HEXANA

Iin Farliani
Chapter #4

IV. Padang Tandus di Tenggorokannya

Tak pernah terbayangkan dalam benak Pentana dia akan menjalani hari-hari sebagai seorang santri. Setiap kali menggenggam selembar kertas yang berisikan jadwal pesantren dia selalu merasa dia baru melihat kali pertama kertas jadwal itu. Dia tercengang menyadari setiap jam dalam satu hari itu telah diatur sedemikian rupa, dan pengaturan itu akan dia jalani tak hanya untuk beberapa hari saja, tapi selama berbulan-bulan ke depan. Pukul 03.00 sholat tahajud berjamaah. Pukul 04.30 sholat shubuh berjamaah dilanjutkan mengaji. Setelah itu ada jeda dua jam, sebelum memasuki ruang kelas untuk mengikuti kelas bahasa. Tetapi dua jam yang berharga itu tak bisa digunakan dengan bebas. Dua jam itu mesti diolah sedemikian rupa dengan secermat-cermatnya. Dalam dua jam itu terjadi banyak persaingan sengit di antara para santri. Persaingan untuk mendapatkan kamar mandi lebih dulu, persaingan untuk mendapat tempat menjemur baju lebih dulu, mengantri di ruang makan, mengantri memakai setrika arang. Para ustazah tidak suka melihat seragam santri yang kusut. Sebelum pelajaran dimulai, selalu ada pemeriksaan seragam. Setrika aranglah yang akan melicinkan kekusutan seragam santri, menyelamatkan mereka dari murka ustazah. Mengapa pesantren dengan bangunan modern ini masih menyediakan setrika arang, para santri hanya bisa menduga-duga jawabannya.

Barangkali setrika arang itu dimaksudkan agar para santri bisa bersikap lebih hati-hati dalam waktu rentan selama dua jam itu. Setrika arang itu bagaikan titik bandul pengendali bagi segala aktivitas persaingan yang dikerjakan selama dua jam. Bila si santri bertindak terburu-buru, tangannya akan melepuh terkena bakaran arang. Sebaliknya bila dia terlalu hati-hati, dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyetrika pakaian. Diteror oleh waktu dan diteror pula oleh seruan dari balik punggung yang terus bersahut-sahutan, “Cepat selesaikan! Kami juga ingin memakai setrikanya!”

Pentana kembali mencermati dengan saksama setiap kegiatan yang mesti dilewatinya. Kertas itu seperti memiliki kesaktian tak teraba yang seketika membuat matanya seakan terbakar setiap mencermati isinya. Dia bisa menjalani semua perintah-perintah keras yang diberlakukan neneknya semasa sang nenek masih hidup dulu. Tapi untuk kali ini, dia merasa tidak sanggup. Dia tak menduga neneknya meninggalkan wasiat agar dia dimasukkan ke pesantren. Dia tahu tak ada dari keluarga ibu atau ayahnya yang sudi menampungnya. Tetapi mengapa untuk keluar dari keterhimpitan itu, neneknya memberikan jalan dengan mengamanatkannya ke pesantren. Pentana bertanya-tanya, bila sang nenek masih hidup apakah ia akan membiarkan Pentana tetap menjadi santri di pesantren ini, mengalami perundungan setiap hari oleh sesama santri, selalu menangis sebelum tidur, dijadikan bulan-bulanan untuk setiap masalah yang terjadi di sini. Lalu kini pun dia sudah telanjur terlibat dalam perkara hantu Hexana.

Pentana masih termangu di tempat tidurnya, ketika terdengar teriakan salah seorang Kakak Pembina yang menggedor pintu kamarnya. Kakak Pembina bertanya mengapa dia masih berada di kamar pada jadwal jam makan malam. Semua santri sudah berada di ruang makan. Tinggal dia seorang yang masih berdiam di kamar.

“Aku tidak nafsu makan. Badanku sedang tidak enak.” Pentana menjawab dengan memelas. Dia berharap Kakak Pembina merasa kasihan padanya.

“Jangan beralasan yang macam-macam. Kau mungkin tidak makan malam hari ini karena jam makan hampir selesai. Tapi setelah itu kau harus mengikuti kajian yang akan disampaikan oleh Kiai Heptan. Semua santri hanya punya waktu lima belas menit setelah jam makan malam untuk mempersiapkan diri. Kajian akan dilangsungkan di Aula Bukit Rembulan. Bersiaplah dari sekarang! Kajian ini bersifat wajib karena Kiai Heptan baru pulang dari kota Ziarah Suci. Beliau akan menyampaikan banyak sabda penting.”

“Dan kau...” Kakak Pembina mengangkat tongkat kayunya lalu mendorong-dorong tongkat kayu itu ke dada Pentana. Pentana merasakan tulang dadanya tertekan oleh dorongan tongkat itu.

“Kau sebagai santri yang baru tiga bulan belajar di sini harus menghadap malam ini juga ke Kiai Heptan. Beliau meminta kau untuk bertatap muka dengannya setelah kajian.”

Pandangan Pentana menatap hampa entah ke titik yang mana. Isi kepalanya terasa mengapung-apung. Ketika Kakak Pembina menyebut nama Heptan, Pentana sudah merasakan energinya seakan diserap habis. Dia yang semula mengada-adakan alasan tentang tak enak badan, kini betul-betul merasa tak enak badan. Seiring dengan terbantingnya pintu kamar setelah kepergian Kakak Pembina, Pentana mulai risau kembali. Dia mengempaskan tubuhnya ke kasur. Matanya menatap lurus ke jam dinding.

“Mengapa lelaki jahat itu ingin menemuiku?” gumam Pentana. Dia teringat lagi dengan kisah Quinizarin ketika dulu ia menjadi “santri ndalem” di keluarga Heptan dan serangkaian perlakuan kasar yang pernah dilakukan Heptan.

Terdengar bunyi kendi air yang jatuh. Pentana terkejut. Dia baru saja berpaling dari jam dinding yang menunjukkan pukul 09.15 malam. Mengapa kendi air itu sudah tergeletak di lantai? Padahal saat ini belum pukul 01.00 . Pentana melihat jejak-jejak kaki yang tercipta dari tumpahan air itu. Jejak-jejak berukuran sama seperti yang pernah dia lihat di hari-hari sebelumnya. Sesaat dia merenung. Inilah kali pertama dia menyesali air kendinya yang tumpah. Tenggorokannya terasa kering. Dia tiba-tiba merasa haus. Sangat haus. Apakah dia masih punya tenaga untuk beranjak dari kamar ini menuju dapur dan mengisi kendi airnya? Mendengar nama Heptan sudah menyerap seluruh energinya. Nama itu juga seakan menciptakan padang tandus di tenggorokannya.

“Beri aku air!” gumam Pentana. “Beri aku air!” katanya lagi.

Terdengar bunyi kendi air menggelinding di lantai. Pentana mendongak, melihat ke bawah dari atas kasur. Kendi airnya berputar melingkar di lantai semen itu. Berputar-putar beberapa kali, memperdengarkan bunyi keramik yang nyaring. Kini sudah tak ada lagi air yang tersisa di dalam kendi.

“Aku sedang tidak ingin diganggu. Jangan ganggu aku, Hexana,” ujar Pentana lirih.

Tiba-tiba terdengar sesuatu menabrak jendela. Pentana lagi-lagi terkejut dan menoleh ke arah jendela yang kacanya setengah terbuka. Terdengar bunyi cericit dan gelepar sayap. Pentana melihat seekor kelelawar tersangkut di antara kisi-kisi jendela. Dia bertanya-tanya darimana datangnya kelelawar ini. Sontak Pentana melompat mundur ketika kelelelawar itu meloloskan diri dan terbang ke arahnya. Pentana mengambil sapu untuk menghalau kelelawar itu. Dia melihat kelelawar itu kini terkapar di lantai. Masih berusaha bergerak-gerak, merayap-rayap dengan sayapnya, sambil terus mendengarkan bunyi cericitnya yang nyaring. Kelelewar itu terus bergerak ke kaki Pentana.

Pentana mencoba meredam bunyi itu dengan menutup kelelawar menggunakan mukena. Bunyi itu sesaat teredam. Lalu terdengar mencericit kembali. Pentana yang tak tahan mendengar bunyi cericit itu sontak mengangkat kendi air dari lantai, lalu membantingnya berkali-kali di atas tubuh kelelawar yang tertutup mukena. Pentana baru sadar dengan tindakannya setelah dia melihat darah membentuk rembesan di mukena itu. Kini tak terdengar lagi bunyi cericit.

Pentana terduduk lemas. Bersandar di kaki tempat tidur. Samar-samar dia mendengar suara mikropon yang mengumumkan bahwa kajian Kiai Heptan akan segera dimulai di Aula Bukit Rembulan. Bangunan Aula Bukit Rembulan tak banyak mengalami kerusakan akibat gempa. Semua santri diimbau untuk segera berkumpul di sana. Bagi yang terlambat akan dikenai hukuman berat. Hukuman berat apakah itu? Belum ada yang mengetahuinya. Semua santri di sini hanya tahu akan selalu ada pola seperti ini: aturan-langgaran-hukuman, perintah-langgaran-hukuman. Begitu seterusnya lingkaran tak berkesudahan.

 

Pentana tiba terlambat di Aula Bukit Rembulan. Seluruh santri yang duduk di aula serentak menoleh kepadanya. Bukan semata karena dia terlambat datang, tapi juga karena penampilannya yang mencolok. Dia mengenakan Kerudung Jeruk di tengah lautan santri yang seluruhnya berkerudung hitam. Kerudung Jeruk sebagai tanda dia masih menjalani hukuman. Seorang santri yang menegurnya ketika dia kali pertama mengikuti jejak-jejak dari kendi air yang membuat laporan itu ke Departemen Tata Tertib. Laporan itu berisi tambahan kalau Pentana diduga berniat mendatangi sumur Hexana di tengah malam. Pengurus-pengurus yang bekerja di Departemen Tata Tertib itu merasa was-was dan geram. Mengapa Pentana selalu membuat pelanggaran? Apa yang diinginkan santri baru itu? Apakah karena wajahnya begitu mirip dengan Hexana sehingga dia pun ingin kelakuan Hexana yang gemar memberontak juga melekat pada dirinya?

Pentana duduk di barisan belakang. Bagai gelombang yang naik ke permukaan, gemuruh suara-suara santri terdengar lagi, seperti dengung lebah yang berputar-putar. Pentana mencoba menebalkan telinganya, berupaya tak terpengaruh dengan omongan-omongan buruk tentang dirinya. Dengung lebah santri perlahan-lahan teredam ketika dari arah mimbar muncul sosok yang sudah ditunggu-tunggu.

Kiai Heptan mengenakan pakaian serba hitam berupa gamis panjang hitam dan sorban hitam. Ia berjalan menuju mimbar diikuti lima orang pengawalnya. Para pengawal itu mengenakan jas hitam dan sarung berwarna hijau. Mereka berjalan dalam barisan yang rapi. Salah seorang pengawal mengangkat satu kursi tinggi ke tengah mimbar. Kiai Heptan duduk di sana, bagai seorang raja berada di singgasananya. Sementara para pengawalnya masing-masing duduk di lantai, di samping kanan dan kiri. Kiai Heptan membuka kajian itu dengan menceritakan pengalamannya selama di kota Ziarah Suci. Dia lalu menutup kajian dengan himbauan bagi santri-santri yang masih memiliki pertanyaan bisa menitipkan pertanyaan itu ke pengawalnya.

Di akhir kajian, semua santri diizinkan membubarkan diri kecuali satu orang, Pentana. Kiai Heptan meminta Pentana untuk tak beranjak dari Aula Bukit Rembulan. Mereka akan berbicara berdua, masih didampingi oleh pengawal-pengawal sang Kiai. Tetapi sebelum dimulainya pembicaraan, Kiai Heptan meminta kursi singgasananya dibalikkan menghadap ke belakang. Lalu Kiai Heptan duduk di sana. Mengisyaratkan aba-aba. Dengan kata lain, Kiai Heptan ingin berbicara dengan Pentana dalam posisi punggungnya menghadap Pentana.

“Kau yang bernama Pentana? Santri baru yang sudah pernah melakukan pelanggaran berat. Mengunjungi sumur Hexana. Mengalami mata yang berubah menjadi sepasang sumur.”

“Benar Kiai,” jawab Pentana lemah.    

“Sebelum melakukannya, apakah kau tak tahu risikonya? Apa kau tak pernah mendengar desas-desus tentang sumur itu dari para santri di sini?”

“Saya sudah pernah mendengar tentang sumur itu sebelumnya. Tetapi...” Kalimat Pentana terhenti ketika salah seorang pengawal mendesiskan bunyi aneh dari mulutnya. Bunyi aneh seperti bunyi cericit kelelawar.

Salah seorang pengawal yang lain membisikkan sesuatu ke dekat telinganya. Pengawal itu mengatakan Pentana hanya boleh menjawab dengan memilih di antara dua kata: Ya atau Tidak. Kalau dirasa terlalu singkat, dia dibolehkan menambahkan beberapa kalimat, tapi upayakan kalimat-kalimat itu bukanlah kalimat bantahan atau kalimat pembelaan. Pentana juga diminta untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bernada merendahkan posisi Kiai Heptan. Apa yang akan diucapkan oleh Pentana perlu diketahui lebih dulu olehnya apakah kalimat itu meninggikan dirinya sendiri atau sebaliknya.

“Kau sudah pernah mendengarnya tapi kau tetap melanggarnya. Kau pasti dikuasai oleh suatu tekad kuat sehingga kau bahkan tak mempedulikan hukuman yang akan kau terima, juga kutukan yang akan menimpamu. Benarkah apa yang telah kuucapkan ini?”

Suara Kiai Heptan terdengar tenang.   

Pentana memandang punggung itu. Dia hanya bisa menerka-nerka bagaimana ekspresi wajah Kiai Heptan ketika mengucapkan kalimat tersebut.

“Benarkah? Kau belum menjawab apa yang kuucapkan benar atau tidak.”

Lihat selengkapnya