HEXANA

Iin Farliani
Chapter #2

II. Cerita dari Bangunan Karantina

 “Pak Atom!” Quinizarin meneriakkan satu nama. Pak Atom sedang berjaga di menara atas tebing. Pak Atom mengangkat wajahnya dari atas kitab yang sedang dia baca. Ia   merapatkan kacamatanya, melihat dua sosok perempuan yang sedang berjalan terhuyung-huyung menuju menara. Kepada Pak Atomlah setiap santri melaporkan para pelaku tindak pelanggaran. Mereka akan mengisi data pribadi di ruang bawah menara untuk kemudian diarahkan menuju kamar hukuman dalam Bangunan Karantina. Pak Atom melekatkan pandangannya. Ia seakan tak percaya dengan apa yang tengah disaksikannya. Bukan karena melihat mata dengan sepasang sumur itu. Melihat sepasang sumur merupakah hal yang sangat biasa baginya. Ia sudah pernah menghadapinya beberapa kali. Tetapi sosok perempuan di depan yang sedang berjalan ke arahnya itulah yang membuat perasaannya tiba-tiba menjadi tak nyaman.

Dia ingat itulah Quinizarin! Alumnus santri perempuan paling vokal yang pernah ia temui. Paling kritis dan paling banyak bertanya. Dendam lamanya tiba-tiba mencuat. Quinizarinlah yang menyebabkan ia menjadi turun pangkat dan berakhir sebagai penjaga Bangunan Karantina. Menghabiskan malam-malam dingin di ruangan bawah menara. Sungguh tak pernah terbayangkan dalam hidupnya dia bisa turun pangkat seperti ini akibat ulah dari anak ingusan!

Sejak lama ia menanti Quinizarin untuk membalas dendam padanya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selama ia menjadi penjaga di sini. Demi menjaga kerahasiaan, seluruh petugas yang bekerja di Bangunan Karantina dilarang meninggalkan wilayah ini. Itu sebabnya dendamnya kepada Quinizarin belum juga mampu terbalaskan. Pergaulannya terbatas pada wilayah Bangunan Karantina. Mereka tak boleh bersentuhan dengan yang bukan terhukum. Sebab petugas-petugas yang bekerja di Bangunan Karantina diyakini telah menyimpan ‘energi buruk’ dalam tubuh mereka yang merupakan hasil dari interaksi dengan santri-santri terhukum. Energi buruk itu juga dipercaya dapat mengganggu kinerja para ustazah dalam mengajar serta berakibat hancurnya harmoni di kelas selama pelajaran berlangsung. Demi menghindari semua itu, maka petugas Bangunan Karantina diberi larangan keras meninggalkan wilayah ini sampai masa baktinya tuntas.

Ingatan Pak Atom terlempar ke masa silam. Ingatan perihal seluk-beluk mengapa kemudian ia ikut tersangkut-paut dengan kematian Hexana yang misterius, yang berakibat turunnya pangkat jabatannya dari wakil kepala sekolah menjadi penjaga Bangunan Karantina. Ia membocorkan satu rahasia, tentang kebiasaan yang sering dilakukan Kiai Rubia, pendiri pondok pesantren ini, menjelang akhir hidupnya. Ia tak menyangka hanya dengan membocorkan kebiasaan Kiai Rubia itu kepada Quinizarin membuatnya berakhir dengan menghabiskan sisa hidupnya di menara ini.

Kiai Rubia pernah menikah dua kali. Bersama istri pertamanya ia memiliki anak kandung perempuan bernama Hexana. Hexana tak begitu lama memperoleh kasih sayang dari sang ibu sebab perempuan itu meninggal saat Hexana berumur sembilan tahun. Kiai Rubia kemudian menikah lagi dengan Etinil, salah satu ustazah yang menjadi pengajar di pondok pesantren ini. Dari pernikahan keduanya, Kiai Rubia memiliki satu anak lagi yang merupakan anak dari pernikahan Etinil sebelumnya. Anak laki-laki itu bernama Heptan.

Meski sudah menikah lagi, Kiai Rubia tak pernah meninggalkan kebiasaan lamanya yang sering menghabiskan waktu di dekat tebing menara Bangunan Karantina, duduk di bangku panjang menghadap ke laut, mengenang istri pertamanya. Pada tahun itu aturan untuk melarang mendekati Bangunan Karantina belum diberlakukan, sebab kebanyakan pelanggaran yang dilakukan oleh terhukum tak sampai menyamai energi merusak seperti energi yang datang dari mereka yang bermata sumur.

Dahulu orang belum mengenal seperti apa sepasang mata sumur itu, sebab Hexana saat itu masih hidup. Ia bersekolah di pondok pesantren ini, menjadi murid yang sangat berprestasi. Ia juga sering melempar pertanyaan-pertanyaan yang terdengar seperti menantang lawan bicaranya. Ia bahkan tak mengubah nada suaranya yang seperti bernada menyerang ketika ia mendebat ustazah. Ia memuntahkan semua yang ada di pikirannya, tanpa pertimbangan, tanpa ukuran. Di situlah letak kelemahan Hexana yang terbesar, sehingga meski ia amat pintar, tetapi keangkuhannya untuk selalu memenangkan pendapat, diam-diam telah memercikkan api kebencian di sekitar lingkungan orang-orang terdekatnya. Kelemahan Hexana yang lain lagi, ia tak sadar akan keangkuhannya itu. Ketidaksadarannya membuat ia tak begitu awas dengan bahaya yang mengintainya.

Meski Hexana lebih sering tak mau menurunkan derajat keangkuhan yang selalu ingin menyerang pendapat orang, tetap saja baik ustazah maupun para santri lain tak ada yang berani menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap sikap Hexana secara terang-terangan. Kenyataan bahwa ia adalah satu-satunya anak kandung Kiai Rubia, pendiri pondok pesantren, membuatnya memiliki kekuasaan yang begitu saja diturunkan kepadanya.

Kekuasaan itu begitu membuat geram orang-orang terdekat Hexana. Tiada lain dan tiada bukan memancing kecemburuan parah pada diri ibu tiri dan saudara tirinya. Bu Etinil dan Heptan. Ketika Bu Etinil akhirnya mengetahui kalau ternyata Kiai Rubia masih sering mengenang almarhumah istri pertamanya dengan menghabiskan waktu untuk menyendiri di menara Bangunan Karantina, api kecemburuan itu pun semakin berkobar. Bagi Bu Etinil, Hexana dan almarhum ibunya itu merupakan gangguan yang menyakitkan. Bu Etinil semakin mantap merencanakan suatu kejahatan keji bersama Heptan ketika ia memperoleh informasi penting yang tak sengaja diucapkan Quinizarin. Informasi lepas yang datangnya tak sengaja, telanjur melempar banyak bara ke dalam api amarah yang belum padam.

“Hexana akan menjadi pemimpin pondok pesantren ini.” Kalimat itu meluncur dengan polosnya dari bibir Quinizarin.

“Kau bicara apa? Mana mungkin perempuan bisa jadi pemimpin!” balas Heptan.

Heptan sedang menghabiskan makan siangnya ketika Quinizarin tiba dari dapur untuk membereskan piring-piring bekas lauk di meja makan. Quinizarin saat itu masih berumur empat belas tahun. Ia menjalani hidup sehari-hari ikut dengan keluarga Kiai atau sebagai “santri ndalem”, sebab ayahnya saat itu tiba-tiba meninggal, kehilangan tumpuan pencari nafkah, sementara ibu Quinizarin hanya mengandalkan uang sehari-hari dari berjualan kue. Quinizarin ditawari untuk membantu kebutuhan sehari-hari rumah tangga Kiai Rubia. Jadi ia tak perlu membayar biaya sekolah dan juga bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari uang saku yang diberikan keluarga Kiai Rubia. Begitulah kurang lebih mengapa akhirnya Quinizarin sedikit-banyak tahu tentang keluarga ini.   

“Terserah kau percaya atau tidak. Aku mendengarnya langsung dari Kiai Rubia. Siapa yang bisa melawan kehendak Kiai Rubia? Kau bahkan tak akan mampu Heptan. Meski beliau ayah tirimu.”

“Kapan kau mendengarnya? Jangan mengada-ada!”

“Ketika aku mengantar rokok tembakau untuk Ustaz Atom ke menara Bangunan Karantina. Di sana kudengar percakapan mereka berdua. Hexana yang akan menggantikan kepemimpinan Kiai Rubia.”

“Tak mungkin Kiai Rubia menyerahkan kekuasaan pondok ke tangan bocah ingusan.”

“Tentu saja Hexana tak memimpin sekarang. Kelak ketika dia sudah dewasa, dia yang akan memimpin pondok pesantren ini! Bukan kau Heptan! Kau laki-laki di keluarga ini tapi ternyata Kiai Rubia tak mempercayai dirimu sedikit pun.”

Mendengar kalimat Quinizarin seketika membuat otot-otot pada wajah Heptan tertarik kencang. Matanya melotot. Ia bersiap melempar piring ke arah Quinizarin, seperti yang sering ia lakukan bila sedang marah. Melempar piring-piring ke segala arah. Piring-piring beterbangan di ruang makan. Perbuatannya ini sering membuat Quinizarin berada dalam masalah sebab ia yang bertanggung jawab untuk urusan dapur. Ia pula yang akan disalahkan bila piring-piring terpecah-belah

Tetapi kini sejak Quinizarin berani melakukan perlawanan diam-diam, Heptan tak lagi berani sembarangan melempar piring. Ia tak mau sakit perut lagi. Entah apa yang dimasukkan Quinizarin ke dalam makanan yang disantapnya waktu itu sehingga ia mengalami sakit perut selama tiga hari berturut-turut. Sakit perut tak tertahankan. Ia juga tak berani langsung menghajar Quinizarin sebab perempuan itu kini sedang memegang pisau dan talenan. Baginya Quinizarin itu perempuan gila yang setelah sekian lama ditindas sebagai pembantu di keluarga Kiai, ia kini berani melakukan perlawanan. Apalagi setelah ia mengetahui kalau posisi Heptan dan Bu Etinil dalam keluarga Kiai Rubia tidaklah sekuat yang dibayangkannya selama ini.

Dengan meyakini kalau suatu hari nanti pondok pesantren ini akan dipimpin oleh Hexana, hal itu semacam memberi kekuatan dalam diri Quinizarin. Ia bayangkan ia tak akan lama menjalani penindasan dalam keluarga ini. Sebenarnya ia bisa melaporkan perbuatan kasar yang sering ia terima dari Heptan dan Bu Etinil kepada Kiai Rubia. Tetapi hal itu mustahil. Kiai Rubia bukanlah orang yang mudah didekati. Tak sepantasnya santri muda seperti dirinya tiba-tiba menghampiri Kiai Rubia lalu menceritakan semua kekerasan yang ia alami. Apalagi menceritakan perbuatan istri sang Kiai yang merupakan seorang Hafizah, namun memiliki tabiat yang maknanya berbanding terbalik dari ayat-ayat suci yang telah dihapalnya.Apakah dengan menceritakan semua itu Kiai Rubia akan percaya? Quinizarin pernah mendengar mengapa sang Hafizah bisa memiliki tabiat kasar seperti itu. Kata orang-orang itulah ujian yang sering ditimpakan kepada seorang Hafizah. Sebab mereka merasa ilmunya lebih tinggi sehingga menjadi lebih sulit untuk mengendalikan emosi.

Lihat selengkapnya