan melenyapkan separuh jangkauan yang bisa tersapu mata hingga perlahan-lahan lenyap total dan berubah menjadi pemandangan sumur. Dia berdiri di tengah lapangan utama. Tetapi apa yang terpandang hanya sumur tua itu. Sumur dan sumur.
Sumur Hexana.
Begitu julukan dari orang-orang yang sudah lama menetap di pesantren ini.
Jangan dekat-dekat dengan Sumur Hexana. Jangan sekalipun melangkahkan kaki ke sana kalau kau tak ingin sepasang matamu diisi sumur.
“Pentana!” teriak seseorang. Pentana merasakan cengkeraman tangan yang sangat kuat di bahunya. Dia kenal suara tegas itu. Dia merasakan napas orang itu begitu dekat dengan kulitnya.
“Jangan sampai para ustazah melihat sepasang sumur di matamu. Kalau sampai ada yang melihat, kau akan mendapat hukuman berat. Kau harus bersembunyi di Bangunan Karantina sampai matamu benar-benar pulih. Mari ikut aku!” Pentana merasakan tangan Quinizarin membimbing pundaknya menjauh dari lapangan itu.
Quinizarin, nama yang indah. Dia satu-satunya perempuan di pesantren ini yang tidak memandang Pentana dengan penuh teka-teki. Di pertemuan pertama mereka, Quinizarin melempar senyuman hangat. Ada tanda-tanda bahwa ia mengetahui maksud dari sikap keterkejutan dan keterpukauan para santri perempuan dan ustazah di pondok pesantren ini. Sikapnya seolah menunjukkan bahwa dia sudah mengetahui penyebab utama dari semua keterkejutan sikap mereka sehingga dia lebih mampu mengendalikan diri.
Pentana berjalan tertarih-tatih dalam bimbingan Quinizarin. Pentana menghentikan langkahnya lalu kini mencengkeram kuat lengan Quinizarin.