HEXANA

Iin Farliani
Chapter #3

III. Jejak Hantu Kendi Air

Pentana terbangun di tengah malam. Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.00. Masih ada waktu dua jam lagi untuk shalat tahajud berjamaah. Meski hampir tiga bulan menjadi santri di pondok ini, dia masih belum terbiasa dengan jadwal pesantren yang ketat. Semua serba diatur. Bila terlambat sedikit akan mendapat hukuman. Aturan dan hukuman seperti saudara kembar yang tak terpisahkan. Menjalani hidup dengan pola semacam ini membuat tubuhnya tak sejalan dengan perasaannya. Tubuh tak mengikuti kemauan perasaan. Tubuh tetap melakukan aktivitas-aktivitas yang tak dihendaki oleh perasaan. Tak ubahnya robot yang dikendalikan.

Tubuh Pentana masih letih, tetapi matanya tak bisa lagi terpejam. Sudah beberapa hari ini tepat pukul 01.00 ia selalu terbangun. Pemicunya adalah bunyi kendi air. Setiap santri yang menginap dalam satu kamar, masing-masing  memiliki kendi air yang diletakkan di meja ujung tempat tidur. Letak asrama putri dengan dapur terpisahkan lapangan utama. Bila di malam hari ada santri yang kehausan, maka akan jadi merepotkan dan menakutkan berjalan sendiri menyeberang lapangan utama yang sangat luas itu menuju dapur. Kakak-kakak pembina mencetuskan ide perlunya setiap santri memiliki kendi air untuk menampung persediaan air mereka di malam hari. Jadilah pada tiap kaki tempat tidur diletakkan meja kecil tempat kendi air itu berdiri.

Akhir-akhir ini Pentana selalu mendengar bunyi kendi air yang jatuh menimpa lantai. Kendi air itu berbahan keramik. Bunyinya cukup keras. Dia melihat kendi air miliknya menggelinding di lantai. Semua air dari kendi tumpah. Waktu pertama kali melihat kendi air itu sudah tergelatak di lantai, dia mencurigai ada salah satu santri yang sengaja menumpahkannya supaya dia terpaksa menempuh jarak yang jauh untuk mengambil air ke dapur di malam hari. Dia masih jadi santri yang terkucil dari kelompok santri yang lain. Belum ada yang ingin berkawan dekat dengannya sehingga Pentana selalu mengira gangguan yang dia terima adalah ulah santri-santri yang tidak suka padanya. Tetapi ternyata tak ada tanda-tanda yang merujuk hal itu sengaja dilakukan oleh santri yang menghuni kamar ini. Pentana melihat ke sekeliling kamar. Semua santri sedang tertidur pulas.

Pentana mengangkat kendi airnya. Dia tak langsung meletakkan kendi air itu ke tempat semula sebab tiba-tiba perhatiannya tertumbuk pada bercak-bercak yang ada di lantai. Dia tertegun melihat jejak-jejak kaki yang tercipta dari bekas air yang tumpah. Seakan ada orang bertelanjang kaki menginjak tumpahan air itu lalu berjalan di kamar ini sehingga memunculkan jejak-jejak kaki di sana. Jejak-jejak kaki itu seukuran kaki orang dewasa. Jejak-jejak kaki itu mengarah ke pintu kamar. Adakah orang yang mencoba masuk lalu keluar? Tetapi pintu kamar ini terkunci dari dalam. Lalu jejak-jejak kaki ini milik siapa?

Ketika kali pertama melihatnya, Pentana tak begitu menghiraukannya. Dia menduga mungkin kendi air itu tak sengaja tumpah dan salah satu santri yang mungkin terbangun tengah malam untuk pergi ke kamar mandi tak sengaja pula menginjak genangan air dan terciptalah jejak kaki dari sana. Tetapi karena kejadian itu terus berulang di jam yang sama, Pentana pun tahu jejak-jejak kaki itu milik seseorang yang lain. Bukan jejak kaki salah satu santri yang tidur di kamar ini.

Malam itu dia mendengar lagi bunyi kendi airnya yang menggelinding di lantai. Pentana memberanikan diri menengok dari tempat tidurnya. Benar saja. Kali ini pun ada jejak-jejak kaki di sana. Pentana menyingkap selimutnya, mencoba memperhatikan jejak-jejak itu. Dia ingin tahu jejak-jejak kaki itu akan menuntunnya ke mana. Dia membuka pintu kamar. Melangkah keluar. Pentana melihat jejak-jejak itu bertebaran di sepanjang koridor. Dia mengikuti jejak-jejak itu. Jejak-jejak itu terus memanjang di rute koridor yang mengarah ke lahan kosong belakang pesantren. Pentana berhenti di sana. Dia tak mau lagi melanjutkan langkahnya sebab dari sana akan mengarah ke Sumur Hexana. Dia tak mau lagi matanya diisi sepasang sumur! Dia tak mau lagi mengalami hal itu.

“Sedang apa kau?” Sebuah suara menyahut di belakang punggung Pentana.

Pentana melihat salah seorang santri yang merupakan teman sekamarnya dalam balutan mukena berdiri tak jauh dari sana.

“Kau mau pergi ke Sumur Hexana? Kau ingin mencari gara-gara lagi? Jangan kau ganggu hantu Hexana kalau kau tidak mau melihat pondok pesantren ini kembali diguncang gempa.”

“Hantu Hexanalah yang kembali menggangguku!” Pentana ingin meneriakkan kalimat itu. Tapi anehnya, kalimat itu tercekat di tenggorokan. Dia lalu hanya diam memandangi santri yang sedang berkacak pinggang dan melotot ke arahnya.

Apakah hantu Hexana masih marah padanya? Pentana mengira dia sudah dimaafkan. Pada hari ketika peristiwa gempa bumi itu terjadi, Pentana dan Quinizarin terdampar di luar gerbang Bangunan Karantina. Ketika mereka terbangun dari pingsan, penglihatan Pentana sudah pulih kembali. Dia juga tak menyangka secepat itu sepasang sumur di matanya lenyap. Pentana menolong Quinizarin yang masih terkapar. Mereka berjalan tertatih-tatih menuju pesantren.

Gempa bumi itu memporak-porandakan beberapa Departemen yang ada di pondok pesantren. Meski tidak seluruhnya, kerusakan itu cukup parah. Para ustazah dan santri perempuan berkumpul di lapangan, menangis bersama sembari melafalkan doa-doa. Pertama kalinya pondok pesantren itu diguncang gempa dahsyat. Dahulu memang pesantren ini ditimpa gempa juga, tetapi tak ada yang sedahsyat sekarang dan tidak pula menimbulkan kerusakan yang berarti. Daerah itu memang rawan gempa, maka tak mengherankan sebenarnya bila sering terjadi gempa di daerah itu. Tetapi keyakinan bahwa kehadiran pondok pesantren ini begitu terberkati sehingga beberapa kali dapat melalui terpaan bencana alam, sudah demikian lama terpatri dalam benak setiap santri dan ustazah. Mereka pun jadi bertanya-tanya dosa apa yang telah mereka perbuat sehingga ditimpakan gempa bumi dahsyat seperti ini.

Barangkali hanya Pentana di hari peristiwa gempa itu yang tidak terlalu merasakan kecemasan meski huru-hara berupa gelombang ketakutan dari para santri dan ustazah melingkupinya. Dia merasa tak menjadi bagian dari mereka. Sejak awal dikucilkan sebagai santri baru, sulit bagi Pentana untuk ikut merasakan solidaritas yang sama dengan santri-santri lain. Apalagi tak ada ustazah yang membelanya. Dia merasa tak punya tempat berlindung. Tak ada ustazah atau petinggi-petinggi departemen pesantren ini yang memberikan pembelaan ketika dia mengadukan perlakuan-perlakuan kasar yang diterimanya selama menjadi santri baru.

Pentana dapat memberi daftar panjang tentang perlakuan kasar yang diterimanya selama hampir tiga bulan ini. Di hari ketika semua santri terpaksa tidur bersama dalam Lingkaran Merah Balai Riung, dia mendengar salah satu celetukan yang mengatakan dia tak akan pernah sah sebagai santri sebab dia tidak mengalami kudisan. Sudah berapa minggu dia habiskan waktunya di sini, tapi tubuhnya tak juga terkena kudis! Kulitnya terlalu bersih. Mungkin memang benar kalau dia bersekutu dengan hantu Hexana sebab semasa Hexana menjadi santri, ia pun tak pernah mengalami kudisan. Bagaimana mungkin? Semua santri tidur di tempat yang sama, mandi di tempat yang sama, makan dengan peralatan makan yang sama. Bila belum mengalami kudisan, dugaan paling mungkin barangkali si santri itu dilindungi kekuatan gaib yang membuatnya punya kekebalan dibandingkan santri-santri lain. Lalu bermunculan pula celetukan seperti ini:

“Memang dia belum terkena kudisan. Tapi dia mendatangkan bencana yang lebih parah. Ya, belatung itu! Keberadaannya membanjiri kamar-kamar kita dengan belatung!”

Lihat selengkapnya